TANGERANGNEWS.com- Saat ini seluruh rakyat Indonesia tengah merayakan Hari Pahlawan yang jatuh setiap 10 November. Peringatan hari penting ini ditandai dengan peristiwa pertempuran di Surabaya.
Oleh karena itu, segenap masyarakat Indonesia pun kembali mengingat jasa-jasa para pahlawan yang rela mengorbankan nyawa demi mengusir penjajahan di Tanah Air.
Salah satunya ialah dengan mengabadikan nama para pahlawan menjadi nama jalan di wilayah-wilayah tertentu. Tak terkecuali Kota Tangerang, terdapat sejumlah nama-nama pahlawan nasional yang menjadi nama jalan. Berikut di antaranya:
Daan Mogot
Nama pahlawan ini sudah tidak asing lantaran diabadikan menjadi jalur protokol Jalan Raya Daan Mogot, Kecamatan Tangerang, Kota Tangerang dan jalan penghubung Jakarta Barat-Tangerang di Jalan Raya Daan Mogot, Kecamatan Batuceper.
Daan Mogot terkenal sebagai pejuang kemerdekaan Indonesia dan mantan anggota serta pelatih PETA di Bali dan Jakarta pada 1942-1945, kemudian menjabat sebagai Komandan TKR di Jakarta setelah berakhirnya Perang Dunia II dengan pangkat Mayor.
Pada November 1945, pada usia 18 tahun, ia mendirikan dan menjadi Direktur Pertama Akademi Militer Tangerang (MAT). Tragisnya, ia gugur di Hutan Lengkong, selatan Kota Tangerang, bersama 36 rekan lainnya dalam pertempuran melawan tentara Jepang saat berusaha melucuti senjata mereka di lokasi tersebut.
Raden Aria Santika
Selanjutnya, ialah Jalan Aria Santika, Kecamatan Karawaci, Kota Tangerang, yang diambil dari salah satu tokoh pendiri Tangerang.
Tumenggung Raden Aria Santika, yang sebelumnya dikenal sebagai Syekh Tubagus Zakaria, merupakan seorang ulama dari Arab Saudi yang pindah ke Indonesia untuk menyebarkan syariah Islam. Ia menetap di Desa Batujaya, Batuceper, Tangerang, Banten. Selain sebagai penyebar agama Islam, Tumenggung Raden Aria Santika juga merupakan salah satu pelopor bela negara yang bermigrasi dari Sumedang bersama kedua saudaranya, yaitu Raden Aria Wangsakara dan Raden Yudha Negara.
Raden Aria Wangsakara
Sosok pahlawan nasional ini juga menjadi nama jalan, tepatnya di Jalan Arya Wangsakara, Kecamatan Cibodas, Kota Tangerang. Menurut beberapa naskah adat, seperti Babad Tangerang dan Babad Banten, ia lahir sekitar tahun 1615 di Sumedang, sebagai putra dari Wiraraja I dan keturunan Sultan Syarif Abdulrohman dari Sumedang Larang.
Ketika Perusahaan Hindia Timur Belanda memperluas pengaruhnya di wilayah tersebut, Aria Wangsakara menolak kerjasama keluarganya dengan Belanda. Pada tahun 1632, bersama kedua saudaranya, Aria Santika dan Aria Yuda Negara, ia pergi ke wilayah yang kini dikenal sebagai Tangerang.
Di sana, Sultan Maulana Yusuf dari Banten memberinya izin untuk melindungi daerah tersebut, dan Aria Wangsakara mendirikan Kesultanan Lengkong Sumedang. Selama pemerintahannya, ia aktif menyebarkan Islam di sekitarnya dan mendirikan pesantren pada tahun 1640-an. Pada awal 1650-an, Belanda membangun benteng di seberang pemukimannya. Aria Wangsakara diperkirakan meninggal pada tahun 1720.
Nyimas Melati
Warga Tangerang mungkin sudah tidak asing lagi dengan nama Jalan Nyimas Melati di Kelurahan Sukarasa, Kota Tangerang. Nama tersebut diambil dari seorang jawara wanita berani asal Tangerang yang menentang kolonialisme Belanda pada abad ke-18. Nyi Mas Melati, juga dikenal sebagai Singa Betina dari Tangerang, merupakan salah satu jawara wanita yang memerangi ketidakadilan dan kesewenangan pemerintah kolonial.
Dipimpin oleh ayahnya, Raden Kabal, Nyi Mas Melati menggunakan ilmu beladiri dan kanuragan untuk melakukan penghadangan dan sabotase terhadap aset penting Belanda. Perjuangannya mencapai puncak dalam pertempuran Pabuaran, yang didukung oleh rakyat dan kolaborasi dengan Pangeran Pabuaran.
Namun, kekalahan akhirnya terjadi dalam penyergapan, menyebabkan Nyi Mas Melati dan Raden Kabal terpisah. Meski dipaksa menyerah, legenda Singa Betina tetap hidup, dengan cerita bahwa jasadnya dihancurkan menjadi empat bagian dan tersebar di berbagai lokasi, seperti Balaraja, Pulau Panjang di Kepulauan Seribu, dan danau Situ Gintung.
Jenderal Sudirman
Jalan Jenderal Sudirman yang terletak di Kelurahan Babakan, Kecamatan Tangerang, Kota Tangerang, diambil dari nama Raden Soedirman, lahir pada 24 Januari 1916 di Purbalingga, adalah Panglima Besar TNI pertama yang dihormati di Indonesia. Dari keluarga sederhana, ia diadopsi oleh pamannya setelah pindah ke Cilacap.
Bergabung dengan PETA saat Jepang menduduki Hindia Belanda, Soedirman memimpin Divisi V dan terpilih sebagai Panglima Besar TKR pada November 1945. Memimpin perlawanan melawan Inggris dan Belanda, kesehatannya memburuk karena tuberkulosis.
Setelah Agresi Militer II Belanda pada Desember 1948, Soedirman memulai perlawanan gerilya selama tujuh bulan. Ia meninggal pada 29 Januari 1950 setelah Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia. Dihormati sebagai pahlawan nasional, namanya diabadikan, dan pada 10 Desember 1964, resmi ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.
Soekarno-Hatta
Dwitunggal Soekarno dan Mohammad Hatta pun tak luput menjadi nama jalan, tepatnya Jalan Soekarno-Hatta, Kecamatan Benda, Kota Tangerang.
Megawati Soekarnoputri, Presiden Republik Indonesia kelima, mengungkapkan bahwa persahabatan antara ayahnya, Ir. Soekarno, yang menjabat sebagai Presiden RI Pertama, dan Mohammad Hatta, Wakil Presiden Pertama RI, merupakan hubungan yang sangat erat.
Megawati menyatakan bahwa Bung Karno tidak pernah memiliki wakil setelah Bung Hatta mengundurkan diri. Meskipun banyak yang mencatat adanya perbedaan di akhir-akhir kebersamaan keduanya, Megawati menegaskan bahwa hubungan dua keluarga proklamator RI tersebut tetap sangat dekat hingga Hatta mengundurkan diri dari jabatannya sebagai wakil presiden.
Jenderal Gatot Subroto
Nama jenderal Gatot Subrot diabadikan menjadi nama Jalan Gatot Subroto, Sangiang Jaya, Kecamatan Cibodas, Kota Tangerang. Gatot Subroto, lahir setelah menyelesaikan pendidikan dasar di Hollandsch-Inlandsche School (HIS), memilih karier militer di KNIL pada 1923. Bergabung dengan PETA dan TKR selama pendudukan Jepang, ia menunjukkan kepemimpinan solider terhadap rakyat.
Gatot Subroto berhasil memimpin pasukan melawan pemberontakan PKI di Madiun pada 1948 dan memenangkan konflik di Sulawesi Selatan pada 1952. Pada 1953, dalam krisis politik, ia mengundurkan diri dari dinas militer.
Diaktifkan kembali sebagai Wakil Kepala Staf Angkatan Darat pada 1956, Gatot Subroto memimpin penumpasan pemberontakan PRRI/Permesta. Ia meninggal pada 11 Juni 1962 dan diakui sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional pada 18 Juni 1962.
Dokter Tjipto Mangoenkoesoemo
Memiliki jalan bernama dr Cipto Mangunkusumo di Ciledug, adalah figur penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia bersama Ernest Douwes Dekker dan Ki Hajar Dewantara. Mereka dikenal sebagai "Tiga Serangkai" yang menyebarkan gagasan pemerintahan sendiri dan kritis terhadap penjajahan Belanda.
Imam Bonjol
Jalan Tuanku Imam Bonjol di Karawaci dan Cibodas menghormati Tuanku Imam Bonjol, seorang ulama dan pejuang melawan Belanda dalam Perang Padri (1803–1838).
Pangerang Diponegoro
Pangeran Harya Dipanegara, yang jalan Diponegoro di Jatiuwung mengabadikannya, memimpin Perang Diponegoro (1825–1830) melawan Hindia Belanda.
H.O.S Cokroaminoto
Diberi penghormatan dengan namanya diabadikan di jalan Larangan dan Ciledug, memimpin Sarekat Islam dari 1914 hingga akhir hidupnya.
KH Hasyim Asy'ari
Dihormati sebagai nama jalan di Ciledug, Pinang, dan Cipondoh, mendirikan Pondok Pesantren Tebu Ireng dan menjadi tokoh kunci dalam pendirian Nahdlatul Ulama pada tahun 1926.
MH Thamrin
Jalan MH Thamrin di Kecamatan Pinang, Kota Tangerang mengingatkan pada Muhammad Husni Thamrin, yang berhasil diangkat sebagai wakil wali kota Batavia setelah pemogokan dan protes terhadap diskriminasi jabatan oleh pemerintah kolonial pada tahun 1929.