TANGERANGNEWS-Tarkim Sirotol Mustakim (11), riang bermain air di danau kecil penuh eceng gondok tak jauh dari rumahnya di Kampung Rawa Jati, RT 01/11, Desa Rawa Rengas, Kecamatan Kosambi, Kabupaten Tangerang. Bersama Sembilan rekannya, siswa kelas 2 SD Rawa Rengas 1 itu tampak begitu asyik bermain. Teriknya sinar sang surya, seolah menjadi penambah semangat bagi mereka untuk terus bermain.
Sedikitpun tak tampak “beban” di wajah mereka. Sambil berteriak-teriak kecil, para bocah ini saling menyipratkan air kearah rekan lainnya. Sesekali mereka keluar dari danau, sebelum kemudian terjun kembali ke dalam air kubangan yang dipenuhi lumpur. Ya, mereka adalah Abdul Rohim, Abdul Rahman, Abdul Gofur, Musa, Bahruddin, Sarifuddin, Dalih, Ifran dan Rosidik.
Kendati tak terlihat trauma, namun ada dua kata yang bisa langsung membuat nyali para bocah ini menjadi ciut. Yaitu, polisi dan penjara. Perhatian mereka akan langsung terusik bila mendengar dua kata itu disebut. Maklum, kesepuluh siswa SD dan SMP usia 8 sampai 14 Tahun itu, masih berstatus terdakwa di Pengadilan Negri (PN) Tangerang. Mereka terpaksa menjadi pesakitan dihadapan hakim, setelah sebelumnya ditangkap polisi saat tengah berjudi “macan buram” (permainan tradisional sejenis koin putar) dikawasan Bandara Internasional Soekarno Hatta (BSH), sekitar 6 minggu silam.
Sepanjang perjalanan proses penyidikan di Kepolisian dan Kejaksaan Negri (Kejari ), bocah-bocah lugu yang hidup ditengah keluarga tidak mampu ini sempat “menginap” selama 29 hari di Lapas Anak Tangerang. Selama itu pula, mereka mengaku “kenyang” dengan beragam siksaan yang dilakukan polisi maupun pegawai lapas. Mulai dari di pukulan, tendangan hingga tamparan sudah mereka rasakan.
Hingga, wajar bila kemudian pengalaman pahit itu mengubah penilaian Tarkim dan teman-temannya atas keberadaan lembaga kepolisian dan lapas. “Aku kapok nyemir di bandara. Aku kapok main macan buram. Takut ditangkap sama pak polisi. Takut nanti masuk penjara lagi. Tolongin dong pak biar sidangnya cepat selesai. Aku takut kalau sidang ketemu sama pak polisi terus ditanya-tanyai oleh pak hakim,” ujar Tarkim yang diamini sang kakak, Musa saat disambangi TANGERANGNEWS di rumahnya.
Bertepatan dengan peringatan Hari Anak Nasional (HAN) yang jatuh pada hari ini, Tarkim dan teman-temannya punya satu harapan yang tak muluk. Yaitu, Presiden SBY mau membaca surat sekaligus membebaskan mereka dari semua tuntutan hukum. “Sekarang aku mau sekolah aja. Gak mau masuk penjara. Pak Presiden tolongin kami ya,” kata Tarkim polos.
Jual Ayam
Dampak negatif atas penangkapan dan penahanan kesepuluh bocah itu, kiranya juga dirasakan oleh para orang tua. Terlebih, para bocah berasal dari keluarga tidak mampu. Alhasil, kejadian itupun membuat ekonomi keluarga para bocah semakin morat-marit.
“Saya ini cuma buruh cuci dengan gaji Rp. 150 ribu perbulan. Sementara bapaknya adalah pemulung yang tidak punya penghasilan tetap. Gara-gara harus ngurusin dua anak yang masuk penjara (Tarkim dan Musa), kerjaan saya jadi ikut berantakan. Saya nyaris dipecat oleh majikan karena sering bolos nyuci,” kata Nur alias Bule (30), ibu kandung Tarkim.
Menurut Nur, untuk biaya transportasi bolak-balik membesuk Tarkim di Lapas dan mengikuti jalannya persidangan, dia sudah kehilangan lebih dari 10 ekor ayam miliknya. “Saya tidak punya uang untuk ongkos. Jadi setiap kali mau membesuk di lapas ataupun mengikuti jalannya persidangan di pengadilan, saya terpaksa menjual satu demi satu ekor ayam peliharaan yang ada. Dan, sekarang saya sudah tidak punya ayam peliharaan lagi,” kata Nur lagi.
Wanita paruh baya ini berharap, kiranya hakim Pengadilan Negri (PN) Tangerang yang menyidangkan kasus dua putranya mau mendengar keluh kesahnya, hingga punya pertimbangan kemanusiaan sebelum mengambil keputusan. “Kalau boleh meminta, saya ingin kasus anak saya disudahi saja. Kasihan mereka masih kecil. Saya gak tau apa jadinya, bila nanti anak-anak saya itu sampai masuk penjara,” ujarnya.(Roedy PG)