Oleh: Deni Iskandar
Sebagaimana Montesqueieu salah satu pemikir politik terkemuka di Prancis, dalam karyanya Spirits of the Laws, menyebutkan “Dalam setiap pemerintahan terdapat tiga macam kekuasaan diantaranya yaitu kekuasaan Eksekutif; kekuasaan Legislatif dan Yudikatif. Ketiga macam kekuasaan ini memiliki peran dan fungsinya masing-masing.
Dalam konteks Indonesia kekuasaan Legislatif memiliki peran dan fungsi membuat undang undang, kekuasaan Eksekutif berperan menerapkan atau melaksanakan undang-undang, Dan kekuasaan Yudikatif bertugas mempertahankan pelaksanaan undang-undang. adapun kategori legislatif ialah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Kategori eksekutif adalah presiden, menteri-menteri, Gubernur, Bupati dan Walikota. Dan kategori yudikatif terdiri atas Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK).
Dewasa ini kepercayaan public kepada lembaga-lembaga yang ada di pemerintahan baik dalam lembaga eksekutif, legislatif maupun yudikatif sangatlah rendah, hal ini disebabkan oleh kinerja pemerintahan terutama pemerintah yang ada di lembaga legislatif yang tidak maksimal dan cenderung mementingkan kepentingan kelompok dan partainya saja, dalam hal ini rakyat sudah tidak lagi respect dan bosan mendengar janji-janji pemerintah yang ingin mensejahterakan rakyat dan membangun negeri ini menjadi negeri yang makmur dan sentosa.
Diakui atau tidak saat ini bangsa Indonesia sedang mengalami krisis multidimensi, baik krisis kedaulatan, budaya maupun kepemimpinan, yang paling fatal tentunya adalah krisis kepemimpinan terdapat kesenjangan yang jauh antara "Dasein" yang semestinya dengan "Dasolen" yang senyatanya Hal itu dapat di lihat dari banyaknya para pemimpin di negeri ini terutama di lembaga legislatif (DPR) yang tidak memiliki komitmen yang jelas, dan cenderung mementingkan pribadi dan kelompoknya. Banyaknya wakil rakyat yang tersandung kasus korupsi, mulai dari korupsi daging sampai migas, tentunya ini merupakan penyakit laten yang harus di benahi bersama-sama, demi terwujudnya pemerintahan yang bersih.
TUMPANG TINDIHNYA WEWENANG
Disamping citra Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang kurang bagus di mata masyarakat, kini Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali unjuk gigi di depan public, dengan membuat kebijakan tentang Program Pembangunan Daerah Pemilihan atau Dana Aspirasi, dengan nominal yang cukup fantastis yaitu 20 Miliar per Anggota Dewan, sehingga total yang harus dikucurkan oleh negara mencapai Rp 11,2 triliun. Anggaran tersebut nantinya akan di masukan pada Rancangan Anggaran Pembangunan Belanja Negara (RAPBN) tahun 2016 mendatang.
Kebijakan yang di keluarkan Dewan Perwakilan Rakyat ini menuai pro dan kontra baik di dalam parlemen maupun di luar parlemen (Masyarakat). Namun meskipun begitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) optimis mengeluarkan kebijakan tersebut karena kebijakan yang di keluarkan oleh DPR dalam hal ini memiliki payung hukum, sebagaimana amanat UU MD3 tentang DPR, DPRD, DPD dan MPR (MD3). Adapun Ketentuan yang dimaksud adalah UU Nomor 17/2014 tentang MD3 pasal 80 huruf J yang menyatakan bahwa "hak dan kewajiban anggota dewan adalah mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan daerah pemilihan".
Namun meskipun kebijakan itu sudah memiliki payung hukum, UU MD3 tidak mengatur secara gamblang tentang nominalnya sebesar 20 miliar sebagaimana yang sudah di rencanakan oleh DPR, hal ini tentunya menjadi pertanyaan penting bagi rakyat, dana sebesar 20 miliar itu untuk siapa, Rakyat atau partai ? Selain itu menurut hemat penulis terdapat ketimpangan peran dan fungsi dalam hal ini ketika DPR ngotot untuk menggolkan Dana Aspirasi ini, DPR sebagai lembaga legislatif tentunya memiliki fungsi yang berbeda dengan eksekutif, tugas utama Legislatif ialah membuat kebijakan public dengan cara membuat undang-undang, mengontrol kinerja eksekuif dengan cara agar sesuai dengan yang di tetapkan.
Lalu ketika demikian dana aspirasi wewenang siapa, legislatif atau eksekutif? jika di telaah dengan seksama, apa yang di lakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat yang membuat kebijakan tentang Dana aspirasi sebesar 20 miliar per anggota dewan dan harus di kucurkan oleh negara sebesajr 11,2 Triliun dalam Rancangan Anggaran Pembangunan Belanja Negara (RAPBN) tahun 2016 ialah mutlak ketimpangan peran, artinya Dewan Perwakilan Rakyat dalam hal ini sudah salah kamar dalam menjalankan peran dan fungsinya sebagai Legislator di negeri ini.
Setiap daerah tentunya memiliki problematika pembangunan yang berbeda-beda, dalam konteks provinsi banten misalnya, hal yang paling krusial yang harus di benahi oleh pemerintah adalah masalah Infrastruktur, Pendidikan, dan Kemiskinan, sementara problematika tersebut sudah menjadi tanggung jawab eksekutif, untuk mengurai persoalan tersebut. Lalu kepentingan Dana Aspirasi, untuk kepentingan siapa rakyat atau kelompok ? Dalam hal ini bahasa kesejahteraan dan bahasa untuk kepentingan rakyat selalu di sabotase oleh penguasa, yang memang sudah jelas-jelas untuk kepentingan kelompoknya.
Rakyat bukan butuh dana asprirasi, akan tetapi yang saat ini di butuhkan oleh rakyat adalah komitmen pemerintah dalam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk mengutamakan kepentingan rakyat dan melunasi janji-janji kampanyenya yaitu mensejahterakan rakyat.
*Kepala Bidang Keilmuan di Himpunan Mahasiswa Banten (HMB)
Aktivis Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat Ushuluddin dan Filsafat Cabang Ciputat.