Ditulis Oleh : Rudy Gani,
Aktivis BADKO HMI JABOTABEKA BANTEN, Mahasiswa FISIP UMJ
Politik adalah karya. Berangkat dari kata kerja yang bermakna suatu usaha. Politik dapat juga diartikan sebagai proses mencapai dan mempertahankan kekuasaan. Sedangkan bagi Aristoteles, tujuan politik ialah mencapai kebahagiaan, baik penguasa maupun rakyatnya. Pada konteks inilah kemudian politik menjadi keutamaan yang bersatupadu membentuk konstruksi realitas suatu masyarakat. Sebab, tanpa politik, segala pencapaiaan nilai-nilai kesejahteraan akan terasa berat dan sulit. Karena hanya dengan politiklah ketertiban suatu masyarakat sekaligus bangunan sosiologis masyarakat tercipta dengan berbagai pertimbangan filosofis di dalamnya.
Namun, cara berpolitik seperti apa yang ideal dipraktikkan? Mampukah para pegiat politik menerapkan nilai-nilai ideal dalam setiap kompetisi politik yang dilakukan. Upaya dan tindakan yang dilakukan para politikus akan menyebabkan pengaruh di masyarakat. Sampai di sini gaya berpolitik dengan ’uang sebagai panglima’ kelak menghambat tumbuhnya pohon demokrasi. Tanaman subur demokrasi terpaksa dipangkas dengan prilaku yang ’senonoh’ kaum politikus melalui cara tersebut.
Sebab, sesungguhnya politik bertumpu pada dua hal. Pertama, komitmen politik. Komitmen politik berangkat dari gagasan besar serta cita-cita individu yang berpolitik tersebut. Pada tataran ini, tujuan daripada politik seseorang bersumber pada nilai-nilai ideal yang dianut konstitusi negara. Pandangan politik bisa beragam. Namun, tujuan dari politik tentu satu yaitu kesejahteraan.
Berpolitik tanpa memiliki visi kesejahteraan hanya menimbulkan kekecewaan. Sebagaimana berpolitik tanpa menjunjung mimpi bangsa yang sejahtera. Tujuan dari komitmen politik merupakan nilai dasar perjuangan yang akan membawa masyarakat menjadi rasional dan produktif. Bukan malah menidurkan masyarakat dengan janji yang sesungguhnya tidak pernah teralisasi.
Kedua, Pencapaiaan politik. Unsur politik yang lebih penting ialah pencapaiaan. Dalam konteks ini dapat dikatakan sebuah karya politik dilaksanakan dan akan dijewantahkan. Tanpa adanya strategi yang jelas untuk mengimplementasikan visi politik, maka pemimpin tersebut hanya mampu menjadi ’pemimpin konseptor’.
Pemimpin tipe ini tidak hanya membuat rakyat kecewa, melainkan diberi ’angin surga’. Dalam sejarah kepemimpinan bangsa, gaya berpolitik ini ditampilkan baik oleh Soekarno. Tipe pemimpin retoris dan konseptor belum tepat memimpin di negara yang mayoritas penduduknya lapar dan miskin. Di sinilah kemudian, gagasan besar yang dipikirkan Soekarno menjadi ’macan kertas’ tanpa implementasi konkret di lapangan. Pencapaiaan politik harus lebih sederhana menyentuh kebutuhan masyarakat yang miskin dan lapar. Bukan retoris dan konsep semata. Maka, kepemimpinan tipikal inilah yang tidak layak jual karena hanya bersandar pada janji tanpa bukti.
Dengan demikian, analisa politik kita pun kemudian beralih ke Tangerang Selatan (Tangsel). Tampak seolah di mata masyarakat gaya politik Tangsel tak jauh beda dengan gaya politik di Banten. Bagi masyarakat yang menyadari pentingnya cita-cita politik kesejahteraan dan kebahagiaan, tentunya akan sedikit kecewa dengan fakta ini. Nyatanya, gaya politik Tangsel adalah gaya politik Banten. Kita tidak bermaksud mengatakan gaya politik Banten itu buruk. Kita juga tidak bermaksud mengatakan bahwa gaya politik Tangsel menjiplak dengan telanjang pola pikir politik Banten. Namun, permasalahan yang muncul ialah, ketika gaya politik tersebut gagal mensejahterakan masyarakat. Sebagaimana yang dikatakan di awal bahwa politik adalah karya.
Realitasnya, masyarakat Banten dan Tangsel justru tidak mengalami perubahan yang signifikan dari pemikiran politik yang dipraktikkan penguasa saat ini. Di beberapa daerah di Banten misalnya, masih kita dapati penderita ’busung lapar’ dan ’kelaparan’. Tingkat pelayanan pemerintah yang masih mengecewakan. Produktivitas legislasi yang masih jauh dari harapan.
Iklim investasi yang masih kurang. Kebocoran APBD yang masih tinggi dan sederet masalah lain yang masih terjadi. Padahal, Banten praktis memiliki APBD yang cukup besar dengan jumlah penduduk yang relatif berimbang. Begitupula di Tangsel misalnya. Hingga kini, berbagai kisruh yang terjadi, baik di bidang lingkungan seperti Situ Antap yang belum selesai hingga masalah polemik politik pembentukan DPRD Kota Tangsel menjadi fakta karya politik penguasa hari ini tidak produktif bahkan kontraproduktif.
Pemikiran politik petinggi Tangsel memiliki jarak dengan realitas masyarakat, sehingga melahirkan kebijakan yang merugikan masyarakat Tangsel. Fenomena dana Situ Gintung yang belum jelas alokasinya. Pertanggungjawaban pemerintahan kepada Gubernur bukan pada rakyat, melalui UU khusus. Dan berbagai polemik yang ada di Tangsel hingga kini tak mampu diselesaikan karena pemikiran politik yang dianut pejabat Tangsel menjauhi realitas masyarakat.
Pemikiran politik pejabat Tangsel berada di ranah privat yang dengan gagah memangkas demokrasi secara bersahaja. Kepentingan politik untuk meninggikan jabatan di Pilkada Tangsel 2010 kerap bergejolak. Jabatan pun kemudian digunakan demi kepentingan pribadi untuk menggalang dukungan. Berbagai manuver politik dengan meredam pihak-pihak yang kritis tak jarang dilakukan. Gaya politik para petinggi Tangsel-pun tak jauh berbeda dengan politik yang menghalalkan tujuan walau cara yang digunakan ’kotor’. Pemikiran politik seperti inilah yang menjadi racun bagi demokrasi rakyat Tangsel.
Akhirnya, rakyat-lah yang kemudian menjadi korban dari prilaku berpolitik yang serampangan menodai cita-cita rakyat oleh homo politicus di Tangsel. Tangsel-pun kemudian menjadi kota yang tidak memiliki masa depan yang jelas. Visi kepemimpinan yang dipraktikkan oleh Plt Walikota Tangsel telah mengarah kepada kepemimpinan yang sentralistik memutar di Banten. Poros Banten-Tangsel hanya melahirkan demokrasi ala dinasti yang selama ini dipraktikkan di Banten. Maka, ancaman kematian demokrasi terpaksa harus diwacanakan karena sikap otoritarianisme-diktator kecil antara Banten dan Tangsel kini bertemu menjelang Pilkada Tangsel 2010. Karena itu, bahaya otoritarianisme yang akan muncul di Tangsel harus disudahi.
Tangsel harus dijauhi dari praktik kooptasi pemikiran politik dinasti. Sebab, gaya politik dinasti dan pemimpin titipan, hanya akan menyengsarakan rakyat Tangsel. Karena itu, menyegarkan Tangsel sebagai daerah yang ’muda’ harus dilakukan dengan mempraktikkan politik yang mengutamakan karya dan pencapaiaan. Bukan hanya menjual konsep dan janji tanpa bukti dan kinerja yang memuaskan. Di atas semua itu, Tangsel harus dimpimpin oleh individu yang mandiri, cerdas dan terpenting memiliki orientasi pada perubahan. Mungkinkah?