Oleh David Randy, Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Universitas Budi Luhur Jakarta
Hoax dan fake news dua hal yang harus diantisipasi saat berlangsung perhelatan politik, salah satunya Pilkada. Artikel ini mencoba menelaah kedua hal tersebut.
Perbedaan Hoax dan Fake News
Sellnow, Parrish dan Semenas (JICRCR, 2019) mendefinisikan hoax sebagai kabar yang berisi klaim palsu. Artinya, peristiwa yang dikabarkan tidak sepenuhnya benar. Kasus Ratna Sarumpaet misalnya, diketahui memang terdapat lebam di wajahnya, akan tetapi bukan disebabkan oleh penganiayaan, melainkan bekas operasi plastik.
Sementara fake news atau yang bisa diartikan berita palsu dicirikan dengan seluruh peristiwanya tidak benar. Misalnya, berita tentang pertemuan Obama dan Hillary yang menghasilkan janji pemberian amnesti kepada para imigran gelap jika mereka memberikan suara ke Partai Demokrat. Faktanya, pertemuan tersebut tidak pernah terjadi, dan janjinya tidak pernah ada.
Partisipasi Pemilih, Pendidikan Politik dan Media Sosial
Sejak 1 November 2019, proses penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak 2020 telah memasuki tahap sosialisasi. Pada tahap ini, Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga berkewajiban untuk mengoordinasikan, menyelenggarakan, mengendalikan, memantau, mengawasi, dan mengevaluasi kebijakan terkait partisipasi masyarakat dan pendidikan pemilih (kpujakarta.go.id/tupoksi/).
Tidak dijelaskan secara terperinci mengenai program pendidikan seperti apa yang dipersiapkan untuk para calon pemilih. Namun berdasarkan pengalaman pada pemilihan sebelumnya, konten pendidikan KPU sedikit banyak berfokus pada sosialisasi peraturan dan kebijakan pemilihan umum; jadwal penting; seta tata cara pelaksanaan pemungutan, penghitungan, dan penyelesaian sengketa suara. KPU melaksanakan seluruh kegiatan tersebut baik melalui media mainstream, mau pun media publikasi internal.
Belum ada penelitian terbaru tentang efektivitas laman KPU sebagai media pendidikan politik. Namun, dari hasil penelitian Rohani, Suntoro, dan Yanzi (Jurnal Unila, 2014) efektivitas website KPU sebagai media pendidikan politik pada pemilu 2014 ialah sebesar 48 persen dengan tingkat partisipasi pemilih sebesar 75,14 persen. Apabila data tersebut dibandingkan dengan tingkat partisipasi pemilih pada 2019 yang mencapai 81 persen. (nasional.kompas.com/read, 27/05/2019), maka dapat diprediksi bahwa efektivitas website KPU sebagai media pendidikan politik hanya mengalami sedikit peningkatan.
Penulis dapat memahami jika sebagian pihak berargumentasi bahwa tingkat efektivitas website KPU tidak sepenuhnya menjadi tanggung jawab pengelola karena KPU tidak dapat mengontrol/memaksa publik untuk mengunjungi laman resminya. Jika demikian, bisa jadi efektivitas pendidikan pemilih dipengaruhi oleh budaya literasi masyarakat Indonesia.
Hasil studi Universitas Negeri Central Connecticut tentang budaya literasi global pada 2016 menunjukkan, Indonesia berada di peringkat 60 dari 61 negara yang amati (voanews.com, 25/10/2018). Seolah memvalidasi data dari Universitas Negeri Central Connecticut tersebut, hasil penelitian Wardani (Jurnal Unimed, 2018) menyatakan, tingkat pendidikan politik kelompok pemilih pemula di Indonesia masih rendah. Hal ini membuat pemilih pemula rentan dijadikan sasaran untuk dimobilisasi oleh kepentingan-kepentingan tertentu.
Tidak hanya Wardani, hasil penelitian Lailiyah, Yuliyanto, dan Pradhana (ICENIS, 2018) juga menunjukkan adanya keterlibatan yang kuat antara kaum muda Indonesia dengan media sosial. Akan tetapi tingginya penggunaan media sosial tidak dilengkapi dengan kesadaran politik yang mumpuni, akibatnya kaum muda Indonesia rentan menjadi sasaran “kehebohan politik yang kotor”.
Mason, Kruta dan Stoddard (JMLE, 2018) berpendapat, dinamika media sosial yang sengaja dibuat untuk menguasai perhatian pengguna telah memperkuat sirkulasi fake news. Temuan tersebut didukung oleh pendapat Dr. Quinton Temby, peneliti dari ISEAS-Yusof Ishak Institute Singapura. Pada tulisannya di South China Morning Post (09/09/2019), Temby menyatakan bahwa aksi massa di Jakarta pada 21-22 Mei 2019 ialah akibat dari disinformasi online. Menurutnya, kericuhan pemilu semacam itu merupakan kali pertama terjadi di sebuah negara demokrasi.
Jika data-data tersebut dikaitkan satu dan yang lain, dapat diasumsikan bahwa:
Budaya literasi yang rendah memiliki pengaruh signifikan terhadap efektivitas sosialisasi dan pendidikan politik.
Masyarakat dengan tingkat literasi rendah dapat dimanipulasi oleh pihak-pihak kepentingan melalui kabar bohong dan berita palsu.
Tingkat partisipasi pemilih yang tinggi tanpa diikuti dengan pendidikan politik yang efektif berpotensi menciptakan kekisruhan, khususnya pada masyarakat yang reaktif.
Melawan Peredaran Hoax dan Fake News
Para ahli komunikasi berpendapat bahwa program pengecekan fakta merupakan upaya yang efektif untuk melawan hoax dan fake news. Namun hasil penelitian Walter et al. (Journal of Political Communication, 2019) mendapati, kemampuan seseorang untuk memperbaiki kesalahan informasi politik melalui pengecekan fakta secara substansial dipengaruhi oleh keyakinan, ideologi, dan pengetahuan yang dimiliki orang tersebut.
Artinya, ketika calon pemilih secara ideologis telah mendukung seorang kandidat, maka ia akan menerima segala informasi positif tentang kandidat tersebut dan menolak yang negatif. Kelompok ini cenderung tidak mempercayai, dan bahkan dapat memusuhi pihak-pihak yang menyampaikan informasi negatif tentang kandidiat yang mereka dukung, terlepas dari apakah informasi tersebut adalah fakta yang sesungguhnya.
Maka, untuk melawan sirkulasi hoax dan fake news diperlukan lembaga pengelola pengecekan fakta yang independen dan kredibel. Sementara itu, KPU sebagai institusi negara penyelenggara pemilihan umum perlu untuk mengevaluasi kembali dan bahkan merancang ulang (jika perlu) baik regulasi, maupun program-program sosialisasi dan edukasi. Khususnya program edukasi bagi kelompok pemilih pemula. Namun demikian, publik juga bertanggung jawab untuk mengedukasi diri.
Dr. Umaimah Wahid dalam bukunya “Komunikasi Politik: Teori, Konsep, dan Aplikasi Pada Era Media Baru” (2016) menjelaskan bahwa komunikasi menghubungkan semua elemen sosial dan mampu mempengaruhi pikiran orang lain. Untuk itu, mempelajari pola-pola komunikasi, khususnya komunikasi politik merupakan salah satu upaya konkrit yang dapat kita lakukan dalam rangka mensukseskan pilkada 2020 yang anti hoax dan fake news.
Dengan menganalisis unsur-unsur komunikasi politik, kita dapat mengtahui: siapa pelaku komunikasi politik, apa makna tersurat dan tersirat dari pesan politik, apa media yang digunakan, bagaimana peran media tersebut dalam komunikasi politik, bagaimana posisi pribadi dalam konteks khalayak, dampak seperti apa yang akan muncul dari sebuah pesan politik, dan bahkan cara-cara merancang tanggapan pribadi atas informasi politik yang kita terima.
Orang bijak mengatakan bahwa keadaan tidak akan pernah berubah jika tidak ada yang mulai merubahnya. Untuk itu, mari bersama-sama kita mulai mengedukasi diri dengan harapan apa yang kita lakukan dapat menular kepada lingkungan kita. Semoga budaya literasi dapat mewabah di Indonesia, sehingga tidak ada lagi kekisruhan yang disebabkan oleh hoax dan fake news.(RMI/HRU)