Oleh: Ita Nurhayati
Tanggal 23 September 2020 adalah babak akhir atau babak penentuan dari pergelaran penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di 270 daerah di Indonesia, yang tahapannya sudah mulai berjalan. Untuk menuju babak akhir itu ada proses dan mekanisme yang harus serta akan dijalani.
Dalam PKPU Nomor 16 tahun 2019 perubahan PKPU nomor 15 tahun 2019 tentang tahapan, program dan jadwal penyelenggaraan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati dan /atau Walikota dan Wakil Walikota tahun 2020 bahwa beberapa tahapan seperti pendaftaran calon perseorangan yang sudah ditutup per tanggal 23 Februari 2020 pukul 00.00 WIB dan untuk kabupaten/kota yang menyelenggarakan Pilkada di Provinsi Banten menghasilkan bakal calon perseorangan (bapaslon) di Kota Cilegon 3 pasangan, Kabupaten Pandeglang 2 bapaslon, sedangkan di Kabupaten Serang dan Kota Tangerang Selatan nihil atau tidak ada bapaslon perseorangan.
Berbarengan dengan itu tahapan yang sudah dan sedang berjalan adalah rekrutmen penyelenggara adhock, diantaranya Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) penyelenggara tingkat Kecamatan yang sudah terbentuk, rekrutmen Panitia Pemungutan suara (PPS) Penyelenggara tingkat Desa/Kelurahan yang masih berjalan dan sebentar lagi rekrutmen Petugas Pemutakhiran Daftar Pemilih (PPDP), dengan demikian tahapan pemutakhiran data pemilih akan segera dimulai.
Pada pemilu 2019 lalu, tahapan pemutakhiran daftar pemilih adalah salah satu tahapan yang membutuhkan waktu dan menguras serta menyita energi penyelenggara juga paling menyedot perhatian publik, bukan hanya perhatian peserta pemilu tetapi juga masyarakat luas. Dari mulai isu pemilih siluman, orang gila yang dijadikan pemilih dan masuk dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang kemudian isunya akan dikerahkan oleh KPU pada hari pemungutan suara ke dalam TPS yang sudah dipetakan.
Berbagai macam berita hoaks pun menggelinding begitu saja ke hadapan publik, apalagi didukung dengan teknologi yang digenggam oleh masing-masing orang yang membuat berita mengalir deras tanpa dapat dibendung alirannya dan menjadi ramai diperbincangkan yang kemudian disebut dengan viral.
Pemilih dalam pasal 198 Undang-Undang nomor 7 tahun 2017 tentang pemilu 2019 disebutkan bahwa: “Warga negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara sudah genap berusia 17 (tujuh belas) tahun atau lebih, sudah kawin, atau sudah pernah kawin mempunyai hak dalam memilih”. Lebih lengkap disebutkan pula dalam pasal 5 ayat 2 PKPU nomor 19 tahun 2019 tentang perubahan atas PKPU nomor 2 tahun 2017 tentang pemutakhiran data dan penyusunan daftar pemilih dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan / atau Walikota dan Wakil Walikota, bahwa pemilih harus memenuhi syarat: “a) genap berusia 17 (tujuh belas) tahun atau lebih pada hari pemungutan suara atau sudah/pernah kawin; b) dihapus; c)tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai hukuman tetap; d) berdomisili di daerah pemilihan yang dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk Elektronik; e) dalam hal pemilih belum mempunyai Kartu Tanda Penduduk Elektronik sebagaimana dimaksud pada huruf d, dapat menggunakan Surat Keterangan yang diterbitkan dinas yang menyelenggarakan urusan kependudukan dan catatan sipil setempat; dan f) tidak sedang menjadi anggota Tentara Nasional Indonesia, atau Kepolisian Negara Republik Indonesia”.
Dalam regulasi yang dibuat oleh pemerintah (Undang-undang) dan regulasi turunannya (PKPU) tidak ditemukan kalimat atau kata-kata apa yang disebut sebagai “orang gila” oleh masyarakat pada pemilu 2019 lalu, tidak disebutkan bahwa orang yang mempunyai keterbatasan baik fisik maupun mental dilarang masuk ke dalam daftar pemilih, tidak ada pembeda antara orang normal (sehat) dengan orang berkebutuhan khusus (penyandang disabilitas), semua sama tidak dibeda-bedakan, selama masih memenuhi syarat.
Dengan demikian jelas bahwa seluruh warga negara Indonesia yang sudah memenuhi syarat sebagaimana disebutkan diatas berhak untuk memilih dan bisa didaftarkan menjadi pemilih dalam daftar pemilih. Hanya memang untuk pemilih dengan berkebutuhan khusus atau disabilitas dalam sidalih (sistem dan informasi daftar pemilih) dan formulir daftar pemilih diberi keterangan atau pengkodean untuk menandai bahwa pemilih tersebut adalah pemilih disabilitas, hal tersebut bertujuan untuk pembuatan TPS (Tempat Pemungutan Suara) agar ramah (baca: aksesibiltas) untuk semua kalangan pemilih.
Dalam lampiran PKPU nomor 19 tahun 2019 disebutkan dalam kolom 12 pengkodean untuk pemilih disabilitas: 1. untuk pengkodean disabilitas fisik, 2. untuk disabiltas intelektual, 3. untuk disabilitas mental, 4. Untuk disabilitas sensorik .
Terpenting pula bahwa masyarakat juga bisa melihat daftar pemilih yang sudah ditetapkan oleh KPU, karena setiap penetapan daftar pemilih dari mulai DPS (Daftar Pemilih Sementara), DPSHP (Daftar Pemilih Sementara Hasil Perbaikan) sampai menjadi DPT (Daftar Pemilih Tetap), semua masyarakat bisa melihat, mengecek dan mengaksesnya secara langsung baik di tempat-tempat yang sudah ditentukan (kantor Kepala Desa atau tempat yang dapat dijangkau oleh masyarakat) ataupun di website yang sudah disiapkan oleh KPU. Hal ini sejalan dengan 7 (tujuh) prinsip pemutakhiran daftar pemilih yaitu: akurasi, komprehensif, mutakhir, inklusif, transparan, responsif dan partispastif.
Sungguh mudah sebetulnya untuk masyarakat bersikap partisipatif, ikut berperan aktif dalam mengelola daftar pemilih ini, karena KPU sudah bersikap terbuka, transparan dan membuka akses agar menghasilkan daftar pemilih yang akurat.
Mari jadi pemilih cerdas dan bijak dalam setiap menerima informasi apapun, terlebih dalam setiap pemilihan (baik pemilu, pilkada bahkan pilkades sekalipun) yang selalu saja ada isu-isu atau berita hoaks yang belum tentu kebenarannya apalagi bisa dipertanggungjawabkan. Sekecil apapun sumbangsih yang kita berikan, akan membuat hidup kita lebih bermanfaat lagi.
Penulis, Anggota KPU Kab. Tangerang Divisi Data dan Informasi