Oleh KH. Imaduddin Utsman (Wakatib PWNU Banten, Pengasuh Ponpes NU Kresek, Tangerang, Banten
Nahdlatul Ulama (NU) mungkin adalah satu-satunya organisasi kemasyarakatan (Ormas) Islam yang memiliki human resources yang melimpah untuk mengeksplorasi hukum Islam. Eksistensi pondok-pondok pesantren NU setiap tahunnya melahirkan para mutafannin multidisiplin ilmu yang diperlukan dalam istinbath al ahkam.
Bahtsul Masail (BM) adalah media ulama kalangan nahdiyyin dalam istinbath hukum secara berjama’ah (istinbath jama’i). Hasil-hasil keputusan BM dianggap sebagai al-Qawl al Rajih (pendapat yang kuat) yang menjadi pendapat jumhur ulama NU, walaupun tetap NU sebagai lembaga harus menghormati apabila ada kyai NU yang melakukan istinbath fardi (penggalian hukum secara individu) yang berbeda dengan hasil keputusan BM.
Metodologi istinbath hukum yang selama ini digunakan oleh kalangan NU dapat dikerucutkan menjadi dua metode: pertama taqlid qawliy (taqlid tekstualis) yaitu mengambil pendapat ulama dalam kitab-kitab fiqih mu’tabarah. Yang kedua taqlid manhaji (taqlid metodologis), yaitu menetapkan hukum yang tidak ditemukan dalam kitab mu’tabarah dengan metodologi yang biasa digunakan ulama yang mu’tabar.
Taqlid qawliy dibagi menjadi tiga: taqrir, tahqiq dan ilhaq al mas’alah bi al nadziriha. Taqrir adalah menetapkan hukum suatu masalah di tengah-tengah masyarakat dengan pendapat ulama yang terdapat di dalam kitab fiqih mu’tabar, dalam keadaan pendapat ulama dalam masalah ini tidak terjadi khilaf (dissensi). Tahqiq adalah menetapkan hukum suatu masalah di tengah-tengah masyarakat dengan pendapat ulama yang terdapat dalam kitab fikih mu’tabar, dalam keadaan pendapat ulama dalam masalah ini terjadi khillaf, kemudian digunakan metode tanqih atau tarjih (mencari yang terkuat pijakan hukumnya) dari kedua pendapat ini. Sedangkan ilhaq al mas’alah bi al nadziriha adalah menetapkan hukum suatu masalah yang tidak ditemukan jawabannya didalam kitab-kitab fikih mu’tabar dengan cara mencari padanan masalah ini dengan masalah yang ada di dalam kitab-kitab fikih dengan mencari persamaan illat hukumnya. Ketiga macam taqlid ini masih mengacu kepada kitab-kitab mu’tabarah di kalangan NU.
Adapun yang di maksud taqlid manhaji adalah cara ulama NU beristinbath dalam menetapkan hukum di tengah masyarakat tentang suatu masalah yang belum ditemukan status hukumnya di dalam kitab-kitab mu’tabarah dengan langsung meneliti nash al-Qur’an dan hadits tetapi tetap dengan metodologi yang diakui dan digunakan oleh para ulama mu’tabar yang telah dituangkan dalam kitab-kitab ushul fikih.
Istinbath dengan metode taqlid manhaji ini dapat dilaksanakan dengan tiga metode. Dua metode telah disepakati dikalangan NU, sedangkan satu metode belum disepakati. Dua metode yang telah disepakati itu adalah istinbath bayani (dari nash langsung) dan istinbath qiyasi (dengan memperhatikan illat). Sedangkan satu cara yang terjadi dissensi dikalangan ulama NU adalah metode istinbath maqoshidi.
Dalam pra Musyawarah Nasional (Munas) alim-ulama NU yang dilaksanakan di Pesantren Pagentongan, Bogor, pada 1-2 Maret beberapa waktu lalu, selain terjadi perdebatan tentang definisi apa itu istinbath maqosidi, para mubahitsin juga berdebat tentang perlu dan tidaknya metode ini dikembangkan dikalangan NU. Sebagian para mubahitsin masih memiliki kekhawatiran bahwa metode ini kemudian menjadi celah liberalisme ditubuh NU.
Istinbath maqoshidi adalah istinbath yang mengacu kepada mashlahah sebagai tujuan dari disyariatkannya sebuah hukum (maqoshid al syari’ah), terkadang terkesan metode ini mengesampingkan nash ketika berhadapan dengan kemaslahatan.
Para ulama NU yang hadir dalam BM maudhu’i di Pegentongan itu sebagian setuju menggunakan metode ini mengingat banyak masalah hukum yang muncul dalam konteks kekinian yang sulit untuk diselesaikan dengan metode konvensional, metode ini pula dianggap sebagai metode titik-temu dari dua kubu pemikiran yang sama-sama ekstrim yaitu kaum tekstualis dan liberalis. Sebagian lagi belum bisa menerima karena metode ini rawan digunakan oleh kaum liberal yang berkiblat kepada Al Thufi (w. 716 h.) yang demi kemaslahatan kemudian berani mengesampingkan nash. Salah satu jargon Al-Thufi adalah: Tanqih al nushus bi al mashlahah (nash-nash al-Qur’an dan Hadits dapat direkontruksi relevansinya demi kemaslahatan).
Pemikiran al Thufi mendapat kritik tajam dari para pakar ushul fikih kalangan NU. KH. Ma’ruf Amin umpamanya mengemukakan jargon: idza wujida al nash fa tsamma al mashlahah, artinya: apabila sudah terdapat nash, maka mashlahat itu terdapat dalam tuntunan nash itu, tidak boleh keluar dari nash secara radikal. KH. Ma’ruf Amin pula berpendapat, dalam keadaan nash itu tidak ada, maka mashlahat itulah yang harus menjadi rujukan. Jargon beliau yang terkenal tentang ini adalah: idza wujidat al mashlahat fa tsamma syar’ullah, artinya bila disitu ada maslahat maka itulah hukum Allah. (https://youtu.be/FbwcBZ1Cu18)
Teori al Thufi juga dikritik oleh Said Ramadhan al-Buthi, menurutnya teori Al-Thufi cacat secara epistemologis, karena menurut Al-Buthi, al-Thufi salah dalam mengambil kesimpulan tentang kasus Umar bin Khattab ketika tidak memotong tangan pencuri. Menurut al-Thufi tindakan itu karena merujuk kemaslahatan sehingga dapat mengesampingkan nash. Sedang menurut al-Buthi, tindakan umar yang memberi grasi tidak memotong tangan itu adalah karena Umar mengkompromikan beberapa teks nash yaitu antara nash memotong tangan bagi pencuri dan nash meninggalkan had karena ada kesamaran. (Al-Buthi, Dlawabith al maslahat)
KH. Afifuddin Muhajir, pakar Ushul Fikih NU yang kepakarannya dalam ilmu ushul dapat disejajarkan dengan KH. Ma’ruf Amin dan KH. Sahal Mahfudz, dalam makalahnya saat BM di Pagentongan itu menyatakan bahwa istinbath maqosidi bisa diakomodir sebagai salah satu metode NU dalam menetapkan hukum, selain istinbath bayani dan qiyasi. Menurutnya, istinbath maqosidi mempunyai pijakan referensi yang jelas dari sunnah nabawiyyah.
Beliau mengungkapkan salah satu contoh referensi dari riwayat Imam Bukhari dan Muslim tentang kejadian para sahabat yang akan kembali dari perang Ahzab, ketika itu Nabi Muhammad SAW mengatakan bahwa tidak ada sahabat yang solat Ashar kecuali di Bani Quraidzah, ketika solat Ashar tiba para sahabat belum sampai ke Bani Quraidzah, sebagian sahabat tetap memegang perintah Nabi agar salat di Bani Quraidzah, sebagian lagi melaksanakan salat diperjalanan karena ditakutkan waktu Ashar akan habis. Setelah masalah itu dilaporkan kepada Nabi, Nabi mengapresiasi keduanya.
Menurut KH. Afifuddin Muhajir, sahabat Nabi yang menunda salat Ashar sampai di Bani Quraidzah berpatokan kepada nash yaitu ucapan Nabi agar sahabat tidak salat kecuali di bani Quraidzah, sedangkan sahabat yang salat di perjalanan berpatokan kepada maqosid al syari’ah yaitu dengan memahami ucapan Nabi itu bukan sebagai larangan sesungguhnya, tetapi agar sahabat berjalan cepat sehingga dapat sampai di Bani Quraidzah sebelum Magrib.
Akhirnya perdebatan dalam BM pra-Munas itu berakhir dengan jalan tengah yaitu istinbath maqosidi yang diakomodir NU adalah istinbath maqoshid bi dlawabit (istinbath maqosid yang terukur; tidak liberal), dan hanya bisa dilaksanakan oleh mubahits mutawaffir bi syurut al ijtihad (pembahas yang memenuhi syarat ijtihad) sehingga istinbath yang dimaksud untuk mencari pemecahan hukum ditengah masyarakat tidak malah dijadikan instrumen liar untuk mengkesampingkan nash.
Materi BM pra munas di Pegentongan ini belum final, ia hanya bersifat draft yang akan diterima atau ditolak oleh para mubahits di Munas alim ulama yang direncanakan akan dilaksanakan di Pesantren Rembang pada 18-19 Maret mendatang. Wallahu a’lam bi al showab. (RMI/RAC)