Oleh: Eresia Nindia W, Ibu rumah tangga
TANGERANGNEWS.com-Bukan tanpa dasar bila Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait, memasukkan Banten dalam zona merah kasus kekerasan seksual pada anak. Pasalnya, sepanjang 2018 Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kota Tangerang Selatan mencatat terdapat 156 aduan dengan 111 aduan anak-anak yang mengalami kekerasan seksual (bantenhits.com, 22/12/2018).
Sejak bulan Januari hingga Agustus 2020 saja sudah 139 kasus yang melapor ke Polda Banten, dan itu didominasi kekerasan seksual (kompas.com, 08/09/2020). Kota Serang, yang sudah menyandang Kota Layak Anak (KLA) sejak 2018 lalu pun mencatat tingginya kasus pelecehan anak pada kwartal pertama 2021 ini. Dari catatan P2TP2A Kota Serang, sudah ada 17 kasus pelecehan anak yang ditangani sejak Januari sampai April 2021.
Dua kasus pelecehan seksual pada anak yang menggemparkan Januari 2021 lalu juga terjadi di Pandenglang, Banten. Pelaku pelecehan dan kekerasan seksual dilakukan oleh orang terdekat korban, seperti ayah tiri, paman, tetangga dan sepupu (liputan6.com, 20/01/2021).
Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) ditargetkan terbentuk di setiap kecamatan di Banten untuk mencegah dan menjadi wadah pelaporan kasus kekerasan seksual. Pemkot Tangsel misalnya, menargetkan PATBM sudah terbentuk di seluruh kecamatan di Tangsel pada 2021 ini.
Toyalis, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Kota Serang, mengatakan bahwa tingginya kasus pelecehan anak karena kelalaian orangtua dan penggunaan gadget tanpa pendampingan pada anak (bantenhits.com, 12/04/2021).
Pengasuhan anak, memanglah menjadi tanggung jawab orangtua. Pemenuhan kebutuhan psikis dan fisik terutama kasih sayang dan tumbuh kembangnya menjadi urusan orangtua. Namun, menjamin hak-hak dasar anak terpenuhi seperti gizi, keamanan, kesehatan, dan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama orangtua, masyarakat, pemerintah daerah dan Negara.
Dalam UU 35 Tahun 2014 yang merupakan perubahan atas UU 23 Tahun 2002, tertuang bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin kesejahteraan tiap warga negaranya, termasuk perlindungan terhadap hak anak yang merupakan hak asasi manusia. Hak anak yang berkaitan dengan semua aspek tumbuh kembangnya menjadi kewajiban pemerintah daerah dan negara.
Jauh panggang dari api.
Potret kelam kasus pelecehan anak merupakan fenomena gunung es yang menyimpan silang sengkarut permasalahan multidimensi. Orangtua para korban kekerasan memang salah, namun kesalahan tidak bisa dibebankan seluruhnya pada mereka. Tidak mungkin orangtua sebagai unit kecil dalam masyarakat mampu mengatur aspek sosial-ekonomi-keamanan-pendidikan-kesehatan dalam pengasuhan anak, yang merupakan kewajiban negara. Di sanalah negara harus hadir menjalankan fungsinya dalam menjamin hak hidup anak.
Orangtua yang melakukan kekerasan seksual pada anaknya bisa didorong oleh stress karena faktor kekurangan secara ekonomi. Keadaan ini diperburuk dengan tingginya gaya hidup individualisme di mana satu tetangga bisa sedemikian abai pada permasalahan tetangganya, keamanan individu menjadi sesuatu yang mahal.
Ditambah dengan konten sensual yang begitu mudahnya dijangkau dari telepon genggam, meracuni banyak otak hingga kecanduan pornografi dan hilang pengendalian diri. Semua ini bertemu dengan rendahnya pemahaman akan agama. Sehingga hilang sudah rasa takut pada Allah SWT dalam melakukan kemaksiatan.
Indonesia menurut BPS akan panen bonus demografi 2030-2045 mendatang. Artinya jumlah penduduk usia produktif akan lebih tinggi dibanding kelompok usia lain. Pengisi usia produktif di masa itu adalah mereka yang yang saat ini berstatus sebagai anak dengan usia di bawah 18 tahun. Tentunya, bukan generasi sakit yang ingin negara ini panen dalam masa bonus demografi itu. Namun jika angka kekerasan seksual ini tidak bisa ditekan, tentu anak-anak yang rapuh secara psikis akan mendominasi populasi pada akhirnya. Kita wajib waspada.
Dalam islam, anak adalah aset peradaban. Pada pundak mereka, estafet kepemimpinan dan jatuh bangun negara akan digantungkan. Perlindungan pada anak bukan sekedar urusan hitam di atas putih, namun benar-benar menjadi concern Negara. Syariat Islam mewajibkan Negara memenuhi kebutuhan anak akan gizi yang baik, sanitasi, pendidikan murah bahkan gratis, kesehatan, dan keamanan.
Rasulullah, Khulafaur Rasyidin serta para khalifah setelahnya telah mencontohkan bagaimana syariat Islam telah mengatur sedemikian apik urusan manusia. Kita tau, di masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, tidak satu pun warga Negara yang pantas menerima zakat. Kesejahteraan tampak dengan murahnya biaya pendidikan dan kesehatan. Kita sama tau, biaya pendidikan dan kesehatan yang tinggi di masa sekarang adalah faktor penyebab stress dan depresi pada orangtua.
Pelecehan dan kekerasan seksual merupakan kasus derajat tinggi dalam Islam, setara dengan pemerkosaan dan perzinahan. Dan hukumannya sebagagaimana dijelaskan dalam QS An Nur ayat 2: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka cambuklah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali cambukan, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman” (QS. An Nur: 2).
Jika saja semua elemen masyarakat Banten menjadikan syariat ini sebagai pedoman, tentulah pondasi Iman Taqwa yang merupakan semboyan Provinsi Banten akan terlaksana dalam realitas. Tidak sekedar simbol dan slogan. (RAZ/RAC)