Oleh: Eresia Nindia W, Pemerhati Generasi
TANGERANGNEWS.com-Tidak berlebihan jika sastrawan kita, Pramoedya Ananta Toer, dan para Multatulian menggelari karya Eduard Douwes Dekker, Max Havelaar, sebagai sebuah kisah yang secara tidak langsung telah membunuh kolonialisme. Setelah roman itu diterbitkan di Belanda pada 1860, segera kegemparan memenuhi Negeri Kincir Angin tersebut. Rakyat Belanda seolah baru menyadari bahwa kenyamanan hidup yang selama ini mereka nikmati tergelar di atas mayat rakyat Hindia Belanda yang mati karena kelaparan, kelelahan dan ketidakadilan.
Publik meminta pemerintah Belanda melakukan sesuatu. Tak etis jika kerja rodi pembangunan jalan raya Pos Anyer-Panarukan masih harus dilanjutkan dengan cultuurstelsel atau tanam paksa. Rakyat Hindia bekerja tanpa upah, dibiarkan mati terkapar di jalan dan ladang-ladang.
Tuntutan rakyat Belanda direspons bukan dengan meniadakan kolonialisme. Gubernur Hindia mana yang sudi menghapus kolonialisme --sebuah metode primitif kapitalisme dalam mengeruk kekayaan yang saat itu mampu mengisi perut, menghidupi rakyat Belanda, dan membuat VOC berkibar? Tetapi politik balas budi kemudian dilakukan dengan memberi kesempatan pribumi bangsawan untuk mengecap pendidikan formal.
Gerakan antikolonialisme yang diusung para Sultan kerajaan Islam di Nusantara, menemui momentum puncaknya ketika pendidikan sekolah ini dienyam oleh anak bangsa. Lewat pendidikan, kalangan Bumiputera paham, bahwa pengisapan dan eksploitasi satu bangsa oleh bangsa lain dengan asas penjajahan, adalah terkutuk. Pada akhirnya, putra-putra terbaik Indonesia dengan semangat bebas dari penjajahan telah mampu mengusir Belanda dan Jepang secara fisik dari bumi Indonesia. Kita belajar, sekolah telah mengubah pemikiran. Tidak hanya mengubah, bahkan membangkitkan.
160 tahun setelah Max Havelaar terbit, sekolah telah menjadi tempat formal menuntut ilmu bagi bangsa ini. Agaknya pendahulu kita menyadari pentingnya membangkitkan pemikiran dalam gedung-gedung pendidikan formal.
Sekolah Tak Layak Pakai
Sudah sejak 2018, sembilan dari 14 ruang kelas di SMP 2 Kosambi, Kabupaten Tangerang, rusak cukup parah. Siswa harus bergantian belajar di ruang kelas yang masih layak ditempati. Kegiatan belajar jadi sering tak kondusif. (tangerangnews.com, 18/01/2022). Tidak hanya itu, dua ruangan di SDN 2 Karangharja, Cisoka, Kabupaten Tangerang, juga mengalami kerusakan. (antaranews.com, 01/12/2021).
Kabupaten Tangerang, masih ada di provinsi yang sama dengan Lebak, tempat Multatuli menyaksikan kekejaman feodalisme Jawa dalam kultur kolonial. Nyaris dua abad sejak itu, kita masih harus menerima fakta gedung sekolah beratap langit karena asbesnya runtuh, lantainya rusak, dengan meja-bangku tak layak pakai. Miris.
Dua sekolah terkait telah melaporkan keadaan gedung sekolah itu pada dinkes setempat. Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Tangerang, Syaifullah, yang dihubungi mengatakan bahwa tiga dari sembilan ruangan rusak di SMPN 2 Kosambi telah diperbaiki. Sisa enam kelas lain akan diperbaiki jika dana telah ada. Syaifullah bahkan mengatakan bahwa kerusakan di SMPN 2 Kosambi itu tak seberapa, masih banyak sekolah lain yang lebih parah kerusakannya. Anggaran harus dibagi-bagi dengan sekolah rusak yang lain. (detik.com, 24/01/2022)
Kontradiksi Visi Misi Pendidikan dan Kebijakan
Apa yang dikatakan Syaifullah, Kadindik Kabupaten Tangerang, adalah kemunduran dari cita-cita pendidikan bangsa. Syaifullah berkata bukan hanya SMPN 2 Kosambi yang rusak, tapi banyak sekolah lain dengan keadaan yang lebih buruk. Ini baru potret kecil di Kabupaten Tangerang, wilayah yang hanya sejengkal jaraknya dari Ibu Kota Negara. Belum lagi jika dikorek data sekolah tak layak pakai di Pulau Jawa, di Indonesia.
Di sini, pemerintah butuh berkaca pada segala kebijakan yang telah digariskan dalam sistem pendidikannya: apakah wajah pendidikan Indonesia hari ini telah sejalan atau justru mengkhianati proklamasi? Apakah output sistem pendidikan hari ini adalah manifestasi dari UUD 1945 atau justru telah menikam visi misinya?
Jika benar bangsa ini meyakini bahwa pendidikan akan menghapuskan penjajahan, maka tidak pantas ada gedung sekolah yang empat tahun mangkrak tak diperbaiki dengan alasan tidak ada dana. Founding Father nusantara bisa menangis dalam kubur jika mereka tahu kenyataan pahit pendidikan kita hari ini.
Kita baru berbicara tentang kerusakan gedung sekolah, kita belum akan beranjak pada pertanyaan-pertanyaan filosofis lain yang entah apakah bangsa ini bisa menjawabnya atau tidak. Seperti: jika pendidikan mampu membangkitkan pemikiran, mengapa negeri kita masih punya 27 juta penduduk yang lebih melarat dari miskin? Mengapa nelayan mati kelaparan di negara yang garis pantainya terpanjang di dunia? Mengapa ada petani yang kurang makan di negeri lumbung padi? Mengapa siswa sekolah formal masih terjebak dalam kubangan narkoba, seks bebas, tawuran, hamil usia dini, dan aborsi? Mengapa manusia buah dari pendidikan malah menggelapkan uang negara, menggadaikan aset kekayaan negara, bahkan menyerahkan SDA pada korporat swasta dan asingi? Dan yang paling menyedihkan, dari seluruh kekayaan yang negeri zamrud khatulistiwa miliki ini, tidakkah cukup untuk membiayai perbaikan gedung sekolah yang tak layak pakai?
Sistem Pendidikan dan Pandangan Hidup
Negara mana pun akan punya visi misi pendidikan yang setinggi-tingginya, sebaik-baiknya, seagung-agungnya. Tak masuk akal bila ada negara yang menggadai masa depannya sendiri dengan main-main pada pendidikan generasi penerusnya. Namun cita-cita yang tinggi hanya akan berjalan jika didukung oleh sistem yang menaungi dan kebijakan teknis yang diambil.
Prof Fahmi Amhar, seorang cendekiawan muslim berkata bahwa ‘jika ada standar pendidikan yang di dalamnya tidak untuk membentuk misi sebagai generasi terbaik, maka standar pendidikan tersebut sudah gagal sejak awal.’ Potret pendidikan kita saat ini adalah bukti bahwa visi-misi pendidikan samasekali tidak disokong oleh sistem dan kebijakan yang linier. Kita menjumpai fenomena gedung sekolah rusak, akses menuju sekolah yang sulit dilalui, mulai dipungutnya pajak pendidikan, ketimpangan kesejahteraan guru PNS dan honorer, sarana-prasarana sekolah tak memadai di daerah yang jauh dari keramaian, SDM yang dihargai begitu murah meskipun telah menempuh wajib belajar 12 tahun, fenomena siswa yang berpendidikan tapi tak bermoral.
Sistem kapitalisme-liberal rupanya tidak mampu mewujudkan cita-cita pendidikan kita. Kita sudah berjalan sedemikian jauh paska kemerdekaan, hanya untuk kembali ke titik yang sama. Kolonialisme mungkin telah usai. Tapi kapitalisme hanya mengubahnya menjadi neokolonialisme dengan bentuk pencaplokan kekayaan negara melalui liberalisasi di semua aspek. Dulu pendidikan mampu membebaskan penjajahan fisik. Tapi pendidikan saat ini tidak bisa melepaskan kita dari penjajahan tak kasat mata, yaitu hegemoni kepentingan asing dan swasta. Pemikiran generasi kita rebah di garis yang bukan jadi tujuan kemerdekaan.
Islam sebagai sebuah pandangan hidup melihat pendidikan sebagai satu sistem yang berkaitan erat dengan ideologi. Pendidikan dalam islam wajib linier dan menyuburkan akidah. Artinya pendidikan diselenggarakan untuk menjadikan setiap insan bertakwa pada Allah SWT lalu menjadi ahli dalam agama dan sains tanpa dikotomi.
Rasulullah SAW diberi wahyu pertama untuk membaca, agar memahami. Beliau Saw juga bersabda bahwa menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim. Mencari ilmu diwajibkan hingga ke liang lahat, bahkan sampai ke negeri Cina. Sistem pendidikan dalam islam bisa kita lihat fakta gemilangnya di masa Rasulullah sendiri, masa Khulafaur rasyidin dan masa kekhilafah Abassiyyah di Baghdad selama 500 tahun.
Di masa Rasulullah SAW, hak belajar tulis baca warga negara diintegrasikan dalam politik perang. Beliau memberi kesempatan setiap tawanan perang beroleh pembebasan dengan mengajarkan baca tulis pada 10 orang warga negara Islam.
Pada masa khalifah Umar, setiap guru mendapat insentif luar biasa besar. Hingga seorang guru di jenjang TK pun mendapat gaji sekitar 15 dinar atau setara 63,75 gram emas 24 karat per bulan.
Khalifah Harun Al Rasyid, seorang khalifah Abbasiyyah, memberi insentif para penulis buku dengan emas seberat timbangan buku yang ditulisnya. Para khalifah pun mengembangkan berbagai lembaga pendidikan di berbagai level termasuk pendidikan tinggi dengan berbagai fasilitas yang mumpuni. Yang terkenal dalam sejarah antara lain Universitas Nizamiyah dan Al-Mustansiriyah di Baghdad, Al-Azhar di Mesir, al-Qarawiyyin di Fez, Maroko, dan Sankore di Timbuktu, dan Mali.
Khilafah Bani Abbasiyah secara umum telah mampu meletakkan pendidikan di masa itu sebagai mercusuar. Lahir tokoh-tokoh ilmuwan muslim yang sangat dikenal sebagai pelopor ilmu-ilmu modern di berbagai cabang ilmu pengetahuan. Sebut saja, al-Ghazali, Ibnu Ruysd, Ibnu Sina, Ibn Khaldun, Al-Farabi, Ibnu Sina, al-Khawarizmi, dan al-Ferdowsi, dan banyak ilmuwan lain yang karyanya menjadi penggerak renaisans di Eropa.
Pengakuan akan tingginya kualitas sistem pendidikan Islam ini, dapat dilihat dari catatan sejarah peradaban Islam yang terserak di berbagai kitab. Di antaranya, catatan tentang surat yang dikirimkan George II raja Inggris, Swedia, dan Norwegia kepada Khalifah Hisyam III. Di suratnya, ia memohon dengan penuh kerendahan agar putra putri bangsa Eropa diperkenankan mengenyam “mata air yang jernih” berupa universitas-universitas ilmu pengetahuan dan industri-industri yang maju di negeri Islam yang makmur dan sejahtera. Bahkan, ia mengirimkan hadiah bersama delegasi dari kalangan pangeran dan putri raja-raja Eropa yang datang kepadanya. Surat ini lalu dijawab oleh Khalifah dengan penerimaan yang sangat terbuka. Bahkan ia menyatakan, baitulmal siap membiayai kebutuhan bagi mereka selama belajar di negerinya.
Sejarah ini menunjukkan bahwa pendidikan tidak bisa lepas dari worldview negara. Penyelenggaraan pendidikan akan linier mulai filosofis hingga teknis, mulai hulu (pemerintah-masyarakat) hingga hilir (individu-keluarga), jika ideologi kukuh dan serius pada kualitas dunia-akhirat generasi. Pendidikan adalah tulang punggung peradaban. Kita sudah membuktikan, pendidikan yang baik mampu membangkitkan pemikiran. Pemikiran yang bangkit, akan menghilangkan belenggu penjajahan. Jika gedung sekolah dan aneka sarana sekolah roboh tidak lagi mengkhawatirkan negara, maka tinggal tunggu saja hingga taraf berpikir kita rebah seluruhnya.