Oleh: Ayu Mela Yulianti, Penggiat Literasi, Pemerhati Generasi dan Kebijakan Publik
TANGERANGNEWS.com-Sah! NIK dijadikan sebagai NPWP, maka tak ada satupun wajib pajak yang bisa mangkir dari kewajiban bayar pajak. Sebab semua data telah terintegrasi di NIK. Secara nilai administratif, hal ini menunjukan satu kemajuan manajemen administrasi negara, namun disisi lain hal tersebut menimbulkan satu keluhan besar bagi mayoritas masyarakat, yaitu akankah kelak kelalaian membayar pajak akan menimbulkan kesulitan administratif lainnya ? Semisal saat mengurus keperluan lain yang bersifat administratif, mengingat terintegrasinya seluruh data dalam satu nomor yaitu NIK.
Sebab pada tataran faktanya, saat ini, pungutan pajak yang beragam begitu memberatkan bagi masyarakat. Apalagi saat pajak bersifat progresif, dan selalu mengalami kenaikan. Karenanya sejak dulu, hal tersebut menyebabkan, banyak para wajib pajak yang mangkir dari kewajiban membayar pajak, sebab besarnya kewajiban pajak yang harus ditunaikan. Sementara pendapatan tidak sebanding dengan kewajiban pajak yang harus ditunaikan yang nilainya bertambah tahun, prosentasenya semakin bertambah besar. Yang menjadikan banyaknya wajib pajak yang tidak menunaikan kewajiban membayar pajak, yang menyebabkan banyaknya pos pajak yang kosong, tak terisi.
Rupanya, banyaknya pos pajak yang tidak terisi sebab banyaknya wajib pajak yang mangkir dari kewajiban membayar pajak, melahirkan berbagai kebijakan strategis agar para wajib pajak mau menunaikan kewajibannya, semisal program tax amnesty ataupun sunset policy, tetapi tetap tidak menghasilkan hasil yang diharapkan. Akhirnya menjadikan pemerintah mengeluarkan jurus yang lebih jitu yaitu menjadikan NIK sebagai NPWP untuk lebih mudah dalam pendataan para wajib pajak, lebih simpel dan terintegrasi, sebagai efek dari kemajuan sistem teknologi yang dapat mengintegrasikan seluruh informasi, yaitu menjadikan NIK sebagai nomor pokok wajib pajak ( NPWP), sehingga wajib pajak tidak bisa berkelit dan menghindar dari kewajiban membayar pajak. Sebab jika tidak bayar pajak, semua urusan administratif menjadi pelik dan sulit.
Alhasil, dengan menjadikan NIK sebagai NPWP, pendapatan melalui pajak diprediksi akan meningkat, sebab dipastikan jika semua wajib pajak akan menunaikan kewajiban pajak dengan baik. Namun hal yang tidak diprediksi adalah akankah benar-benar pemasukan negara melalui pajak yang tersistem dan terintegrasi, akan benar-benar menjadikan negara ini aman pendapatannya, tidak mengalami defisit anggaran lagi ? Mengingat pengeluaran negara secara hitung-hitungannya, tetap saja lebih besar dari pendapatannya, yang saat ini hanya bersumber dari pajak semata, yang pada akhirnya menjadikan utang luar negeri sebagai jurus akhir menutup defisit anggaran, alhasil utang negara semakin bengkak.
Apalagi ditambah banyaknya kasus korupsi yang melilit negeri, plus kewajiban membayar utang luar negeri yang jatuh tempo. Karenanya, memang menjadi sesuatu hal yang cukup pelik, manakala mengejar kestabilan pendapatan negara, hanya dari pajak saja. Dan saat tidak mencukupi pendapatan melalui pajak, terus dikeluarkan kebijakan menaikan pajak kembali dengan berbagai macam bentuknya, padahal hal demikian faktanya sangat memberatkan warga masyarakat. Terbukti dari banyaknya warga yang mangkir dari membayar pajak.
Secara angka bisa jadi pendapatan negara meningkat seiring dengan semakin banyaknya wajib pajak yang membayar pajak, baik secara sukarela maupun terpaksa. Namun dengan sistem hidup yang menyuburkan praktek korupsi dan utang luar negeri yang cukup besar, sangat mustahil untuk menjadikan pajak sebagai satu - satunya sumber pendapatan negara yang bisa menutupi kebutuhan negara berikut seluruh operasional kenegaraannya.
Karenanya, harus dicari sumber lain selain pajak untuk mendongkrak pendapatan negara yang selalu defisit yang pada akhirnya ditutupi dengan jalan utang berbunga. Dan sumber pendapatan lain tersebut haruslah sumber pendapatan non utang dan non pajak, dan harus diambil dari kekayaan alam sendiri. Sebab faktanya, alam memiliki dan mengandung banyak kekayaan yang bisa menghidupi, semisal emas, perak, besi, uranium dan segala macam barang tambang, yang bisa menjadi sumber kekayaan negara sebagai modal untuk mengurusi rakyatnya. Belum lagi laut dan segala isinya, juga hutan dan segala hal yang dikandungnya. Semua itu adalah aset besar yang bisa dijadikan sebagai sumber pendapatan negara yang bisa dijadikan sebagai modal untuk operasional negara mengurusi seluruh urusan rakyatnya.
Selain juga harus ada perubahan paradigma dalam mekanisme pengelolaan seluruh sumber daya alam tersebut, yaitu menjadi pengelolaan yang dilakukan secara mandiri dalam seluruh prosesnya. Negara mengambil peran sebagai pengelola sumber daya alam, bukan sekedar regulator yang menjadikan pihak lain sebagai pengelola sumber daya alam miliknya, yang kemudian negara hanya mengambil bagian berupa pajak saja dari hasil pengelolaan SDA tersebut dari pihak lain, yang nilainya tidak seberapa besar, dibandingkan dengan nilai yang akan diperoleh jika memproses sendiri tahapan pengelolaan SDA yang kita miliki.
Sebab hanya itu, satu-satunya jalan untuk mendongkrak pendapatan negara, yang tidak membebani rakyat dengan berbagai macam pungutan atas nama pajak. Selain juga harua ada perubahan gaya hidup yang hedonis liberalistik, menjadi gaya hidup yang bersahaja yang memang patut dicontohkan langsung oleh para pejabat dan petinggi negeri, sehingga menjadi contoh dan teladan bagi rakyatnya. sebab karakter rakyat adalah mudah untuk mengikuti contoh real dari para pemimpinnya terutama dari para pejabat negeri.
Sehingga dengan gaya hidup bersahaja, tidak memamerkan kekayaan, tidak menimbun banyak harta kekayaan, akan lebih memudahkan pemberantasan korupsi. Dan juga gaya hidup bersahaja yang dicontohkan oleh para petinggi negeri dengan sebenar-benarnya bukan sekedar kebutuhan pencitraan, akan mampu secara efektif memangkas segala bentuk pengeluaran negara yang bersifat foya-foya, hal ini berarti akan menurunkan belanja negara juga, dan akan dapat menurunkan kebutuhan berutang sebab menurunnya belanja negara pada hal-hal yang tidak perlu.
Karena itu tak mengapa NIK dijadikan sebagai NPWP, selama nilai pajak yang harus ditunaikan masih bisa ditoleransi dan manusiawi yaitu tidak sampai memberatkan rakyat untuk menunaikannya dan tidak menjadikan rakyat sulit dalam mengurus seluruh urusan kehidupannya. Seiring dengan upaya sungguh-sungguh dari pemerintah mencari sumber pendapatan negara berupa non pajak dan bukan utang.
Wallahualam.