Oleh: Hana Annisa Afriliani, S.S., Aktivis Dakwah dan Penulis Buku
TANGERANGNEWS.com-Baru-baru ini masyarakat, khususnya para pekerja tengah ramai membincangkan soal ketentuan mengenai kewajiban iuran untuk Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Diketahui aturan tersebut merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024.
Aturan tersebut berisi tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat. Dalam peraturan tersebut, pemerintah memaksa para pekerja yang termasuk ASN, karyawan swasta, dan pekerja mandiri atau freelance untuk ikut sebagai peserta Tapera.
Apa itu Tapera?
Tapera adalah singkatan dari tabungan perumahan rakyat. Ini adalah bentuk tabungan yang menghimpun dan menyediakan dana murah jangka panjang berkelanjutan untuk pembiayaan perumahan dalam rangka memenuhi kebutuhan rumah layak dan terjangkau bagi peserta.
Tapera sebelumnya hanya diwajibkan bagi ASN, TNI-Polri dan pegawai BUMN, tetapi sekarang juga menyasar para pekerja swasta. Adapun untuk persentase besaran simpanan paling baru ditetapkan dalam Pasal 15 PP 21/2024.
Dalam ayat 1 pasal tersebut, disebutkan besaran simpanan yang ditetapkan pemerintah adalah sebesar 3 persen dari gaji atau upah untuk peserta pekerja dan penghasilan untuk peserta pekerja mandiri.
Sementara ayat 2 pasal yang sama mengatur tentang besaran simpanan peserta pekerja yang ditanggung bersama oleh pemberi kerja sebesar 0,5 persen dan pekerja sebesar 2,5 persen. Mekanismenya nanti secara otomatis gaji pekerja dipotong setiap bulannya (tanggal 10). Dengan syarat pekerja tersebut berusia minimal 20 tahun, sudah menikah, dan gaji minimal UMR.
Adapun terkait manfaat Tapera sebagaimana diatur pasal 24 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat, pembiayaan rumah meliputi pembelian rumah milik baru, pembangunan rumah, serta perbaikan rumah.
Benarkah untuk Kepentingan Rakyat?
Pemaksaan negara kepada rakyatnya dalam wujud iuran bukan kali ini saja. Sebelumnya ada BPJS Kesehatan yang juga dipaksakan kepada rakyat, sampai-sampai kepesertaan BPJS diwajibkan sebagai syarat banyak urusan publik, di antaranya syarat Umroh dan Haji (belied No. 5 huruf b), syarat mengurus SIM, STNK, SKCK (belied No. 25 huruf a), syarat jual beli tanah (belied No. 17), syarat mengurus administrasi di seluruh kementerian dan lembaga.
Sangat mengiris hati. Sudahlah gaji tak seberapa dan belum tentu sudah mampu memenuhi seluruh kebutuhan pokok dan kebutuhan dasar rakyat, negara malah menambah derita rakyatnya dengan menyunat paksa gaji pekerja setiap bulannya. Bukankah ini kezaliman yang nyata?
Bisa jadi niat awalnya pemerintah ingin memfasilitasi pekerja mendapatkan hunian lewat tabungan, karena faktanya memang banyak masyarakat Indonesia yang belum memiliki rumah. Sebagaimana dilansir oleh cnbcindonesia.com (08-08-2023) Backlog kepemilikan rumah di Indonesia masih sangat tinggi, mencapai 12,7 juta. Angka backlog sulit turun karena terus meningkatnya kebutuhan karena pertambahan penduduk di tengah keterbatasan lahan dan mahalnya suku bunga kredit kepemilikan rumah. Backlog adalah kondisi rakyat yang belum memiliki rumah sendiri.
Namun benarkah pemaksaan iuran Tapera adalah demi kepentingan rakyat? Jika menilik pada track recordnya, dana rakyat yang mengendap akan menjadi peluang korupsi bagi para pejabat negeri. Atau akan diputar dana tersebut dengan skema investasi oleh pemerintah.
Jelaslah bahwa pemaksaan iuran Tapera sama sekali tidak menguntungkan rakyat. Gaji dipotong 3 persen sebagai tabungan membeli rumah, namun pemerintah tidak mampu mengendalikan inflasi kenaikan harga rumah yang terus meroket. Lantas sampai kapan rakyat bisa punya rumah?
Pemotongan gaji pekerja atas nama iuran Tapera hanyalah tipu-tipu ala sistem kapitalisme. Betapa ironisnya nasib rakyat yang kian jauh dari sejahtera. Pemalakan demi pemalakan dilakukan negara dengan legalitas UU. Ini sungguh memprihatinkan. Semestinya jika memang negara serius ingin menyejahterakan rakyatnya dan memenuhi kebutuhan asasi rakyatnya, maka negara akan menerapkan sistem ekonomi yang pro terhadap kepentingan rakyat. Bukan sistem ekonomi kapitalis yang hanya berpihak kepada para pemilik modal.
Jika ingin rakyatnya terpenuhi kebutuhan papannya, semestinya negara menyediakan rumah murah tanpa riba dan negara menjamin kesejahteraan para pekerja dengan memberikan jaminan terdistribusinya kekayaan alam negeri ini secara merata kepada seluruh lapisan masyarakat. Tidak hanya beredar di kalangan orang kaya saja.
Dalam Islam, gaji pekerja diberikan berdasarkan tenaga yang dicurahkan. Hal ini nantinya berupa kesepakatan antara pemberi kerja (musta'jir) dan pekerja (ajir). Tidak ada kewajiban pemberi kerja untuk memberikan gaji yang mampu mencukupi seluruh kebutuhan pokok pekerjanya. Karena sejatinya besaran gaji pekerja disesuaikan dengan kadar pekerjaannya alias besar kecilnya tenaga atau upaya yang dicurahkan.
Adapun jaminan terpenuhi kebutuhan pokok rakyat adalah kewajiban negara, bukan pemberi kerja. Oleh karena itu, negara wajib menerapkan sistem yang mampu menjamin terwujudnya kesejahteraan rakyat, yakni sistem Islam yang sumber hukumnya berasal dari sang Maha Pencipta. Wallahu'alam bis shawab.