Oleh: Ummu Ainyssa, Aktivis Muslimah
TANGERANGNEWS.com-Korlantas Polri terus menyiapkan cara guna membuat masyarakat taat membayar pajak kendaraan. Salah satunya adalah “jemput bola”, petugas kantor Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap (Samsat) di sejumlah wilayah di Indonesia akan langsung mendatangi rumah para penunggak pajak kendaraan untuk menagih pembayaran yang menunggak. Program ini pun telah diterapkan di beberapa wilayah seperti di Jakarta dan Jawa Barat.
Program door to door ini juga dilakukan demi mengoptimalkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor Pajak Kendaraan Bermotor (PKB). Sementara saat ini tingkat kepatuhan masyarakat dalam perpanjangan STNK 5 tahun masih sangat minim. Dari catatan Korlantas Polri, dari total 165 unit kendaraan yang terdaftar, tidak ada setengahnya yang membayar pajak. (detik.com, 11-11-2024)
Di sisi lain, rakyat juga harus bersiap-siap dengan kenaikan PPN. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, memastikan bahwa pajak pertambahan nilai atau PPN yang sebelumnya 11% bakal naik menjadi 12% per 1 Januari 2025. Menurutnya, kenaikan ini sudah dipertimbangkan demi APBN, sekaligus menjalankan mandat dari Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021. (Tempo.co, 15-11-2024)
Tidak bisa dimungkiri, dalam sistem kapitalisme sumber pemasukan utama negara didapatkan dari pajak. Maka tidak heran jika akhirnya berbagai cara dilakukan demi menertibkan rakyat dalam membayar pajak. Sayangnya, pengejaran rakyat untuk taat membayar pajak berbeda dengan perlakuan terhadap para pengusaha. Rakyat bagaikan sudah jatuh masih tertimpa tangga. Hidup semakin susah dengan naiknya harga-harga kebutuhan pokok, ditambah susah dengan banyaknya potongan pajak. Sementara pengusaha justru banyak mendapat keringanan pajak.
Padahal negeri ini kaya akan Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah. Jika saja SDA ini diolah secara benar, pasti akan sangat cukup sebagai pemasukan negara tanpa harus mengejar pajak. Sayangnya, semua pengolahan SDA tersebut diliberalisasi kepada swasta maupun asing. Sementara negara hanya mendapatkan bagian tidak akan cukup untuk menyejahterakan rakyat.
Akibatnya, rakyat yang sudah melarat akan terus dikejar pajak. Mereka yang menunggak membayar pajak, bisa jadi bukan karena enggan. Namun ada di antara mereka memang tidak mampu untuk membayar karena mahalnya biaya yang harus dibayarkan.
Pajak dalam Islam
Hal ini sangat berbeda dengan pemungutan pajak di dalam sistem Islam. Di dalam Islam pajak hanya boleh dipungut dari kaum muslim dalam kondisi kas negara (baitulmal) benar-benar kosong tidak ada uang atau harta apa pun. Jika ada harta dalam baitulmal, maka haram bagi negara untuk memungut pajak dari rakyat. Di dalam Islam negara bertanggung jawab terhadap semua urusan rakyatnya. Kebutuhan primer, kesehatan, pendidikan, infrastruktur, dan lain-lain, semua pembiayaannya ditanggung oleh negara dari baitulmal. Lantas dari mana sumber pendapatan baitulmal ini?
Sumber pendapatan negara di dalam Islam di antaranya diperoleh dari fai dan kharaj yaitu meliputi ghanimah, kharaj, status tanah, jizyah, fai, dan pajak (dlaribah) dari kaum muslim hanya pada kondisi baitulmal kosong, selanjutnya dari bagian kepemilikan umum meliputi minyak dan gas, laut, pertambangan, sungai, perairan dan mata air, hutan dan padang gembalaan, listrik serta aset-aset yang diproteksi negara untuk keperluan khusus.
Selain itu ada juga pemasukan dari zakat atau shadaqah atas kepemilikan harta yang hanya wajib bagi kaum muslim. Zakat ini meliputi zakat uang dan perdagangan, zakat pertanian dan buah-buahan, serta zakat ternak (unta, sapi, dan kambing). Zakat hanya diambil dari harta yang telah mencapai nisab, setelah dikurangi hutang-hutangnya dan telah mencapai satu tahun (haul). Kecuali untuk zakat tanaman hasil pertanian dan buah-buahan, zakatnya diwajibkan pada saat panen.
Namun untuk pos zakat ini akan dibuatkan tempat khusus di dalam baitulmal agar tidak bercampur dengan harta lainnya. Sebab, penyaluran harta zakat hanya diperuntukkan kepada delapan golongan saja yaitu orang fakir, miskin, pengurus zakat (amil), mualaf, untuk memerdekakan budak, orang yang berutang, untuk jalan Allah (fi sabilillah), dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan (ibnu sabil) sebagaimana yang telah Allah Swt. wajibkan di dalam Al-Qur’an surah At-Taubah ayat 60.
Dari harta di baitulmal inilah negara wajib memenuhi semua kebutuhan rakyatnya. Jika di baitulmal tidak ada uang atau harta maka kewajiban pembiayaannya beralih kepada kaum muslim. Dalam kondisi seperti inilah, maka negara akan mewajibkan kaum muslim yang kaya/mampu untuk membayar pajak. Penarikan pajak ini hanya untuk menutupi kekurangan biaya terhadap berbagai kebutuhan dan pos-pos pengeluaran yang diwajibkan, tidak lebih dari itu. Kewajiban membayar pajak hanya dibebankan kepada kaum muslim yang mempunyai kelebihan harta dan diambil dengan cara yang makruf.
Pemungutan pajak ini hanya akan digunakan untuk pembiayaan hal-hal yang mendesak dan penting saja. Seperti, pembiayaan para fuqaha, orang miskin dan Ibnu sabil, pembiayaan gaji yang harus segera dibayarkan, gaji tentara, pegawai, hakim, guru, dan lain-lain yang melaksanakan tugas untuk kemaslahatan kaum muslim, pembiayaan yang harus dikeluarkan untuk kemaslahatan dan kemanfaatan umat, yang keberadaannya sangat dibutuhkan, dan jika tidak dibiayai maka bahaya akan menimpa umat. Misal untuk pembiayaan jalan-jalan umum, sekolah, universitas, rumah sakit, masjid, pengadaan saluran air minum, dan lain-lain, serta untuk pembiayaan keadaan darurat (bencana) seperti paceklik, gempa bumi, angin topan, tanah longsor, atau mengusir musuh, serta biaya jihad yang sangat mendesak.
Adapun pengambilan pajak tidak boleh disengaja untuk menambah pemasukan baitulmal, dipaksakan melebihi kesanggupan, atau melebihi kadar harta orang kaya. Dalam arti negara tidak boleh mewajibkan pajak tanpa ada kebutuhan yang mendesak. Demikian juga negara tidak boleh mewajibkan pajak dalam bentuk keputusan pengadilan, atau untuk pungutan biaya di muka (dalam urusan administrasi negara), atas transaksi jual beli tanah dan pengurusan surat-suratnya, gedung-gedung, serta timbangan barang dagangan. Jika hal itu dilakukan maka negara telah berbuat zalim dan terlarang, sebab hal itu termasuk dalam pemungutan cukai (al-maksu).
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad, Ad-Darami dan Abu Ubaid, Rasulullah saw. bersabda, "Tidak akan masuk surga orang-orang yang memungut cukai."
Demikianlah Islam memberikan solusi terbaik dalam mengurusi rakyat. Jika negara mampu mengelola SDM yang melimpah demi kemaslahatan rakyat, negara pasti mampu menyejahterakan rakyat tanpa perlu lagi memungut pajak.