Oleh: Hana Annisa Afriliani, Aktivis Dakwah dan Penulis Buku
TANGERANGNEWS.com-HIV/AIDS merupakan penyakit pembunuh nomor satu di dunia. HIV/AIDS disebabkan oleh virus Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia. Orang yang menderita penyakit ini akan mengalami gejala awal hampir sama dengan flu, yakni nyeri otot, demam, sakit kepala, sakit tenggorokan, batuk, diare, dan lain-lain. Gejala lanjutanny adalah terjadi pembesaran kelenjar limfa di seluruh tubuh.
Kemudian terjadi infeksi oportunistik, yaitu infeksi pada sistem kekebalan tubuh yang lemah akibat jamur, virus, bakteri, maupun parasit lainnya. Bahayanya lagi, penyakit HIV/AIDS ini menular melalui hubungan seksual, penggunaan jarum suntik bersama, melalui kehamilan, persalinan dan menyusui.
Di Indonesia sendiri, angka penderita HIV/AIDS terus meroket. Sebagaimana dilansir oleh liputan6.com (01-12-2024) bahwa sepanjang Januari hingga September 2024, Indonesia mencatat lebih dari 35 ribu kasus HIV dan 12 ribu kasus AIDS baru. Angka ini hampir menyamai total laporan kasus tahun 2023. Sebanyak 71 persen kasus baru dilaporkan pada pria, dengan dominasi usia produktif 20 hingga 49 tahun. Remaja di bawah usia 20 tahun menyumbang sekitar 6 persen dari total kasus.
Bahkan dinyatakan bahwa ibu rumah tangga pun terpapar virus mematikan tersebut. Sebagaimana dilansir oleh Tangerangnews.com (10/12/2024) bahwa sebanyak 189 orang ibu rumah tangga terpapar HIV dari total penularan baru HIV yakni sebanyak 2.100 kasus sebagaimana yang dicatat oleh Dinas Kesehatan (Dinkes) Banten. Sungguh memprihatinkan!
HIV/AIDS Buah Pahit Liberalisme
Liberalisme yakni paham kebebasan yang diadopsi dari Barat, telah menjadikan negeri ini kian terperosok ke dalam lingkaran problematika. Kebebasan yang diagung-agungkan di segala bidang kehidupan, termasuk di antaranya kebebasan dalam berperilaku nyatanya membawa pada kehancuran. Sayangnya kebebasan ini dilindungi atas nama hak asasi manusia.
Lihat saja, akibat kebebasan berperilaku, seks bebas merajalela. Bahkan seks menyimpang sesama jenis kian nyata menorehkan fakta. Padahal ekses dari perilaku seks bebas ini adalah selain menularkan penyakit berbahaya, di antaranya sipilis, HIV/AIDS juga mengakibatkan kehamilan yang tidak diinginkan—yang seringnya berujung pada aborsi. Ini sungguh menjadi lingkaran setan yang merusak tatanan kehidupan manusia. Pun merusak masa depan generasi bangsa.
Jika menilik pada akar penyebab menyebarnya HIV/AIDS, maka kasus ibu rumah tangga terpapar HIV/AIDS ini tidak cukup diselesaikan hanya dengan melakukan skrining HIV atau pmberian obat pencegahan penularan HIV bernama PrEP (Pre Exposure Profilaksis) bagi pasangan dari orang dengan HIV (ODHIV) atau mempunyai perilaku seks berisiko tinggi sebagaimana yang dilakukan oleh Dinkes Banten.
Upaya tersebut sesungguhnya tidak akan mampu menyelesaikan secara tuntas, karena hanya bertindak di tataran permukaan saja. Padahal akar persoalan yang sesungguhnya adalah perilaku liberal yang menjadi corak pergaulan di tengah masyarakat hari ini. Jika perilaku seks berisiko tinggi dimaknai sebagai hubungan seks sesame jenis atau hubungan seks bebas, maka semestinya itulah yanh harus dihilangkan. Bukan sekadar dicegah penularan HIV nya, melainkan di-stop perilaku seksual berisikonya.
Sistem Islam, Obat Mujarab Penularan HIV/AIDS
Islam adalah agama yang tidak hanya mengatur urusan peribadatan yang bersifat ritual, melainkan juga mengatur seluruh kehidupan manusia dalam seluruh aspeknya secara komprehensif, termasuk dalam hal pergaulan antarmanusia maupun antarlawan jenis. Islam dengan tegas melarang LGBT karena hal tersebut melanggar fitrah manusia yang telah Allah ciptakan dengan berpasang-pasangan. "Mengapa kamu mendatangi jenis lelaki di antara manusia, dan kamu tinggalkan isteri-isteri yang dijadikan oleh Tuhanmu untukmu, bahkan kamu adalah orang-orang yang melampaui batas." (Surah Asy-Syu’ara:165-166)
Al-Qur’an juga telah mengabarkan bahwasannya Allah Swt telah memberikan azab yang sangat pedih kepada kaum Nabi Luth a.s diakibatkan karena perilaku seks menyimpang yang mereka lakukan. Oleh karena itu, kisah tersebut selayaknya menjadi pelajaran bagi manusia agar tidak melakukan kemaksiatan yang serupa. Sejatinya, LGBT merupakan sebuah penyakit yang harusnya dilakukan upaya penyembuhan, bukan malah dinormalisasi dengan anggapan bahwa hal tersebut adalah pilihan bebas setiap individu. Negara berperan mewujudkan masyarakat yang sehat dalam perilaku, serta tidak menyimpang dari apa-apa yang ditetapkan oleh syariat.
Selain itu, Islam juga melarang seks bebas. Hubungan seksual hanya boleh dilakukan dalam lembaga pernikahan yang sah. Di luar itu, terkategori sebagai zina yang pelakunya akan dikenai sanksi tegas. Dalam sistem sanksi Islam, pelaku zina akan dihukum dengan 100 kali jilid (cambuk) jika statusnya belum menikah (ghairu muhsan), namun dikenai hukum rajam jika sudah menikah (muhsan). Inilah bentuk ketegasan Islam dalam menjaga kehormatan, kesucian, dan nasab manusia. Dan negara wajib mengimplementasikan aturan ini dalam kehidupan, sehingga seks bebas di tengah masyarakat akan dapat dihilangkan. Betapa tidak, sanksi tegas yang dijatuhkan Islam bagi para pezina tersebut akan mampu berfungsi sebagai jawabir (penebus) dosa di akhirat, juga sebagai jawazir (pemberi efek jera) bagi orang lain.
Jelaslah, sistem Islam mampu menjadi solusi tuntas bagi persoalan HIV/AIDS di negeri ini karena mampu menyelesaikannya secara fundamental. Inilah mengapa kita butuh adanya perubahan sistemik, yakni perubahan mendasar dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sistem sekuler liberal ala Barat telah terbukti tidak mampu menciptakan kehidupan yang adil dan beradab, melainkan justru kian menjerumuskan negeri ini ke dalam kehancuran.
Wallahu’alam bis shawab