Oleh : Bambang Soesatyo
Anggota DPR RI 2009-2014/
Presidium Nasional KAHMI 2012-2017
Menjelang 2014 ada fenomena menarik, yakni banyak yang mimpi dan gila jadi presiden. Sehingga banyak tokoh yang tidak mengukur baju dan lupa pada cermin. Untuk bisa maju sebagai calon presiden, maka tidak ada jalan lain kecuali ikut konvensi. Sehingga tidak heran jika peserta konvensi tersebut berisi beragam tokoh. Dari tokoh yang memang sudah diakui ketokohannya, hingga tokoh abal-abal. Mereka tampak kehilangan rasionalitas.
Siapapun mahfum, kalau kita konpilasi dari berbagai hasil survei, mustahil rasanya Partai penyelenggara konvensi tersebut bisa mengusung sendiri capres dan cawapresnya. Karena syarat untuk bisa mengajukan pasang capres dan cawapres, partai atau gabungan partai pengusung harus mencapai 20 persen kursi di DPR. Atau minimal memperoleh 25 persen dari total suara sah pemilu legislatif pada 2014 sebagaimana ketentuan Undang-undang No.42 tahun 2008 tentang Pilpres.
Artinya, kalau tidak ada perubahan aturan dan kentuan UU tentang Pilpres serta perubahan cuaca politik yang signifikan, maka dapat diperkirakan pada 2014 nanti hanya ada tiga jangkar pengusung capres dan cawapres. Yakni, Golkar dan koalisinya, PDIP dengan koalisinya dan Gerindra bersama gabungan partai-partai kecil yg tidak masuk dalam koalisi Golkar maupun PDIP.
Sehingga, kemungkinan besar pada 2014 nanti hanya ada tiga pasangan capres dan cawapres. Bahkan bukan tidak mungkin hanya ada dua jangkar yang akan mengusung dua pasangan calon. Yakni Golkar dengan koalisinya dan PDIP plus Gerindra dengan sekutunya. Atau Golkar plus PDIP dan Gerindra plus PAN, PKB, PD serta beberapa partai kecil lainnya. Pertanyaanya kemudian adalah, dimana posisi capres pemenang konvensi? Wuallahualam.
Etape Krusial
Pilpres 2014 merupakan etape krusial dalam tahapan proses demokrasi di Indonesia. Tahun 2014 merupakan grand final bagi para elite politik kawakan untuk bisa memperebutkan kursi singgasana orang nomor satu di republik ini.
Bagi yang sudah di atas 60-an tahun atau lebih, tahun 2014 adalah momentum atau kesempatan terakhir untuk mengadu nasib. Sementara pada saat yang sama, elite-elite muda atau yang belum pernah ikut berkompetisi politik menjadikan Pilpres 2014 sebagai sarana mengukur kekuatan elektoral mereka setelah sekian lama bersembunyi di balik bayang-bayang elite tua.
Perhelatan pilpres 2014 akan diwarnai ketidakpastian tinggi. Masing-masing partai politik sudah mulai menggadang-gadang Capresnya masing-masing. Sejauh ini tak ada calon presiden yang dominan. Terlebih, presiden yang berkuasa saat ini, sudah tidak memiliki lagi peluang untuk mencalonkan diri lagi.
Tak pelak akan terjadi perang bintang antar Capres yang ada. Pertarungan pun akan menjadi lebih sengit daripada Pilpres 2009. Politik akan semakin panas dan rentan dengan adanya ledakan bara api politik yang panas tersebut.
Partai Golkar sendiri sudah bertekad bulat untuk mencalonkan Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie (ARB) sebagai Capres 2014. Ada beberapa catatan saya yang membuat ARB layak menjadi presiden. Pertama, suara kader di 500 kabupaten kota sudah bulat mendukung ARB. Kedua, ARB adalah ketua umum partai sehingga dari sisi kepemimpinan tak perlu diragukan lagi. Ketiga, kita semua tahu ARB mempunyai jaringan nasional dan internasional yang luas.
Keempat, ARB merupakan salah satu politisi yang sukses secara bisnis, dan bangsa Indonesia di masa depan membutuhkan seorang entrepreneur untuk memimpinnya. Kelima, ARB berpengalaman dalam birokrasi pemerintahan. Ia pernah menjabat Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat dalam Kabinet Indonesia Bersatu. Sebelumnya ia juga pernah menjabat sebagai Menteri Koordinator Perekonomian dalam kabinet yang sama.
Keenam, ARB berani memerintahkan anak buahnya di DPR untuk menggelindingkan pembentukan Pansus Mafia Pajak. Padahal nama Ical selalu digandengakan dengan persoalan pajak oleh lawan-lawan politiknya. ARB juga memiliki komitmen yang kuat dalam pemberantasan korupsi. Dalam kasus Century misalnya, ARB selalu mendukung dan mendorong saya untuk terus membongkar kasus Century hingga tuntas.
Ketujuh, ARB adalah satu-satunya ketua umum partai yang sejak masuk partai politik tidak pernah mempraktikkan nepotisme dalam bidang politik. Sejak masuk Golkar dia belum pernah menempatkan keponakan, adiknya atau keluarganya di eksekutif maupun di legislatif. Dia satu-satunya politisi yang bisa begitu. Kedelapan, pola kepemimpinan ARB selama ini tidak frontal dalam menghadapi Pemerintahan. Ia bisa melihat setiap permasalahan bangsa yang ada dengan bijak
Terkait hasil sejumlah lembaga survey yang menyebutkan elektabilitas ARB rendah, Partai Golkar menanggapi positif hasil survey tersebut. Kita justru menjadikan hasil survey tersebut sebagai cambuk untuk memacu kinerja mesin partai bekerja lebih keras lagi guna menaikan elektabilitas ARB.
Hasilnya, menurut saya hingga kini cukup menggembirakan. Hasil sejumlah survey menunjukan elektabilitas ARB terus meningkat. Semisal, dari hasil survei opini publik Litbang Kompas yang dirilis pada tanggal 26 Agustus lalu, ARB mendapat 8,8 persen suara. Artinya, elektabilitas ARB beranjak naik dibandingkan perolehan Desember 2012 yang hanya 5,9 persen suara. Ini merupakan kecenderungan positif dan bisa melegakan ARB serta Partai Golkar.
Partai Golkar tentu akan terus berusaha mengambil langkah-langkah yang lebih tepat untuk meningkatkan elektabilitas ARB. Selama ini Partai Golkar sudah melakukan program politik. Baik berupa roadshow ke daerah-daerah, penyegaran anggota legislatif, dan membentuk badan pemenangan pemilu,
Partai Golkar juga memiliki strategi kampanye ‘3 in 1’, yakni memadukan kampanye Pilkada, Pileg dan Pilpres. Selain itu, masih banyak program unggulan Partai Golkar yang belum diketahui oleh rakyat. Ini tugas dari seluruh Caleg Partai Golkar mensosialisasikan program tersebut untuk kemenangan Partai Golkar dan meningkatkan elektabilitas ARB.
Akankah kasus lumpur Lapindo menjadi batu ganjalan buat pencalonan ARB? Menurut saya kasus Lapindo tidak akan menjadi bumerang bagi ARB. Karena ARB sangat konsisten untuk menyelesaikan kasus Lapindo ini. Meskipun kasus Lapindo oleh pemerintah telah dinyatakan bagian bencana gempa bumi Jogja, sehingga ARB tidak perlu memberikan ganti rugi, pada kenyataannya ARB tetap mengeluarkan uang hingga Rp 9 triliun untuk ganti rugi para korban Lapindo.
Mengenai ada beberapa tokoh Partai Golkar yang masih merasa belum cocok dengan pencalonan ARB, itulah dinamika politik. Kita tidak bisa meminta semua sepaham dengan kita. Politik sangat dinamis. Pasti ada yang tidak sependapat sedengan kita. Terpenting, semua DPD Partai Golkar solid mendukung pencalonan ARB. Hingga saat ini belum ada rencana evaluasi terhadap ARB, karena trend elektabilitas ARB pada kenyataannya terus menanjak naik.
Lalu, bagaimana wacana koalisi dengan partai lain? Setiap partai politik pasti sadar mereka tidak cukup kuat untuk memenangkan pertempuran pemilihan presiden tanpa melakukan koalisi dengan partai lain. Partai Golkar tentu akan menggandeng tokoh lain di luar Partai Golkar untuk mendampingi ARB maju ke gelanggang pertempuran pemilihan presiden.
Koalisi Mini dan Pendamping
Menurut saya, ada sejumlah tokoh yang sangat layak untuk digandengakan dengan ARB. Akan sangat bagus apabila Partai Golkar bisa menggaet Gubernur DKI, Joko Widodo, sebagai pasangan Aburizal Bakrie pada Pemilu 2014 mendatang. ARB dan Jokowi merupakan pasangan yang tepat untuk memperbaiki keadaan negeri ini. Sosok Jokowi yang disukai rakyat, jelas bisa mendongkrak elektabilitas ARB. Keduanya memiliki tipikal yang sama, yaitu tipikal pekerja. Saat ini Jokowi memang ‘milik’ PDIP. Karenanya, kita harapkan PDIP mau bekerjasama dengan Golkar, dan menjadikan Jokowi sebagai calon wakil presiden untuk berduet dengan ARB.
Kalau PDIP dan Golkar bergabung, maka akan terbentuk koalisi pemerintahan mini yang efektif dan parlemen yang kuat. Tidak seperti sekarang ini, koalisi tambun namun tidak efektif.
Tokoh lain yang cocok untuk diduetkan dengan ARB adalah Mahfud MD. Mahfud merupakan sosok yang tegas dan berani. Ia juga sukses ketika menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi dan Menteri Pertahanan. Elektabilitas Mahfud juga cukup tinggi di masyarakat.
Kalau calon di luar partai politik, menurut saya, cawapres yang ideal adalah salah satu pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Seperti Abraham Samad, Bambang Widjoyanto atau Busryo Muqodas. Karena hari-hari ini, tidak ada hari tanpa pimpinan KPK muncul di media. Dan, isu pemberantasan korupsi adalah isu yang sangat seksi.