TANGERANG-Tim Pemohon Judicial Review UU Perkawinan yang terdiri dari Anbar Jayadi, Damian Agata Yuvens, Rangga Sujud Widigda dan Luthfi Saputra mengapresiasi rencana pemerintah untuk memberikan peluang bagi penghayat aliran kepercayaan untuk mengosongkan kolom agama di KTP.
Kebolehan untuk mengosongkan kolom agama dianggap sudah sepantasnya diterapkan di Indonesia yang memang terdiri dari beragam keyakinan. Pengosongan ini juga dianggap penting untuk memberi hak bagi setiap warga negara atas pelbagai dokumen kependudukan, tanpa harus mengubah identitas keyakinan.
Damian Agata Yuvens, mewakili tim pemohon Judicial Review Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan menuturkan bahwa rencana kebijakan yang dikeluarkan oleh Mendagri Tjahjo Kumolo adalah langkah maju dalam penegakan keberagaman keyakinan di Indonesia. Tim pemohon mendukung langkah pemerintah untuk berani mengambil kebijakan yang meski tidak populer namun menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia.
“Kebijakan ini adalah sebuah langkah maju bagi keberagaman keyakinan kita, sekaligus upaya pemerintah untuk memberi ruang bagi penghayat keyakinan, yang selama ini cenderung dipaksa untuk memilih satu dari enam Agama yang diakui oleh pemerintah. Negara telah memberi kepastian dan perlindungan hukum bagi hak untuk berkeyakinan.”
“Sebagai seorang Tionghoa, saya rasa kebolehan pengosongan kolom agama ini sangat penting untuk dilakukan. Mengingat, ada banyak masyarakat Tionghoa yang menganut aliran keyakinan confusius maupun Taoisme namun dipaksa untuk diafiliasikan dengan satu dari enam agama yang ada di Indonesia.
Kebolehan pengosongan kolom agama, merupakan bentuk komitmen pemerintah untuk melindungi hak setiap warga negara untuk memiliki keyakinan. Kami berpendapat, rencana pemerintah ini adalah langkah maju dalam upaya menghargai keberagaman. Penghargaan terhadap keberagaman tersebut, diharapkan bisa turut dicerminkan terhadap hasil Judicial Review yang kami ajukan,” tutur Damian.
Tim Pemohon berpendapat bahwa pemaksaan untuk memilih satu dari enam keyakinan resmi di Indonesia bagi para penghayat keyakinan di Indonesia bertentangan dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika.
Selain itu, pemaksaan bagi para penghayat untuk memilih agama yang dianggap resmi oleh pemerintah menjadikan kolom agama hanyalah kolom formalitas semata yang tidak sesuai dengan keyakinan sesungguhnya dari para penghayat.
Sehingga akan ada banyak orang yang secara legal menganut satu dari enam keyakinan resmi, namun secara nyata tidak pernah benar-benar meyakini apalagi menjalankan keyakinan tersebut.