TangerangNews.com

Refleksi Pemerintah Tandingan 1958

| Selasa, 17 Februari 2015 | 14:13 | Dibaca : 6410


Wahyudin Arief (Istimewa / TangerangNews)


 

Oleh : Wahyudin Arief ( Mahasiswa Sejarah Keudayaan Islam UIN Jakarta dan Kader HIMATANGBAR)

 

Indonesia, 57 tahun yang lalu, tepatnya tanggal 15 Februari 1958 terjadi suatu peristiwa yang sering kita dengar dengan “pemberontakan PRRI ” dimana pada saat itu suhu politik dalam negeri sedang mendidih. Munculnya pemberontakan ini tidak lain adalah respon dari rakyat Indonesia atas ketidakpuasan terhadap pemerintah pusat, Jakarta.

Soekarno misalnya, mengangkat dirinya sebagai ketua formatur untuk menyusun kabinet baru, dimana Ir. Djuanda Kartawidjadja sebagai Perdana Menteri. Ini yang membuat Bung Hatta sedih dengan sikap Soekarno, menurutnya, Presiden memang berwenang menunjuk formatur, tetapi dengan pengertian, yang menjadi formatur tidak boleh sama dengan orang yang menjabat Presiden. (Moedjanto, 1992: 103).

 

Pemerintah Tandingan

Sebagai negara yang baru merdeka, Indonesia selalu dihadapkan dengan konflik-konflik yang tidak berkesudahan baik konflik eksternal maupun dari internal. Konflik eksternal misalnya, Indonesia harus berhadapan dengan Agresi Militer Belanda I dan II yang ingin merebut kembali Indonesia dipangkuan kolonial. Disamping itu Indonesia juga harus menghadapi situasi konflik internal, diamana pada saat itu terjadi pemberontakan-pemberontakan, baik pemberontakan PKI, pemberontakn DI/TII, maupun pemberontakan PRRI.

Lahirnya PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) sangat dipengaruhi oleh tuntutan akan adanya otonomi daerah yang menyeluruh, disamping itu deklarasi PRRI bukan untuk membuat negara baru atau melakukan disobedience, tetapi lebih kepada konstitusi agar dijalankan dengan benar. Sikap kecewa terhadap pemerintah pusat diwujudkan dengan sikap pembentukan Dewan-dewan, seperti, Dewan Banteng yang dipimpin oleh Letkol Ahmad Husein, Dewan Garuda yang dipimpin oleh Letkol Barlian, dan Dewan Gajah yang dipimpin oleh Kolonel M Simbolan yang kesemuanya tergabung menjadi sebuah badan yang disebut Dewan Perjuangan.

Dewan Perjuangan pada tanggal 10 Februari mengeluarkan petisi, yang oleh pemerintah pusat dianggap sebagai ultimatum, dengan tuntunan agar Kabinet Djuanda segera mengundurkan diri, serta memberikan kesempatan sepenuhnya kepada Bung Hatta dan Sultan Hamengkubuwono IX untuk menyusun dan membentuk kabinet baru, agar Presiden Soekarno kembali kejalan kosntitusi yang telah ditetapkan dengan membatalkan segala tindakannya yang inskontitusional selama ini, dan apabila tuntutan tersebut tidak dilaksanakan dalam tempo 5 x 24 jam maka Dewan Perjuangan akan menentukan sikap sendiri dan melepaskan kewajiban untuk mematuhi pemerintah pusat.

Setelah segala upaya rekonsiliasi tidak tercapai sampai batas petisi yang telah ditetapkan, maka pada tanggal 15 Februari 1958 PRRI lahir yang dibidani oleh Dewan Perjuangan sebagai pemerintah tandingan yang di ploklamirkan oleh Letkol Ahmad Husein lengkap dengan kabinet tandingan pemerintah pusat yang dipimpin langsung oleh Sjafruddin Prawiranegara (mantan Presiden PDRI). Sehari setelah PRRI lahir, pasukan gerakan PERMESTA di Sulawesi merangkap kedalam kelompok PRRI. Tidak hanya itu, sejumlah tokoh pemerintah pusat juga ikut menggabungkan diri kedalam kelmpok PRRI, seperti, Moh. Natsir, Mr. Asa’at, Burhanuddin Harahap dan lai-lain.

Pemerintah Pusat merespon dengan keras atas pendeklarasian PRRI di Sumatra. Terlebih Soekarno yang baru kembali dari luar negeri menyatakan segala bentuk yang bersifat makar harus segera ditumpas. Namun tidak semua tokoh pemerintah pusat mengamini pernyataan Soekarno ini, terutama Bung Hatta, sebagai wakil Presiden beliau menentang keputusan ini yang akan mengakibatkan terjadinya perang saudara (Civil War). Bung Hatta segera mengirim utusan ke Sumatra untuk menemui Sjafruddin Prawiranegara, nemun entah kenapa utusan ini tidak pernah sampai ke Sumatra.  Karena pengiriman utusan gagal, maka Bung Hatta mendekati Soekarno agar membatalkan niatnya, namun usaha inipun gagal. Akhirnya pada tanggal 20 Februari 1958 genderang perang saudara segera ditabuh. Serangan ini dipimpin oleh Kolonel Ahmad Yani yang diangkat menjadi Komandan Operasi 17 Agustus.

Perang saudara tidak bisa dihindarkan, namun PRRI mendapat dukungan dari rakyat Sumatera, tak terkecuali para pemuda dan mahasiswa yang sedang menjalankan study baik yang di Sumatra maupun di Jawa. Latar belakang mahasiswa ini terdiri dari Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang berjiwa kritis terhadap kebijakan pemerintah pusat yang bersikap inkonstitusional dan prilaku yang irasional. Meskipun para mahasiswa ini tidak terikat secara organisatoris, namun mereka memberikan dukungan secara fisik dan moral dengan turun ke medan pertempuran.

 

Dampak Perang Saudara

Ekses dari perang saudara ini membawa dampak yang sangat luas sampai meluluhlantakan tatanan sosial, rakyat menderita, terlebih ketika pemerintah pusat menjatuhi bom-bom di kota Padang yang mengakibatkan kota ini hancur, banyak warga yang mengungsi di daerah Solok. Tidak hanya itu, sejumlah tokoh-tokoh PRRI ditangkap, meskipun PRRI mendapat dukungan dari banyak kalangan, namun pada akhirnya PRRI dapat ditumpas. Untuk mencegah terjadinya pemberontakan serupa, maka Soekarno mengangkat R. Suprapto menjadi Deputi Republik Indonesia Staf Angkatan Darat untuk wilayah Sumatra. Peristiwa ini menyisakan trauma tersendiri bagi masyarakat Sumatra.

Sejak pemerintah pusat mengirim pasukan untuk menumpas PRRI, sejak itu pula timbul perspektif apa yang dinamakan oleh pemerintah pusat sebagai “pemberontakan” PRRI, namun bagi mereka yang mendukung PRRI menamakan gerakan mereka sebagai “perjuangan” daerah terhadap pemerintah pusat yang inkostitusional. Memang antara pemerontakan dan perjuangan sangatlah beda tipis, tergantung dari mana perspektif kita melihat. Mungkin akan lebih mudah apabila kita melihat dari satu perspektif saja, seolah-olah persoalan akan terlihat jelas. Namun persoalan akan nampak berbeda ketika kita melihat dari berbagai perspektif.

 

Kenyataanya, dewasa ini khalayak orang masih melihat persoalan PRRI dari satu perspektif saja, yaitu suatu pemberontakan. Inilah tugas generasi muda bangsa Indonesia untuk mengkaji ulang dan meyakinkan kepada masyarakat, apakah PRRI sebagai pemberontakan ataukah seagai perjuanagan. Generasi muda harus mempnyai sifat kesadaran sejarah dan harus bisa menghapus aforisme yang sudah tertanam didalam diri Indonesia, yaitu “Sejarah Milik Para Penguasa”.