TangerangNews.com

Mencari Senyum Rohingya di Tengah Panas Kuala Langsa

Bambang Surambang | Kamis, 21 Mei 2015 | 13:00 | Dibaca : 1618


"Tak ada yang paling membahagiakan kami sebagai relawan kemanusiaan kecuali senyum yang mulai tersungging di bibir mereka,” ujar Fitri, relawan ACT yang juga aktifis Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Kota Langsa. (Sumber : ACTNews / TangerangNews)


LANGSA – Bekerja di tempat dengan hawa yang panas seharian cukup membuat fisik cepat ngedrop. Maklumlah, lokasi pengungsian Rohingya dan Bangladesh berada di Pelabuhan Kuala Langsa, Kota Langsa, Aceh dengan tiupan angin yang terhalang bangunan-bangunan besar. Jika tak terbiasa tersengat panas matahari dengan udara yang tak bergerak (berangin) dalam jangka waktu lama, bisa membuat sakit kepala.

“ Hawa disini luar biasa panasnya,” ungkap Hanif, seorang pengunjung yang sedang duduk di bawah pohon, Selasa (19/5/2015). Hal itu dibenarkan temannya yang sibuk kipas-kipas,” Rata-rata pelabuhan hawanya seperti ini,” timpalnya.

Saat sengatan matahari sempurna, sekitar pukul 12.00 sampai pukul 14.00 WIB, para relawan  memanfaatkan waktu bekerja di dalam posko. Beberapa relawan perempuan, memilih sibuk menyortir pakaian, yang lain merapikan catatan, berdiskusi, briefing, atau pun aktifitas lain.

45 Pengungsi Etnis Rohingya Tertangkap di Perairan Tangerang

Di luar, para petugas keamanan, para pengunjung, awak media, relawan dari lembaga lain juga melakukan hal yang serupa. Kecuali ada kegiatan yang mengharuskan mereka hilir mudik, sebagian memilih sejuknya istirahat di bawah pohon.

Di saat hawa panas seperti itu, pengungsi juga enggan berlalu lalang. Sebagian besar memilih tinggal di dalam gedung, tiduran, berbincang, atau di kalangan ibu-ibu, bermain dengan anak-anaknya. Kendati gedung cukup besar, tak berarti sejuk. Tak ada kipas angin, apalagi air conditioning. Kendati pun ada kipas angin, mungkin hanya sedikit membantu mengurangi hawa panas, karena angin yang tertiup juga bukan angin dingin. Tetap saja berkeringat.

Banyaknya pengungsi dalam gedung, serta adanya relawan, para petugas medis, aparat keamanan, atau penyuplai makanan dari dapur umum dinsos, atau warga yang lolos masuk pintu satu-satunya akses resmi ke wilayah pelabuhan untuk menyampaikan bantuan, mengurangi kenyamanan. Belum lagi semburan karbondioksida dari nafas banyak orang dalam gedung, Sempurnalah hawa panas bercampur lembab. Ada benarnya juga pihak aparat keamanan membatasi cukup ketat para pengunjung masuk ke lokasi. Selain membuat rawan dari aspek keamanan, juga bisa mengganggu para pengungsi.

Pada malam hari, hawa panas memang berkurang, namun berganti ancaman lain yang bisa membuat tidur tidak nyenyak. Nyamuk.

“ Nyamuk disini hanya satu, tapi temannya banyak. Cairan anti nyamuk tidak mempan,” ujar Deni, relawan ACT berkelakar. Deni sudah dua malam ini mendapat tugas menjaga posko malam hari, bersama dua temannya. " Bagaimana ya dengan para pengungsi di malam hari di tengah nyamuk yang sedemikian banyak?" ujar Edi mencoba berempati.

Bersyukur kami tetap melihat keceriaan para pengungsi itu mulai ada. Bisa jadi, dibandingkan dengan penderitaan mereka selama tiga bulan terkatung-katung dalam perahu, dengan tanpa bekal makanan yang mencukupi, serta juga panas di siang hari, keadaan di lokasi pengungsi jelas lebih nyaman. Mungkin dalam hati mereka bergumam," Ah ini sih bukan apa-apa dibanding 'siksaan' tiga bulan di tengah laut."

Terbukti, pada saat kami pertama kali berjumpa dengan para pengungsi, wajah-wajah mereka masih nampak tanpa ekspresi. Seperti menyimpan penderitaan luar biasa, rasa lelah, dan putus asa yang coba mereka tahan dalam dada mereka. Namun setelah tiga hari ini mereka dirawat oleh berbagai pihak, termasuk ACT, wajah-wajah mereka mulai berbinar.

“ Tak ada yang paling membahagiakan kami sebagai relawan kemanusiaan kecuali senyum yang mulai tersungging di bibir mereka,” ujar Fitri, relawan ACT yang juga aktifis Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Kota Langsa.

Anak-anak mulai menampakkan keceriannya. Mereka berlari-lari, berteriak-teriak, tertawa-tawa bersama-sama teman sebayanya. Mereka bermain di atas tumpukan pakaian sumbangan masyarakat yang menggunung. Saat saya mencoba mengarahkan bidikan kameranya, seorang anak Rohingya menyunggingkan senyum. Apakah ia sadar kamera, atau ia ingin menyampaikan kepada dunia," Tolong, pertahankan senyum kami!"  saya tidak tahu. Saat tinggalkan anak itu, saya hanya teringat anak-anak jalanan di Jakarta yang berkeliaran di perempatan lampu merah di tengah terik matahari Jakarta yang berasap racun. " Anak sekecil itu berkelahi dengan waktu," kata Iwan Fals menggambarkan masa depan anak manusia yang harus menghadapi tantangan hidup yang berbeda dengan anak-anak pada umumnya.

Sementara itu, kaum perempuan Rohingya saling berbincang satu sama lain, sembari sebagian mengawasi anaknya bermain, ada juga yang sedang bersama anaknya. Kaum prianya, sebagian duduk, berbincang sesama mereka, melayani media, membalas sapaan pengunjung,  menerima layanan para pekerja kemanusiaan. Anak-anak remajanya, lebih suka tiduran di tenda biru besar, yang dipakai untuk shalat jamaah para pengungsi.

Sudah pasti bantuan kemanusiaan terbaik dari berbagai pihak seperti Dinsos Langsa dengan dapur umumnya, PMI dengan layanan medisnya, juga ACT yang melayani pengungsi berbagai ragam kebutuhan, serta membuat even-even bersama lembaga kerelawanan lain untuk meng-healing para pengungsi, dengan mengadakan acara-acara hiburan, berharapan menciptakan kembali semangat hidup yang akan mendorong terwujudnya masa depan yang cerah bagi para pengungsi yang teraniaya itu.

Harapan ACT sendiri, pihak Pemerintah Indonesia segera memberi solusi tuntas bagi para pengungsi, khususnya pengungsi Rohingya, yang oleh Negaranya sendiri, Myanmar, ditolak dan terusir dari kampung halamannya. Pengungsi Rohingya bisa menjadi ajang pembuktian, sejauh mana wajah humanis Bangsa Indonesia di mata dunia.