Oleh : Rudy Gani, Pegiat Tangsel Institute
Kedekatan itu bisa bermacam-macam dilihat dari sebab timbulnya. Ada kedekatan yang muncul dari hubungan bisnis keluarga, kolega politik, jalur keagamaan, aliran kebatinan, suku yang sama, teman sekolah, serta bermacam kedekatan lain yang menjadi alasan seseorang kemudian dijadikan "orang dekat" oleh sang penguasa.
Sejarah Indonesia membuktikan. Pada masa Soeharto membangun pondasi Orde Barunya, Soeharto merupakan pemimpin jeli menempatkan "orang-orang dekatnya" sebagai kaki dan tangannya untuk menjalankan roda kekuasaan.
Selama 32 tahun berkuasa, Soeharto adalah penguasa yang diakui dunia karena berhasil melanggengkan kekuasaanya serta berhasil membuat "orang dekat" Soeharto menjadi "kaya raya" tujuh turunan (Borsuk & Chong, 2016).
Nama-nama seperti Bob Hasan, Sudjono Humardani, Sudwikatmono, Alamsjah Prawiranegara dan beberapa nama lain yang dulunya prajurit kemerdekaan ketika Soeharto menjabat Presiden berubah menjadi pebisnis kaya raya yang timbul dari konsekwensi loyalitas pada sang Presiden sejak menjadi prajurit dan bawahannya di Divisi Diponegoro.
Salah satu nama kontroversial di era tahun 70 adalah Kolonel Ibnu Sutowo, bekas bos Permina yang kini berubah nama menjadi Pertamina merupakan bukti bagaimana Soeharto menumbuhsuburkan kelompok bisnis "orang dekatnya". Mantan anak buah Soeharto ini merupakan jenderal bisnis yang sukses berperan melanggengkan bisnis dan politik orde baru. Hampir semua jenderal "tunduk" pada Ibnu Sutowo karena pengaruh "uang" yang dimilikinya.
Tidak hanya Ibnu. Orang dekat Soeharto pun memiliki peran masing-masing. Sudjono Humardani, misalnya, dikenal sebagai "penasihat kebatinan" sang Presiden. Jenderal kontroversial inilah yang berjasa mempertemukan Soeharto dengan "cukong" bernama Liem Sie Liong alias Sudono Salim, pendiri Salim Group. Selain memiliki peran untuk mencari "Finek" singkatan dari Finansial dan Ekonomi untuk membangun pondasi kekuasaan yang ia bebankan pada orang-orang dekat tersebut.
Soeharto yang dikenal dengan insting politiknya yang cerdas juga memberi kekuasaan besar pada "orang dekat" nya menentukan posisi-posisi penting jabatan Militer dan Pemerintahan seluruh Indonesia ketika itu. Bahkan, siapapun yang ingin menjadi Pangdam, Jenderal, Gubernur, Menteri dan pengusaha, harus mendapat lampu hijau dari orang dekat ini.
Jika tidak tentu saja usaha itu diganggu, batal atau dirampas melalui kekerasan.
Orang Dekat Airin
Setali tiga uang dengan Soeharto. Kondisi kekiniaan di beberapa daerah di Indonesia juga memiliki kecendrungan yang sama. Bahkan, bukan hanya monopoli rezim Soeharto. tapi kini juga menjalar hingga keseluruh daerah termasuk Tangsel. Benarkah?
Tentu saja fakta sejarah diatas tidak dimaksudkan untuk menggenaralisir dan mengidentikkan pola kekuasaan Airin dengan Soeharto. "Orang dekat" Airin tentu tidak memiliki kewenangan besar sebagaimana Humardani sebagai penguasa "bayangan" republik.
Namun, pola dan cara kerja "orang dekat" Airin tentu saja memiliki beberapa persamaan terutama agar kekuasaan Airin bertahan selama 1 periode serta tidak terganggu lawan-lawan politiknya. Birokrasi, Partai Politik dan finansial (uang) adalah topangan yang menjadi basis utama Airin berkuasa.
Ketiganya ini harus dipegang bahkan dikuasai oleh "orang dekat" Airin. Maka, diketiga bidang inilah, dapat kita telaah "orang-orang dekat" Airin yang tidak muncul kepermukaan tetapi kerja-kerja mereka terasakan selama ini.
Pada birokrasi misalnya. Sang Walikota tentu saja membutuhkan orang yang bisa diajak kerjasama terutama dalam posisi-posisi strategis pemerintahan.
Dari situlah "orang dekat" Walikota memainkan perannya. Ia akan membuat seperangkat syarat agar "lulus screening".Tentu saja syarat yang dimaksud bukan saja soal administrasi legal yang termaktub dalam aturan.
Faktor ini "kadang" tidak terlalu menjadi soal. Yang terpenting adalah "kerjasama" dan menjadi "Pak nurut" dengan "orang dekat" saat menduduki jabatan tersebut. Kedua, partai politik. Airin sebagai Ketua Umum Partai Golkar Tangsel, tentu memegang kendali penuh atas dinamika partai berlambang beringin tersebut. Penempatan "orang dekat" Airin di Partai dan tentu saja fraksi di DPRD untuk menjaga kekuasaan Airin secara politik.
Bahkan koneksi "orang dekat" Airin bukan saja di Partai Golkar, jaringan ini juga menjangkau seluruh Partai yang memiliki kursi di DPRD Tangsel.
Indikasi besarnya pengaruh "orang dekat" memandulkan fungsi dan tugas para politisi itu mudah saja terlihat. Bahwa selama ini DPRD Tangsel tidak banyak "berkutik" dan berperan secara "kritis" kepada eksekutif. Disinilah tudingan itu mendapatkan pembenarannya.
Ketiga, dalam bisnis (uang) tentu saja pengaruh "orang dekat" Walikota juga tidak diragukan. Jika Soeharto memiliki "Cukong" bernama Liem Sie Liong (Borsuk & Chng, 2016), yang kemudian menjadi raja Tepung, Semen dan Bank.
Maka di Tangsel orang dekat ini memiliki tugas dan kewenangan menentukan berapa "angka" dan kepada siapa "angka" itu diberikan.
Dengan pola ini, stabilitas ekonomi di Tangsel berjalan kondusif dipermukaan. Sebab pengaturan bisnis yang selama ini ada diatur secara "baik" dan menguntungkan semua pihak. Pembagian yang "merata" diantara para cukong adalah menjadi salah satu alasannya.
Konotasi orang dekat ini tentu saja tidak selamanya "negatif". Sebab, setiap penguasa memang membutuhkan orang kepercayaan dalam menjalankan roda pemerintahannya.
Hanya saja sejauh mana mereka "mengatur" Tangsel dengan cara mendikte pemimpin yang resmi, itulah yang patut dikritisi. Tudingan ini bisa saja tidak tepat bahwa Tangsel dikelilingi oleh "orang dekat" yang ingin mengambil keuntungan pribadi selama Airin-Benyamin berkuasa.
Oleh karena itu dibutuhkan sebuah sikap tegas yang selama ini belum ditunjukkan Airin dalam menjalankan pemerintahannya. Semoga diperiode kedua ini, Airin-Benyamin mampu menempatkan para bawahan yang tepat dan profesional.
Menjaga kondusifitas dan stabilitas ekonomi serta menumbuhkan sikap demokratis dan kritis para politisi Tangsel yang "meredup" akhir-akhir ini. Bisakah itu terjadi? Mari kita tunggu.