TangerangNews.com

Perda Pelarangan Miras Ingin 'Digoyang' Lagi

Denny Bagus Irawan | Minggu, 22 Mei 2016 | 06:00 | Dibaca : 7056


Ulama kecam rencana pencabutan Perda Miras (tangerangnews / rangga)


 

TANGERANG-Pemerintah Pusat kembali mencoba untuk mencabut (Peraturan Daerah) Perda berisi pelarangan terhadap minuman beralkohol atau minuman keras. Sebab, Perda tersebut dianggap bertentangan dengan perturan dan perundangan.

 

Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengakui, dari  3.266 Perda yang akan dicabut pemerintah, ada Perda berisi pelarangan terhadap minuman beralkohol.  "Perda yang saya cabut itu karena mereka (pemerintah daerah) menyusun Perdanya bertentangan dengan peraturan dan perundangan," ujar Tjahjo.

 

Atas rencana tersebut sejumlah politisi mengkritisinya karena Pemerintah Pusat dianggap tidak sensitif terhadap dampak dari peredaran minuman keras di daerah yang menyebabkan pemerkosaan dan tindak kriminal meningkat tajam.   

 

Akhirnya, Tjahjo  mengeluarkan siaran persnya setelah sehari sebelumnya memberikan statemen kepada wartawan. Diamembantah telah membatalkan Perda tentang Larangan, Pengawasan, Penertiban Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol di daerah.

 

"Ini meluruskan isu yang berkembang di pemberitaan bahwa Kementerian Dalam Negeri mencabut Perda Pelarangan Minuman Keras," kata Tjahjo.

 

Justru, menurut Tjahjo, setiap daerah harus memiliki peraturan daerah berisi pelarangan minuman beralkohol yang tegas. Hal itu mengingat peredaran minuman beralkohol yang sudah sangat membahayakan generasi muda. Peredaran miras, menurut Tjahjo, adalah pemicu tindak kejahatan.

 

Tjahjo secara khusus juga menyoroti fakta bahwa banyak daerah yang memiliki Perda larangan miras, tetapi belum tumpang tindih pelaksanannya. Tjahjo minta kepala daerah itu untuk menyingkronkan Perda itu agar efektif.

 

"Kemendagri minta daerah yang bersangkutan untuk mensinkronkan kembali perda tersebut, termasuk koordinasinya dengan aparat keamanan harus terjaga agar Perda Minuman Keras bisa efektif dan pelarangan termasuk pelarangan pembuatan dan peredaran di daerah diperketat," ujar Tjahjo.

 

Sebelumnya, di era Presiden SBY pada 2014 lalu telah mengeluarkan peraturan presiden (perpres) baru tentang pengendalian minuman beralkohol (mihol). Peraturan tersebut untuk mengganti keputusan presiden (keppres) sebelumnya yang dibatalkan Mahkamah Agung (MA) pada Juni.

 

Dalam perpres tersebut, mihol dikelompokkan dalam tiga golongan. Pertama, mihol golongan A adalah minuman yang mengandung etil alkohol atau etanil (C2H5OH) dengan kadar sampai dengan lima persen.

Kedua, mihol golongan B adalah minuman yang mengandung etil alkohol atau etanol dengan kadar lebih dari lima sampai 20 persen. Ketiga, mihol golongan C, yaitu minuman yang mengandung etil alkohol atau etanol dengan kadar lebih dari 20-55 persen.

Pasal 7 perpres ini menegaskan, minuman beralkohol golongan A, B, dan C hanya dapat dijual di sejumlah tempat. Di antaranya,  hotel, bar, dan restoran yang memenuhi persyaratan. Selain itu, mihol juga bisa diperjualbelikan di toko bebas bea.

 

Hal yang baru dari perpres pengendalian mihol adalah pemberian kewenangan pada bupati dan wali kota di daerah-daerah, serta gubernur di DKI Jakarta untuk menentukan tempat-tempat di mana mihol boleh diperjualbelikan atau dikonsumsi. Syaratnya, mesti tidak berdekatan dengan tempat peribadatan, sekolah, dan rumah sakit.



Di luar tempat-tempat tersebut, minuman beralkohol golongan A juga dapat dijual di toko pengecer dalam bentuk kemasan. Perpres juga memberikan wewenang kepada bupati/wali kota dan gubernur untuk DKI Jakarta menetapkan pembatasan peredaran minuman beralkohol dengan mempertimbangkan karakteristik daerah dan budaya lokal.



Munculnya Perpres 74/2013 tak lepas dari benturan antara sejumlah peraturan daerah (perda) yang melarang total peredaran mihol dan Keppres Nomor 3 Tahun 1997 yang hanya mengatur pembatasan. Polemik yang mencuat pada 2012 itu membuat Kemendagri mengevaluasi perda-perda miras di sejumlah daerah.



Evaluasi yang dilihat sebagai pencabutan perda tersebut menimbulkan gejolak hingga akhirnya Front Pembela Islam (FPI) menggugat Keppres 3/1997 ke MA. MA mengabulkan gugatan tersebut pada Juni tahun lalu dan membatalkan Keppres 3/1997.