Oleh: Deni Iskandar
Warga Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten.
Dinamika politik dalam perhelatan Pemilihan Gubernur Banten kali ini, tak kalah menarik dari Pilkada DKI Jakarta, yang selalu ramai diperbincangkan di ruang publik.
Selain head to head pertahana dan penantang, dalam kontestasi Pilgub ini juga, dua pasangan calon, pasangan Rano-Embay dan Wahidin-Andika, berebut mencari simpati dan suara masyarakat. Ada yang menarik jika melihat kondisi politik menjelang Pilgub Banten ini tahun 2017 mendatang dibandingkan Pilgub tahun 2011 lalu.
Pertama, adanya dinamika silang, yaitu, perlawanan yang dinamis, dan sikap oportunisme. kedua, masalah sosok dua pasangan calon, yang muncul dimata masyarakat, dan ketiga masalah koalisi parpol.
Dalam kontestasi politik di Banten, nama Wahidin Halim, merupakan sosok yang santer dikenal sebagai lawan politik Ratu Atut. Sebab pada Pilgub tahun 2011 lalu, Ratu Atut merupakan rival Wahidin. Namun justifikasi tersebut berubah, setelah Wahidin dalam Pilgub saat ini, menggandeng putra kandung Ratu Atut, Andika Hazrumy.
Sebaliknya, nama Rano Karno yang pernah dipinang oleh Ratu Atut, yang pernah mesra, justru saat ini berpaling dan melawan habis-habisan Ratu Atut, meskipun bukan sosok Atutnya yang dilawan, namun Anak Kandungnya, Andika Hazrumy. Banyak faktor, kenapa dinamika silang ini terjadi dalam politik praktis.
Pertama, dinamika politik kita saat ini, sudah tidak lagi menjadikan "nilai ideologis" sebagai pijakan untuk berkuasa, kedua, praktek politik bangsa kita saat ini, hanya terletak pada "kekuasaan", artinya, politik hanya dipahami sebagai upaya mencari kekuasaan, atau lebih lekatnya, "Bagaimana Cara Merebut dan mempertahankan Kekuasaan" semata.
Dalam istilah Nicollo Machiavelli, salah satu tokoh pemikir politik asal Italia, fenomena politik seperti ini, disebut sebagai, politik "menghalalkan segala cara" untuk tujuan mendapatkan kekuasaan.
Posisi politik dalam hal ini di tempatkan pada upaya, bagaimana mendapatkan kekuasaan (Power), saja, tanpa memposisikan nilai dan kehendak politik (Virtu dan Fortuna). Seharusnya politik tidak ditempatkan pada persoalan bagaimana merebut dan mempertahankan kekuasaan semata.
Dua pasangan calon, dalam Pilgub Banten ini, yaitu, Rano-Embay dan Wahidin Andika, merupakan sosok yang tidak asing dimata masyarakat. Secara umum, dua pasangan calon ini cukup populer bahkan dikenal oleh masyarakat, Banten.
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Indo Barometer, tingkat pengenalan masyarakat, kepada dua pasangan calon, berbeda tipis, pengenalan terhadap, Rano Karno mencapai 61,3 persen, pengenalan masyarakat mencapai angka diatas sebagai Gubernur Banten.
Sementara Wahidin Halim dalam survei tersebut, mencapai, 50,2 persen, mayarakat Banten dalam hal ini, dikenal sebagai mantan Walikota Tangerang, sementara nama Andhika Hazrumy, mencapai 45 persen, adapun pengenalan masyarakat terhadap Andika yaitu, Andika dikenal sebagai anak kandung Ratu Atut Chosyiah.
Survei yang dilakukan oleh Indo Barometer ini, tidak melibatkan nama Embay Mulya Syarif, yang saat ini dipinang oleh Rano Karno, sebagai wakilnya, hal ini disebabkan karena, rilis survei ini, hadir disaat Rano Karno belum memiliki wakil.
Sementara pada tingkat popularitas, nama Rano Karno unggul, sebanyak, 99,9 persen, sementara Wahidin Halim 57,0 persen, dan Andhika Hazrumy dikenal sebanyak 47,8 persen. (Hasil Survei Indo Barometer, yang dirilis oleh beberapa media).
Secara popularitas, nama Rano Karno, lebih populer dibandingkan dengan nama Wahidin dan Andika, hal ini disebabkan karena Rano Karno, memiliki latar belakang artis, dan seniman, tentunya ini menjadi modal plus, untuk Rano, selain modal pertahana.
Selain popularitas, koalisi partai politik dalam Pilgub Banten ini juga, menarik untuk dicermati. Terdapat pola yang berbeda, selain terkesan adanya upaya pemborongan partai, oleh salah satu pasangan calon, koalisi parpol pun, dinilai timpang dan tidak seimbang.
Berdasarkan data yang berkembang, pasangan pertahana, Rano-Embay, hanya diusung oleh 3 Parpol dengan total kursi di DPRD sebanyak 28 kursi. Berikut koalisi partai pengusung calon pertahana, PDI-P, (15 kursi), PPP (8 kursi), dan Partai Nasdem (5 kursi) total kursi sebanyak (28 kursi).
Adapun perolehan suara pada pemilu tahun 2014 kemarin, PDI-P sebanyak, (842.690 suara), PPP (394.543) dan Partai Nasdem sebanyak (326.256). Total perolehan suara 3 parpol ini mencapai 1.563.489 suara
Berbeda dengan Pertahana, pasangan Wahidin-Andika, diusung oleh 7 Parpol, dengan total kursi di DPRD sebanyak 57 Kursi. Berikut koalisi partai pengusung pasangan Wahidin-Andika, Partai Demokrat, (8 kursi), Partai Golkar, (15 kursi), Gerindra, (10 kursi), PKB, (7 kursi), Hanura, (6 kursi), PKS, (8 kursi), dan PAN, sebanyak (3 kursi) total kursi sebanyak (57 kursi).
Adapun perolehan suara pada pemilu tahun 2014 lalu, Partai Demokrat memperoleh suara sebanyak, (474.996 suara), Golkar (808.902), Gerindra (576.193), PKS (379.328), PKB (390.887) Hanura (349.726) dan PAN (284.376). Total perolehan suara ketujuh parpol tersebut sebanyak 3.264.408 suara. (Data Pemilu tahun 2014).
Koalisi parpol dari dua paslon sudah jelas, pasangan Wahidin-Andika lebih unggul dari pasangan pertahana Rano-Embay, secara koalisi parpol. Namun perlu digaris bawahi, sedikit atau pun banyaknya koalisi parpol di Pilgub Banten ini, tidak menjadi ukuran kemenangan. Hal ini disebabkan karena, citra partai politik dimasyarakat, saat ini, sudah mulai tidak di percaya masyarakat.
Selain itu, kondisi politik dalam Pilgub Banten, sangatlah dinamis, indikator kemenangan bagi paslon bukan diukur dari sedikit banyaknya koalisi parpol. Malah yang menjadi ukuran kemenangan saat ini yaitu suara masyarakat dalam memilih, bukan suara parpol. Dalam hal ini, yang menjadi salah satu indikator kemenangan yakni soal figur, dan juga masalah kinerja.
Dalam momentum pesta demokrasi kali ini, masyarakat Banten berharap, dapat menghasilkan pemimpin yang berintegritas, komitmen membangun Banten, dan juga mampuh menjadikan Provinsi Banten sesuai dengan visi-misi awal didirikannya. Banten harus kembali pada cita-cita awal didirikannya.
Jangan sampai praktek demokrasi di Banten, kembali dibajak oleh orang yang tidak memiliki visi, untuk membangun Banten. Banyak hal yang harus dibenahi di Banten.
Selain persoalan pendidikan, sosial, serta politik, Infrastruktur, dan pemerataan ekonomi, persoalan reformasi birokrasi dan persoalan kesejahteraan juga harus menjadi fokus utama pemerintah kedepannya.
Masyarakat Banten harus cerdas dalam memilih, karena bagaimana pun, yang menentukan nasib Banten, bukanlah Parpol, akan tetapi masyarakat Banten sendiri.
Ini artinya, posisi masyarakat dalam menentukan pilihan, sangatlah penting. Jangan sampai masyarakat Banten baik dibagian selatan maupun dibagian utara, memilih pemimpin di Pilgub ini, seperti membeli kucing dalam karung.