TangerangNews.com

Melihat Tangerang Tempoe Doeloe Melalui Buku

Achmad Irfan Fauzi | Kamis, 15 Februari 2018 | 15:00 | Dibaca : 2447


Acara Coffee Morning yang digelar di Novotel Tangerang, Kamis (15/2/2018). (@TangerangNews / Achmad Irfan Fauzi )


TANGERANGNEWS.com-Kota Tangerang  dalam waktu dekat merayakan hari ulang tahun ke- 25 yang tepat jatuh pada tanggal 28 Februari 2018 mendatang. Memasuki usia perak ini, segelintir masyarakat setempat memberikan kado manis untuk Kota Seribu Industri Sejuta Jasa itu.

Mereka yang tergabung dari pegawai negeri sipil, wartawan, budayawan, serta seniman mempersembahkan karya buku sebagai kado yang bertajuk 'Tangerang Tempo Doeloe.' 

Inisiator penyusun Tangerang Tempo Doeloe, Felix Mulyawan menjelaskan, ini merupakan moment spesial bagi kota berjuluk Akhlakul Karimah tersebut. Adanya karya ini, publik dapat melihat Kota Tangerang pada masa lampau.

"Ini keadaan yang langka, di era milenial masih peduli dengan sejarah. Bagaimana kita memahami asal usul Kota Tangerang ini dan tidak melupakan apa yang terjadi pada tahun - tahun sebelumnya," ujar Felix dalam acara Coffee Morning yang dihelat di Novotel Tangerang, Kamis (15/2/2018).

Dalam penyusunan buku Tangerang Tempo Doeloe turut dilibatkan para anak muda lainnya, seperti Hasan Kurniawan wartawan Sindo, Andika Panduwinata jurnalis Warta Kota dan Mukhafi Solihin yang merupakan seniman dari Kota Tangerang.

Terlebih Haris Yasin sebagai budayawan setempat pun memberikan sumbangsihnya untuk penulisan buku tersebut.

"Di zaman digital ini, kita bisa melihat Tangerang di masa lalu melalui buku. Apa saja cerita - cerita pada zaman dulu bisa diketahui dan juga memberikan edukasi," ucapnya.

#GOOGLE_ADS#

Felix menerangkan situasi Tangerang di masa silam, masyarakat sangat menjaga kerukunan. Mereka saat itu begitu kental menyingkapi keberagaman.

"Di sini banyak suku, ras, dan golongan. Apalagi etnis Tionghoa, sudah lama ada di Tangerang. Orang asli Tangerang itu, pasti ada asal usulnya dari turunan China," kata Felix.

Pada masa itu, sikap tenggang rasa lebih dijunjungkan. Masyarakat hidup dengan damai dan tentram.

"Tapi puncak kerusuhannya terjadi pada tahun 1998. Di mana etnis - etnis Tionghoa banyak yang menjadi korban. Penjarahan terjadi di mana - mana. Mulai dari pembakaran di Lippo dan toko - toko milik etnis China. Ada satu sejarah yang tidak bisa dilupakan, hanya satu mal saja di Tangerang yang tidak dijarah. Ada di Robinson karena di situ menjadi markas Kodim pada masa itu," paparnya.(RAZ/RGI)