TangerangNews.com

Satu Tahun Situ Gintung Melawan Lupa

Denny Bagus Irawan | Minggu, 28 Maret 2010 | 17:37 | Dibaca : 33463


Situ Gintung (tangerangnews / dens)


 
 
Pada tanggal 27 Maret 2010, tragedi situ Gintung genap berusia satu tahun. Tragedi yang menelan korban 100-an orang masih kita ingat dalam kedukaan yang mendalam.
 
2 Juta Ton air di Tanggul Situ Gintung tumpah menimpa warga di RT01, RT03 dan RT04 Kelurahan Cirendeu, Tangerang Selatan-Banten ketika subuh bergema.
 
Air mata berjatuhan. Bumi Indonesia berduka. Entah apa sebabnya. Kembali bencana menimpa ketika pesta demokrasi di depan mata ketika itu.
 
Duka yang menyelimuti korban kemudian diringankan melalui bantuan yang diberikan masyarakat, baik dalam bentuk barang, uang maupun jasa melalui posko dan tim relawan. Bukan hanya itu.
 
Tragedi Situ Gintung menyedot perhatian secara nasional hingga dunia Internasional. Berbagai pemberitaan di media massa dikemas dengan emosional yang indah.
 
Sehingga masyarakat terbius dan terprovokasi untuk membantu para korban. Sehingga terbentuklah solidaritas sosial masyarakat yang bersimpatik kepada korban bencana Situ Gintung.
 
          Tragedi yang kini berumur 1 tahun itu menyisakan beragam tanya dan duka. Beragam pertanyaan muncul akibat lemahnya ingatan kita sebagai bangsa yang memiliki jiwa tepa salira. Pada awal tragedi.
 
Masyarakat berbondong menyaksikan Situ Gintung dari dekat. Dengan membawa handai taulan dan sanak keluarga. Masyarakat yang datang tertunduk haru menyaksikan korban menderita. Bahkan, SBY dan Jusuf Kalla (masing-masing kandidat Capres—ketika itu) meninjau lokasi dan berjanji memperbaiki Situ Gintung dan merehabilitasi kehidupan korban dengan bantuan pemerintah pusat dan daerah.
 
Kini setelah 1 tahun Situ jebol. Pemerintah dan (sebagian) masyarakat terkesan ‘lupa’ Ada keluarga kita yang menderita karena pemerintah gagal mengemban amanah. Korban masih kehilangan arah dan tujuan. Entah kemana nasib mereka selenjutnya.
 
          Milan Kundera, seorang sastrawan kebangsaan Ceko menegaskan. Perjuangan melawan kekuasaan adalah perjuangan melawan lupa. Kita masih mengingat bagaimana perihnya penderitaan korban bencana Situ Gintung.
 
Mereka kehilangan harta benda dan sanak keluarga. Dalam konteks itulah kemudian pernyataan Kundera relevan kita sandingkan. Selama 1 tahun bencana Situ Gintung terjadi, pemerintah seolah lupa dengan tugas mereka. Pemulihan trauma dan korban jiwa masih belum tertata secara baik.
 
Padahal, anggaran bantuan untuk melakukan rehabilitasi korban bencana sudah diterima dan dapat disalurkan, sayang budaya korup dan birokrasi yang berbelit masih menyulitkan korban bencana untuk mendapatkan haknya. Inilah yang menjadi kritikan kita atas tanggung jawab negara, dalam hal ini Pemerintah Provinsi Banten dan Kota Tangerang Selatan yang lalai akan tugasnya.
 
          Hingga bencana ini berumur satu tahun, tanggung jawab secara hukum belum menemukan hasil. Masyarakat belum melihat siapa pihak yang bersalah atas kejadian jebolnya tanggul Situ Gintung. Seolah-olah ada upaya  menggiring opini masyarakat  melupakan penyebab tragedi tersebut dengan memaksimalkan fokus pada bantuan dan perhatian.
 
Tragedi Situ Gintung diarahkan untuk menjadi bencana alam. Berbagai opini yang bertebaran di media massa menggiring masyarakat untuk melihat dan sekaligus mempercayai bahwa tragedi ini murni disebabkan alam. Ketika penggiringan opini ini berhasil, maka pemerintah dapat dengan mudah ’cuci tangan’ dan melepaskan tanggung jawabnya kepada masyarakat dan pihak swasta seperti yang tergambar selama setahun kebelakang.
 
 Padahal, tanggung jawab pemerintah tetap saja tidak dapat dilepaskan apapun alasan penyebabnya. Pemerintah berkewajiban mensejahterakan masyarakat, baik ketika bencana maupun pada saat normal. Begitulah UUD 1945 berbicara.
 
          Bencana pasti ada penyebabnya. Dan hukum harus mengatur serta menghukum siapa yang bersalah atas tragedi tersebut. Bukan melakukan ’pembiaran’ dan melupakan tanggung jawabnya.
 
Masyarakat khususnya korban bencana harus mengetahui jelas siapakah pihak yang bertanggung jawab terhadap bencana itu. Apakah hal tersebut memang murni bencana alam atau karena kelalaiaan yang disebabkan penyakit ’lupa’ yang diidap penyelenggara negara??
 
Karena itu, perjuangan untuk menyeret pihak-pihak yang bersalah harus terus diupayakan sebagai bentuk tanggung jawab negara serta pihak-pihak terkait yang terlibat sebagai penyebab dari bencana tersebut.  
 
          Etika penyelenggara negara inilah yang harus menjadi motivasi yang melatarbelakangi bahwa tanggung jawab negara adalah hal yang utama. Bukan mendegradasi peranan dengan melimpahkan tanggung jawab kepada masyarakat semata. Jika hal itu yang dilakukan maka akan berdampak terhadap kepercayaan masyarakat. Sehingga masyarakat tidak percaya kepada pemerintah dan melakukan chaos yang tentu saja menambah rumit upaya penyelesaiaan bagi korban.
 
Dari sinilah ditarik dua kesimpulan sebagai catatan bagi pemerintah. Pertama, penanganan korban pasca situ Gintung dilakukan oleh seluruh pihak, baik masyarakat, pihak swasta, lembaga donor, elemen masyarakat terlebih pemerintah. Dalam barisan ini. Pemerintahlah yang memegang komando dan mengatur strategi jangka panjang bagi korban.
 
Bukan meyerahkan pada ’swasta’ dan cuci tangan setelahnya. Kedua, pembangunan fisik bagi para korban harus menjamin adanya kenyamanan yang bersifat jangka panjang. Artinya, jangan membuat sengsara korban di masa mendatang. Pemberian tempat tinggal yang layak bagi korban adalah harapan yang dibutuhkan. Bagi mereka masa depan terletak pada tempat tinggal mereka selanjutnya.
 
Mungkin dengan ini kepercayaan masyarakat semakin terbuka dan bertambah untuk menyadari bahwa pemerintah memiliki “nalar bencana” yang dapat dipertanggung jawabkan.
Situ Gintung Setelah Setahun 27 Maret 2010 umur tragedi Situ Gintung bertambah. Masih ada sisa kedukaan yang menghias di langit-langit kenangan para korban. Di mata korban masih terserak harapan untuk bangkit dan ‘kembali hidup’ dalam bumi Indonesia. Bagi korban yang ditinggalkan sanak-saudara, perhatian dari masyarakat Indonesia akan sangat berharga.
 
Sebab, duka mereka adalah duka kita dan duka seluruh anak bangsa sebagai satu keluarga Indonesia. Tragedi Situ Gintung harus dimaknai sebagai koreksi diri dari kebersamaan kita di dalam kehidupan bangsa yang semakin ‘terasing’ satu sama lain. Semoga tragedi Situ Gintung kembali mengingatkan kita bahwa sebagai satu bangsa kita jangan mudah ‘lupa’ terhadap derita yang dialami sesama rakyat Indonesia. Dan ketika negara absen menjalankan tugas membantu korban bencana, tugas kitalah untuk mengingatkannya.
 
 
RUDY GANI
BADKO HMI JABOTABEKA BANTEN
0818-08-676-173
Bank Mandiri Cab. Mampang Prapatan a/n Rudy Gani 0700005489328