TangerangNews.com

Perlindungan Nelayan Terhambat Regulasi

Mohamad Romli | Minggu, 14 April 2019 | 11:00 | Dibaca : 464


Para nelayan saat mencari ikan. (@TangerangNews / Mohamad Romli)


TANGERANGNEWS.com-Perlindungan negara pada nelayan menurut Anggota Komisi IX DPR Marinus Gea belum maksimal karena terhadang oleh regulasi. Pemerintah dan pihak terkait diminta untuk duduk bersama untuk mewujudkan perlindungan nelayan agar bisa menjalankan profesi untuk kehidupan keluarganya.

“Perlindungan pada nelayan saat ini hanya lewat Badan Penyelenggara Jaminan Sosial - Tenaga Kerja, yang belum memenuhi kebutuhan nelayan,” tutur Marinus di Jakarta, Sabtu (13/4/2019).

Perlindungan ini mengacu pada Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan. Diperkuat dengan UU No 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), dimana perlindungan diberikan oleh BPJS-TK dengan syarat terdaftar sebagai peserta berdasarkan UU No 24 Tahun 2011 tentang BPJS.

Berdasarkan UU No 24 Tahun 2011, negara melalui BPJS-TK membantu iuran bagi nelayan yang masuk kategori pekerja bukan penerima upah (BPU). Bantuan itu menurut Marinus diberikan selama setahun pertama untuk kemudian iuran Rp16.800 per bulan dilanjutkan oleh nelayan.

Nelayan yang menjadi peserta BPJS-TK sebagai BPU akan menerima manfaat Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM). Sedangkan pekerja formal atau pekerja penerima upah (PPU) wajib terdaftar dalam empat program BPJS Ketenagakerjaan, yaitu JKK, JKM, JHT (Jaminan Hari Tua) dan JP (Jaminan Pensiun).

Marinus memahami, batasan jaminan terhadap nelayan oleh BPJS-TK itu dirancang karena ada kemungkinan mereka beralih profesi. Dan, hanya melindungi mereka dari risiko saat bekerja saja. Padahal, nelayan bisa saja tak bisa bekerja karena sudah lanjut usia, sehingga JHT dan JP dinilai perlu diberikan bagi nelayan.

Anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ini juga mengingatkan ada benturan regulasi untuk melindungi nelayan. Hal itu dia sadari tatkala melakukan kunjungan kerja dan menemui nelayan di Balige, Sumatra Utara belum lama ini.

Para nelayan menyatakan, mereka tak bisa dilindungi BPJS-TK karena mereka mendapat asuransi nelayan berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Nomor 18/Permen-Kp/2016 tentang Jaminan Perlindungan Atas Risiko Kepada Nelayan, Pembudi Daya Ikan, Dan Petambak Garam.

Permen ini untuk melaksanakan Pasal 35 UU No 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam. Tertulis, pemerintah perlu memberikan jaminan perlindungan atas risiko kepada nelayan, pembudi daya ikan, dan petambak garam.

Pasal 12 ayat 1 menyatakan asuransi diberikan pemilik kartu nelayan, maksimal usia 65 tahun, dan tidak pernah mendapatkan program asuransi dari kementerian, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota. Atau pernah mendapatkan program serupa namun polis asuransinya telah berakhir masa berlakunya. Atau, jenis risiko yang dijamin berbeda, tidak menggunakan alat penangkapan ikan terlarang.

Menurut Marinus, ketidakharmonisan peraturan membuat bingung masyarakat. Kondisi ini membuat BPJS TK juga tidak maksimal untuk sosialisasi kewajiban nelayan mengikuti BPJS. “Untuk membenahi ini, saya kira dibutuhkan keseriusan semua pihak yang membidani itu,” tegas dia.

Sekretaris Jenderal Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI), Anton Leonard, di kesempatan berbeda mengatakan perlu ada perubahan paradigma untuk meningkat kan kesejahteraan nelayan. Upaya yang dilakukan selama ini masih jauh dari yang dibutuhkan para nelayan sebenarnya. 

"Masih sangat jauh, belum ditangani serius oleh pemerintah. Kalau mau nelayan sejahtera harus menyasar keluarganya juga," ungkap Anton.

Anton menilai jaminan ketenagakerjaan dan asuransi nelayan itu belum cukup. Bila negara ingin bagi nelayan, BPJS-TK yang proaktif menyambangi para nelayan. 

Sedangkan Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Susan Herawati menilai program jaminan pemerintah bagi nelayan melalui BPJS-TK sebatas JKK dan JKM. "Padahal nelayan butuh jaminan di hari tua ketika sudah tidak melaut lagi," ujar Susan.

Untuk itu, Susan berharap pemerintah memperbaiki jaminan ketenagakerjaan bagi nelayan ke depannya. Perbaikan itu tentunya harus diawali dengan pendataan dan monitoring yang baik. 

Terhadap hal ini, Deputi Direktur Bidang Humas dan Antar Lembaga BPJS Ketenagakerjaan, Irvansyah Utoh Banja, menerangkan nelayan manfaat yang diberikan bagi nelayan memang sebatas itu karena masuk kategori pekerja BPU. 

Besaran iuran yang ditetapkan bergantung pada upah yang diterima. Untuk saat ini, pemerintah mematok rerata upah nelayan sebesar satu juta rupiah. Nominal Rp16.800 sebagai iuran yang dibayarkan merupakan akumulasi iuran JKK, yaitu 1% dari upah satu juta atau Rp10.000 ditambah Rp6.800 iuran JKM.

“Untuk mendapatkan tambahan program Jaminan JHT, tetap dibolehkan dengan iuran Rp36.800 untuk ketiga program jaminan," terang Irvansyah sambil menjelaskan tambahan Rp20.000 merupakan 2% dari total upah.

Irvansyah menjelaskan manfaat dari program BPJS-TK dibutuhkan nelayan saat menghadapi risiko kerja. Misalnya jika nelayan mengalami kecelakaan kerja, ia berhak mendapat pengobatan tanpa batas maksimal biaya. 

Program jaminan tersebut menurut dia dirasakan pula oleh keluarganya. Seperti, tatkala nelayan mengalami cacat tetap akibat kecelakaan kerja, keluarga akan mendapat santunan dan beasiswa bagi satu anak Rp12 juta. 

#GOOGLE_ADS#

Kendati demikian, Irvansyah mengungkapkan hingga saat ini masih ada kendala dalam memastikan para  nelayan terjamin dengan baik. Salah satu kendala itu datang dari keberlangsungan pembayaran iuran. 

Kini, jumlah nelayan yang menjadi peserta BPJS-TK adalah 73,5 ribu jiwa dari total lima juta peserta dengan kategori pekerja BPU.

Untuk meningkatkan jumlah tersebut, pihaknya melakukan upaya jemput bola dengan meluncurkan program keagenan, yaitu Penggerak Jaminan Sosial Nasional (Perisai). Mereka bisa berasal dari masyarakat umum, dengan syarat memiliki komunitas dan mengikuti sertifikasi terlebih dahulu. 

Selain BPU, segmen yang disasar Perisai adalah Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Saat ini, jumlah agen Perisai di Indonesia mencapai 4.459 orang.(MRI/RGI)