Pandeglang - Ujung Kulon di Kecamatan Sumur, Kabupaten Pandeglang, Banten menjadi daerah terdampak tsunami Selat Sunda pada 22 Desember 2018. Tsunami itu menyisakan trauma bagi warga di ujung barat pulau Jawa.
Letusan Gunung Anak Krakatau yang menyebabkan longsornya sebagian tubuh Anak Krakatau mengakibatkan tsunami. Wilayah terdampak tsnumai berada di dua provinsi Banten dan Lampung. Lebih dari 400 orang meninggal akibat terseret arus tsunami dan tertimpa reruntuhan.
Pandeglang menjadi daerah paling terdampak tsunami dengan menelan korban 296 jiwa menurut catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per 14 Januari 2019. Korban luka mencapai 16 ribu lebih dan 7 ribu orang mengungsi.
Akses ke Ujung Kulon saat tsunami terjadi sempat putus, warga terisolir, bantuan sulit masuk khususnya ke perkampungan. Medam berat dan infrastruktur jalan rusak membuat pemerintah dan relawan bekerja keras untuk mendistribusikan bantuan.
Hampir setahun berlalu, tsunami yang tidak disertai gempa tektonik itu masih menyisakan trauma bagi warga sekitar. Kendati demikian, aktivitas warga sudah normal. Pria, wanita, anak-anak, betaktivitas seperti biasa. Ada yang bertani, melaut, dan memasarkan hasil tani.
Di Kampung Tanjung Lame, Desa Ujung Jaya, Kecamatan Sumur, Kabupaen Pandeglang misalnya. Warga di sana masih was-was dengan suara gemuruh ombak. Pun dengan anak-anak mereka, gemuruh ombak yang besar terkadang membuat warga takut. Terlebih anak-anak yang masih sering ingin mengungsi saat mendengar suara ombak.
"Yang masih trauma itu anak-anak, kadang kalau mereka dengar ombak gede bilang 'ayo kita ngungsi'," cerita seorang warga Desa Ujung Jaya, Mang Aja, Minggu (6/10/2019).
Dua anaknya yang berusia 7 dan 9 tahun masih trauma. Mang Aja tak menampik peristiwa tsunami Selat Sunda adalah peristiwa terbesar yang pernah ia alami bersama keluarganya. Kejadiannya datang secara tiba-tiba tanpa ada peringatan dini.
Mang Aja bercerita, deru mesin alat berat di proyek tambak udang di dekat perkampungan kadang membuat takut. Suaranya seperti gemuruh ombak. Orang dewasa tahu bahwa itu suara mesin, tapi anak-anak yang mendengar berasumsi berbeda. Suara itu dianggap sebagai suara ombak besar.
"Anak-anak kalau dengar suara buldozer dikiranya suara ombak, jadi mereka pengennya ngungsi aja kalau denger itu," ungkapnya.
#GOOGLE_ADS#
Baca Juga :
Orangtua di Ujung Jaya masih memaklumi traumatik yang dialami anak-anak mereka. Meski demikian, trauma healing terus dilakukan oleh pemerintah dan relawan. 10 bulan pascatsunami, recovery fisik dan mental terus dilakukan.
Beberapa relawan dari Yayasan Society for Health, Education, Enviromment, and Peace (Sheep) Indonesia dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jakarta mengawal recovery itu. Mereka mengawal selama 10 bulan pascatsunami Selat Sunda di Ujung Kulon.
"Kita sudah 10 bulan mendirikan posko dan membuat beberapa bangunan mulai dari Huntara dan toilet massal di beberapa lokasi. Trauma healing terus kita lakukan," kata relawan Sheep Indonesia, Suparlan.
Para relawan juga mengawal pembangunan yang ada. Temuan mereka, banyak warga yang enggan tinggal di hunian sementara (huntara) yang dibangun pemerintah, mereka lebih memilih mendirikan bangunan di atas reruntuhan rumahnya.
"Kalau huntara kan bangunannya berjejer begitu, mungkin mereka tidak biasa, mereka inginnya mendirikan rumah yang tipenya tidak begitu," kata dia.
Penanganan jangka panjang pascabencana, kata Suparlan, harus terus dilakukan. Mitigasi dan literasi bencana harus terus digalakkan di wilayah rawan bencana. Mengingat, ancaman bencana diprediksi akan terus terjadi. Pasalnya, Indonesia dikeliling lempengan-lempengan yang suatu saat menimbulkan gempa.
Sementara, Tubagus Ahmadi, Direktur WALHI Jakarta menekankan, Pemerintah Daerah setempat harus lebih responsif menangani bencana alam. Dalam catatan WALHI, kata Bagus, 50 persen lebih wilayah Banten rawan bencana alam. Ia mendorong adanya kebijakan Pemda yang responsif agar siap mengantisipasi dan memulihkan kondisi masyarakat setelah terjadi bencana.
"Kebijakan ini sangat penting, sebab kadang respon terhadap bencana lebih ditekankan saat terjadi, sementara pasca bencana kurang mendapatkan perhatian," pungkasnya.(RMI/HRU)