Penulis : Jaka Setiawan (Mahasiswa Pascasarjana UI, Tinggal di Pamulang permai II benda 14 Blok B16/16- Tangsel)
Dampak Kenaikan TDL
TANGERANGNEWS-Kenaikan tarif dasar listrik (TDL) telah diberlakukan mulai 1 Juli 2010 lalu. Pilihan strategi pemerintah yang keukeuh mempercepat penghapusan subsidi terus berlanjut. Keputusan untuk menaikkan TDL tahun 2010 bukan terjadi saat beberapa minggu lalu DPR dan pemerintah berdebat di senayan, karena telah diputuskan tahun lalu saat DPR menyetujui usulan pemerintah untuk memangkas subsidi listrik dari sebesar Rp 47,5 triliun pada tahun 2009, menjadi hanya Rp 37,8 triliun pada APBN 2010.
Pada bulan Maret 2010, alokasi subsidi listrik dinaikkan saat pemerintah mengajukan APBN-Perubahan 2010. Meskipun demikian, penambahan subsidi ini tidak merubah rencana kenaikan TDL.
Anggaran subsidi listrik ditambah karena pemerintah dan DPR menyetujui permintaan PLN untuk memberi tambahan margin subsidi dari semula 3% menjadi 8%. Alasannya, PLN memerlukan dana investasi dan harga gas yang meningkat. Itulah sebabnya, DPR dan pemerintah harus memberikan penambahan alokasi subsidi menjadi sebesar Rp 55,1 triliun pada APBN-P 2010.
Jadi diskusi beberapa hari terakhir ini hanya untuk memutuskan siapa saja yang akan dinaikkan tarifnya dan berapa tingkat kenaikannya. Diskusi hanya untuk mencari kesepakatan cara membagi subsidi. Akhirnya, kenaikan TDL telah diputuskan dengan formula: pelanggan kecil 450 VA hingga 900 VA, yang di klaim merupakan 60% pelanggan, tidak mengalami kenaikan, sedangkan pelanggan besar dan semua kelompok bisnis dan industri mengalami kenaikan rata-rata 6-20%.
Pemerintah mengatakan formula kenaikan tersebut tidak akan berdampak besar bagi ekonomi karena toh rata-rata kenaikannya relatif rendah. Pemerintah juga berkali-kali meyakinkan publik bahwa dampak kenaikan TDL akan minimal. BPS menyatakan hanya akan memberikan dampak langsung kepada kenaikan inflasi sebesar 0,36%. Intinya tidak ada hal yang perlu dikawatirkan. Apalagi formula kenaikan TDL telah membebaskan pelanggan masyarakat bawah dari kenaikan sehingga lebih adil bagi masyarakat.
Benarkah beban kenaikan TDL bagi masyarakat bawah lebih rendah? Mari kita telaah lebih dalam dengan alasan bahwa beban kenaikan TDL pasti akan berdampak bagi si miskin baik lewat turunnya daya beli maupun turun pendapatan riil akibat turunnya daya saing industri.
Naiknya biaya hidup
Pengeluaran untuk biaya listrik bagi rumah tangga masyarakat bawah yang menggunakan daya listrik 450 VA - 900 VA, memang tidak akan mengalamai kenaikan. Namun, kenaikan TDL yang terjadi pada seluruh kelompok pelanggan lainnya, dipastikan akan memberikan dampak langsung maupun tidak langsung bagi biaya hidup keluarga kalangan bawah karena kenaikan TDL dipastikan akan memberikan efek domino dan efek psikologis, sehingga hampir semua industri dipastikan akan menaikkan harga produk baik barang maupun jasa.
Terbukti hanya sehari setelah kenaikan TDL diberlakukan, BPS yang semula optimis buru-buru menyatakan target inflasi 2010 sebesar 5,3% tidak akan tercapai. Sebanyak 40 asosiasi yang tergabung dalam KADIN, APINDO, HIPMI, juga mengajukan surat keberatan dan akan meminta pemerintah untuk menunda kenaikan TDL. Memang kenaikan TDL rata-rata hanya 6-20%, tetapi industri dan bisnis juga dibebani tarif beban puncak pada jam tertentu dan cara perhitungan yang memasukkan banyak faktor sehingga pada kenyataannya kenaikan TDL yang dihadapi industry dan bisnis bisa mencapai 50% lebih.
Tidak heran bila sebelum kenaikan, industri makanan sebagai salah satu industri yang boros energi sudah memastikan akan menaikkan harga. Tekanan kenaikan harga makanan akan semakin besar bila akhirnya Pertamina, yang sudah lama mengajukan kenaikan harga kepada pemerintah, juga ikut menaikkan harga LPG. Akhirnya, meskipun tidak bersamaan, dipastikan industri lainpun akan terdorong untuk menaikkan harga.
Kenaikan harga barang-barang akan berdampak berbeda pada kelompok masyarakat bawah dan masyarakat atas karena fakta dilapangan menunjukkan inflasi yang ditanggung kelompok miskin lebih tinggi dibanding rata-rata inflasi nasional. Dari hasil studi ADB dan BPS, inflasi yang ditanggung oleh kelompok miskin rata-rata 2-3 kali lipat dari nasional. Artinya bila BPS melaporkan inflasi tahun ini 5,3% misalnya, maka sebenarnya inflasi yang dihadapi kelompok miskin 2-3 kali lipat lebih tinggi.
Dampak inflasi juga berbeda tergantung porsi dari belanja untuk barang-barang yang mengalami kenaikan harga. Dalam perhitungan inflasi, ada sekeranjang barang yang akan diperhitungkan yakni makanan, papan, sandang, telekomunikasi dan transportasi, kesehatan dan pendidikan. Bagi kelompok masyarakat miskin, lebih dari separuh total pengeluaran mereka adalah untuk makanan. Oleh karenanya, kenaikan harga bahan makanan maupun makanan akan memberikan dampak lebih besar bagi kelompok bawah dibanding kelompok menengah atas.
Sebagai ilustrasi, bagi kelompok atas pengeluaran untuk makanan mungkin hanya 10% dari total pengeluaran karena porsi pengeluaran untuk lain-lain seperti menabung, rekreasi, dll., yang tidak dihitung dalam inflasi, jauh lebih besar dibanding porsi pengeluaran makanan. Oleh karenanya, semakin kaya, dampak kenaikan harga makanan semakin kecil karena porsi pengeluaran untuk makanan yang semakin kecil. Belum lagi, si kaya bisa membeli beras dan makanan lain dalam partai besar, sehingga untuk jumlah yang sama harga yang harus dibayar lebih murah dibanding harga yang harus dibayar si miskin karena harus membeli dengan mengecer. Harga satu batang rokok bila dibeli sekaligus dalam satu pak, tentu lebih murah dibanding bila dibeli per batang.
Inflasi yang dihadapi kelompok miskin juga berkali lipat karena formula perhitungannya yang tidak sesuai fakta lapangan. Dalam perhitungan inflasi, BPS menggunakan data Survei Biaya Hidup, dimana porsi beras dalam pengeluaran hanya dihitung 6%. Padahal dari hasil survey BPS lainnya yakni SUSENAS, pada tahun 2005 porsi beras pada kelompok miskin mencapai 24%. Demikian juga minyak goreng yang dalam SUSENAS 2005 sebesar 3,35% dalam Survei Biaya Hidup hanya 1,3%.
Dengan perhitungan porsi pengeluaran makanan yang lebih rendah, maka pada saat harga minyak goreng, beras dan makanan lain mengalami kenaikan, maka kenaikan harga barang-barang tersebut tidak tergambar dengan benar pada angka inflasi. Apalagi ternyata yang disurvey lebih condong pada kelompok masyarakat menengah atas.
Bila angka inflasi dihitung dengan lebih tepat, sesuai dengan fakta porsi pengeluaran masyarakat kelompok bawah, maka inflasi kelompok bawah akan lebih tinggi yang berarti beban daya beli kelompok bawah akan jauh lebih berat dibanding masyarakat secara rata-rata.
Turunnya pendapatan
Beban masyarakat utamanya kelompok menengah bawah akibat kenaikan TDL juga terjadi akibat potensi turunnya pendapatan. Biaya produksi yang meningkat di berbagai industri tentu akan semakin menekan daya saing industri dan menekan tingkat produksinya. Bagi Indonesia yang tengah menghadapi gempuran produk-produk murah dari China, tambahan biaya produksi akibat kenaikan TDL akan berdampak sangat signifikan bagi kemerosotan daya saing. Apalagi pemerintah gagal untuk renegosiasi 228 pos tarif dalam kerjasama ASEAN China Free Trade Area.
Dampak kegagalan ini sangat besar bagi industri tekstil, alas kaki, mainan anak dan elektronik karena lebih dari tiga perempat pos tarif yang gagal direnegosiasi tersebut ada pada sektor ini yang kesemuanya adalah industri yang boros listrik.
Kenaikan TDL secara langsung akan berdampak pada masyarakat bawah karena sebagian besar mereka merupakan pengusaha UMKM yang bergerak pada sektor-sektor usaha tersebut. Dampak secara tidak langsung juga terjadi saat masyarakat kelompok bawah yang menjadi buruh harus menghadapi kenyataan bahwa daya saing industry tempat mereka bekerja terpaksa harus mengurangi jumlah karyawan atau bahkan bangkrut. Akibatnya, kalaupun tidak terkena PHK, para buruh akan sulit mendapatkan kenaikan gaji. Akibatnya tentu saja pendapatan riil mereka menurun karena inflasi yang dihadapi akibat kenaikan harga-harga, jauh lebih tinggi dibanding kenaikan pendapatannya.
Jelas bahwa kenaikan TDL akan memberikan beban yang lebih berat bagi masyarakat kempok bawah baik lewat kenaikan harga-harga maupun lewat penurunan pendapatan riilnya. Tidak heran bila mulai banyak masyarakat dan pengusaha menolak kenaikan TDL.
Bila rakyat dan pengusaha tidak diuntungkan bahkan dirugikan, lalu siapa yang mendapat manfaat dari kenaikan TDL? Tentu tidak ada lain kecuali pihak-pihak yang diuntungkan dari liberalisasi gas oleh pemerintah Indonesia. Pada dasarnya kenaikan TDL terjadi karena naiknya biaya produksi akibat PLN harus menggunakan BBM karena pemerintah tidak mau menyisihkan gas untuk PLN. Pemerintah memilih untuk memberikan gas pada asing lewat ekspor dibanding memprioritaskannya bagi kepentingan dalam negeri. Jadi, memang tidak salah bila rakyat dan pengusaha menolak kenaikan TDL.(*)