Oleh : Wafa Raihany Salam, mahasiswa semester 3 di kampus STEI SEBI.
Telah kita ketahui bahwa hukum-hukum Islam lebih maju dari hukum-hukum modern lainnya dalam menetapkan dasar-dasar tanggung jawab untuk melindungi hak-hak dokter dan pasien. Islam juga mendorong perkembangan metode ilmiah yang layak dalam prosedur medis.
Imam Malik meriwayatkan hadist, bahwa Rasulullah SAW bersabda “Janganlah membahayakan diri dan membahayakan orang lain” diriwayatkan juga dari Amr bin Shuaib dari bapaknya dari kakeknya bahwa Rasulullah bersabda “Barang siapa yang melakukan praktik pengobatan padahal ia tidak dikenal memiliki keahlian sebagai dokter maka ia harus bertanggung jawab".
Ketika ilmu kedokteran muncul pada zaman prasejarah, ia bercampur dengan klenik dan mistik. Karena kepercayaan umum meyakini bahwa penyakit diakibatkan oleh setan yang mengambil alih tubuh. Jika seseorang meninggal, berarti setan telah mendominasi dirinya, sehingga tidak ada ruang untuk menuntut agar dokter bertanggung jawab.
Pada zaman Fir’aun mesir, ilmu kedokteran disusun dalam kitab pedoman mereka. Dokter harus mematuhi buku itu, jika ia melanggarnya dan pasien meninggal, dokter harus membayar dengan kepalanya. Dengan kata lain, dieksekusi mati.
Di Babylon, undang-undang Hammurabi membuat aturan-aturan ketat yang membuat para dokter bertanggung jawab atas tindakannya. Tangan dokter akan dipotong jika ia menyebabkan pasien kehilangan anggota tubuh mereka atau menyebabkan malfungsi fisik seorang manusia.
Di zaman Yunani Kuno, setelah Hippocrates membebaskan ilmu kedokteran dari unsur mistis, ia mengharuskan para muridnya untuk bersumpah. Tapi sumpah ini tidak merujuk kepada suatu pertanggung jawaban apapun. Ia lebih kepada komitmen moral atau sesuatu yang tidak bisa dinyatakan secara jelas, karena tidak ada unsur kriminal apapun yang berkaitan dengan tindakan dokter dalam pandangan mereka.
#GOOGLE_ADS#
Di zaman Yunani Kuno, setiap kesalahan atau penyebab oleh seorang dokter menyebabkan mereka harus membayar kompensasi. Akan tetapi hukuman tersebut bervariasi tergantung dari status sosial si pasien. Kematian seorang pasien bisa menyebabkan eksekusi mati atau pengasingan sang dokter.
Pada abad pertengahan di Eropa, jika seorang pasien meninggal karena keteledoran atau pelanggaran dokter, sang dokter akan diserahkan kepada keluarga pasien. Merekalah yang akan membuat pilihan antara membunuhnya atau membiarkan ia hidup sebagai budak.
Namun ketika islam datang, Islam mengantarkan pada era baru dimana peraturan hanya didasarkan pada hukum yang diwahyukan oleh Allah. Rasulullah membangun prinsip-prinsip dasar yang merepresentasikan aturan ideal dalam hubungan antara dokter dengan pasiennya, atas dasar logika dan keadilan.
Hukum Islam menghargai pengetahuan tentang kondisi psikis dan situasi manusia sebagai dasar ilmu kedokteran. Ibnu Qoyyum berkata “Sangatlah penting bagi seorang dokter memiliki pengetahuan spiritual dan masalah psikologis, serta bagaimana mengatasinya. Karena hal tersebut merupakan aspek penting dalam mengobati gangguan fisik. Hubungan antara fungsi fisik, pikiran serta jiwa sudah diakui kebenarannya,".
Jika seorang dokter yang memiliki pengetahuan tentang penyakit spiritual dan kejiwaan, maka ia akan menjadi dokter ahli. Sementara dokter yang tidak memiliki pengetahuan tentang penyakit spiritual dan kejiwaan meski ia ahli dalam pengobati penyakit fiisk hanyalah dokter biasa.
Karena ilmu kedokteran sangat diperlukan dan dibutuhkan oleh masyarakat. Islam memandang proses belajar dan praktik kedokteran sebagai kewajiban kolektif. Maka dari itu, hukum Islam lebih maju dibanding hukum manusia, mensyaratkan dokter untuk menggunakan ilmu dan keterampilannya sebagai pengabdi bagi masyarakat.
Seorang ulama, Muhammad Abu Zahra berkata “Disini kita berbicara tentang resiko yang menimpa pasien yang bisa dicegah oleh dokter yang ahli atau ditangani melalui tindakannya,".
Mengenai hal ini, para ahli fikih berselisih pendapat. Pendapat pertama, kematian atau cedera yang dialami pasien dikarenakan oleh sesuatu yang tidak diperkirakan, diluar kemampuan dan diagnosis dokter, hal tersebut bukan termasuk kelalaian dokter sehingga tidak ada cela atau kekeliruan yang menyebabkan dokter harus bertanggung jawab.
Sementara, pendapat kedua, cedera pada anggota badan karena kesalahan procedural, seperti ketika pembedahan yang dilakukan dengan segala perencanaan matang akan tetapi tangan sang dokter lalai dan merusak bagian tubuh, maka hubuman bagi dokter adalah membayar diyat.
Pendapat ketiga, kematian disebabkan oleh kekeliruan dalam pemberian obat meski dang dokter telah mencurahkan segala kemampuan dan melakukan yang terbaik namun menyebabkan kesalahan maka sang dokter harus bertanggung jawab dengan membayar diyat.
Pendapat keempat, pada tiga pendapat pertama, pengobatan medis diberikan dengan izin dari pasien atau penjaminnya. Tapi apabila kekeliruan tterjadi tanpa izin dari pasien atau penjaminnya maka para ahli fikih sepakat harus bertanggung jawab.
Contoh sepuluh kasus kelalaian medis yang dituntun syariat, diantaranya, pertama adalah kesengajaan, apabila sang dokter melakukan kelalaian sehingga menyebabkan kematian atau kerusakan fungsi anggota tubuh si pasien maka hukuman bagi sang dokter adalah qishah.
Kedua, ketidaksengajaan, apabila sang dokter melakukan kesalahan dalam diagnosis penyakit, menyaranan obat yang salah maka dokter harus bertanggung jawab. Meski tidak seberat kasus pertama yang berupa qishah namun tetap saja sang dokter harus tetap bertanggung jawab.
Ketiga, melanggar prinsip-prinsip kedokteran. Apabila sang dokter mengobati pasien dengan cara yang menyalahi aturan baku dalam kedokteran, maka ia harus bertanggung jawab atas segala resiko yang diakibatkan dari pelanggaran tugasnya.
Keempat kebodohan, apabila seorang dokter gadungan melakukan praktik medis dengan menipu dan mengelabui pasien, maka dokter gabungan tersebut harus dituntut pertanggung jawaban atas perbuatannya.
Kelima, tidak adanya persetujuan dari pasien, para ulama berbeda pendapat, ada yang berpendapat sang dokter harus bertanggung jawab, namun ada pula yang berpendapat tidak harus bertanggung jawab kecuali dalam kasus ketidaksengajaan.
Keenam, tidak adanya lisensi dari otoritas. Apabila sang dokter tidak memiliki izin praktik dalam peraturan di dalam suatu negara maka sang dokter harus bertanggung jawab.
Ketujuh, penipuan, apabila sang dokter melakukan pengelabuhan dan kecurangan dengan menyarankan obat bagi pasien yang mengakibatkan cacat atau tidak memberikan khasiat apapun, maka sang dokter harus bertanggung jawab atas perbuatan penipuannya tersebut.
Kedelapan, menolak melakukan tindakan dalam situasi darurat. Kesembilan, penangganan secara haram.
Kesepuluh, membuka rahasia pasien.
Dokter yang cakap tidak bertanggung jawab atas kerugian yang menimpa pasien selama kondisi berikut terpenuhi: terbukti memiliki pengetahuan tentang medis, perizinan atau lisensi dari otoritas, persetujuan dari pasien atau penjaminnya, bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip kedokteran yang telah dibekukan, dan tidak membuat kekeliruan serius yang menuntut pertanggung jawaban
Sumber: Yusuf Al-Hajj Ahmad.2016.Panduan Pengobatan Islami.Solo:Aqwam