TangerangNews.com
Intelektual Membumi
| Minggu, 25 Juli 2010 | 18:00 | Dibaca : 42515
Rudy Gani (tangerangnews / Istimewa)
Oleh:RUDY GANI
Aktivis HMI BADKO JABOTABEKA-BANTEN
TANGERANGNEWS-Setiap kita dilahirkan merdeka. Dalam konteks seperti itulah seorang manusia dibebankan pada hal-hal yang sifatnya substansial. Makna substansial dalam konteks ini ialah, manusia diharapkan mampu membaca peta pemikiran dan sekaligus peta tindakan dalam merefleksikan kehidupan. Begitu tingginya sekaligus beratnya beban manusia, maka Tuhan dengan penuh keyakinan mentakdirkan pada manusia bahwa mereka adalah khalifah di muka bumi. Masalah yang muncul kemudian, khalifah seperti apakah yang dapat kita bincangkan?
Tidak semua manusia akan menjadi pemimpin. Dan tidak semua manusia tidak bisa menjadi pemimpin. Hakikat kehidupan manusia yang telah digariskan oleh Tuhan bahwa manusia memiliki andil besar baik sebagai pembaru (mujaddid) sekaligus perusak (destruktif) menjadi ciri utama manusia. Pada konteks ini manusia dilahirkan dalam posisi yang mendua. Di satu sisi manusia dilahirkan sebagai pembaharu bagi lingkungan sekitarnya. Dan pada sisi lainnya manusia ditakdirkan pula sebagai perusak lingkungannya. Adapun yang menggerakkan kesemua hal itu ialah nafs yang dimiliki seorang manusia. Singkatnya, manusia memiliki potensi untuk jahat sekaligus memiliki potensi menjadi baik.
Mahasiswa, Intelektual dan Kejahatan
Sangat tendensius jika mengatakan bahwa kelompok mahasiswa yang kerap disebut agen pembaharu merupakan manifestasi dari manusia-manusia unggul yang dipilih Tuhan. Mahasiswa adalah mahluk intelektual yang bergelut dengan ide dan gagasan. Sayangnya, pemahaman atas ide dan gagasan tersebut terkadang terbentur dalam realitas yang sesungguhnya menyimpan jebakan kepragmatisan yang tinggi.
Absolutisme pemikiran sekaligus derasnya kebudayaan malaise menjangkiti pola pikir mahasiswa yang kemudian melahirkan ’kebudayaan patuh’ terhadap berbagai kondisi ketidakadilan yang terjadi disekitarnya. Mahasiswa kerap menjadi ragu atas ide dan gagasannya akibat pola pikir yang terstrukturisasi menjadi kepingan kecil di tengah tantangan kehidupan yang begitu besar. Akibatnya, mahasiswa luntur pada pesona kehidupan yang serba instan dan transaksional. Mereka kini berlomba mengejar materi dan kepopuleran tanpa lagi melihat sisi humanistik yang seharusnya diperjuangkan.
Proses pembentukan manusia unggul terkalahkan dalam kebudayaan sempit dan dangkal. Ciri utama daripada kebudayaan ’malaise’ ialah munculnya kaum pragmatis yang bergelut dalam kesempitan ruang dan waktu yang membelenggu ide dan gagasan daripada mahasiswa itu sendiri.
Tantangan kehidupan yang kian meminggirkan ide dalam kesempitan ruang merupakan konsekwensi utama buruknya sistem pembelajaran yang selama ini terbentuk. Dapatlah kita bincangkan di sini bahwa keterpurukan pendidikan selama ini akibat salah kelola kebijakan pendidikan oleh Negara. Bagi Moh. Hatta sudah jelas dan tegas jika pendidikan ditujukan untuk membentuk karakter peserta didik. Sayangnya, paham pendidikan tersebut (Moh. Hatta) terkalahkan dengan pola pendidikan yang serba instan, transaksional dan seolah-olah tanpa tujuan. Hakikat pendidikan utama dalam membentuk karakter bangsa menjadi ’limbo’ tak berkesudahan akibat paradigma pendidikan yang kehilangan arah. Dan inilah yang menjadi salah satu faktor bagaimana pendidikan ’gagal’ mengemban misi kemanusiaannya.
Berbagai kendala pembentukan mental mahasiswa dan sekaligus pembicaraan mengenai pendidikan di Indonesia, telah melahirkan kebudayaan yang menjauhi dari nilai idealisme dan gagasan besar untuk perubahan bagi bangsa. Keterpurukan yang selama ini kita rasakan merupakan kumulatif daripada salah kelola pendidikan dan manifestasi paradigma pendidikan yang serba instan dan transaksional. Ilmu kian menjauihi realitas, dan relitas kian memusuhi ilmu pengetahuan. Maka, paripurnalah pengkhianatan kaum ilmuwan terhadap ilmu yang dimaksudkan. Mahasiswa yang lahir dari rahim kampus kemudian menjadi pengkhianat utama terhadap ilmunya.
Mental karyawan dan cinta pada uang telah membentuk kesadaran utama mahasiswa untuk mengejar hal-hal tersebut sebagai panglima utama inspirasinya. Mahasiswa kemudian menjadi ’budak’ daripada kehidupan yang serba instan dan transaksional. Implikasinya tentu saja telah memunculkan kedigdayaan kebudayaan pragmatis yang seolah-olah ditakdirkan sebagai kutukan. Padahal pragmatisme hidup adalah bagian yang seharusnya dimanfaatkan.
Tugas Intelektual Membumi
Bagi intelektual yang (masih) waras. Berbagai tantangan ini merupakan bagian daripada jihad untuk menuangkan gagasan perubahan dalam kehidupan. Seorang intelektual membumi ditakdirkan Tuhan untuk menjadi mujaddid dalam setiap zamannya. Bagi mereka yang meyakini bahwa dirinya adalah khalifah, upaya untuk mencapai impian itu sungguh-sungguh termanifestasikan dalam bentuk sikap dan tindakan. Seorang intlektual membumi lahir dalam ruang yang kaya akan ide dan gagasan. Seorang intelektual membumi tidak miskin dengan inovasi dan kreasi. Seorang intelektual membumi adalah mereka yang konsisten menjalankan kebenaran sekaligus berani menungkapkan kebisuaan zaman yang dia rasakan selama ini. Ciri utama seorang intelektual membumi adalah gerak yang dinamis, visioner dan yang lebih terpenting selalu berusaha mewujudkan mimpinya dalam tindakan konkret.
Berbagai upaya yang dilakukan selalu disandarkan pada gagasan dan ide untuk mencapai kebenaran serta kemaslahatan bagi umat manusia. Di sinilah seorang intelektual membumi ditakdirkan menjadi perubah bagi zaman. Mampukah kita mempraktikannya? Mari kita lihat. (*)