TangerangNews.com

Terbentuknya Panwaslak Pemilu Tahun 1982

Redaksi | Selasa, 3 Maret 2020 | 17:13 | Dibaca : 1271


Zulpikar, Komisioner Bawaslu Kabupaten Tangerang. (Istimewa / Istimewa)


 

Oleh : Zulpikar, Komisioner Bawaslu Kabupaten Tangerang

 Perubahan Penyelenggara dan Tipikal Golput Pemilu 1982

Kontestan Pemilu 1982 sama seperti di Pemilu 1977, yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan Karya (Golkar), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Pemilu di era Orba bukan untuk memilih presiden dan wakil presiden, melainkan memilih anggota DPR-RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kotamadya.

 

Pemilu 1982 mengalami perubahan dalam badan penyelenggara. Kali ini Dewan Pertimbangan Lembaga Pemilihan Umum diketuai oleh Menteri Kehakiman dan anggotanya diambil dari unsur ABRI serta partai politik dan Golongan Karya. Sistem pemilu menggunakan sistem : Perwakilan berimbang dengan stelsel daftar.

 

Sejak pertamakali pemerintah Orde Baru menggelar pemilu yakni pada 1971, golput sudah ada. Pada Pemilu 1971 dan 1977, orang-orang yang disebut golput tetap datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) namun tidak mencoblos surat suara dengan benar. Jelang Pemilu 1982, terjadi perubahan tipikal Golput. Dikutip dari Majalah Tempo edisi 1 Februari 2019, Juru Bicara Departemen Dalam Negeri kala itu, Feisal Tamin, memaparkan bahwa golput adalah “orang atau golongan yang tidak menggunakan haknya untuk memilih atau yang menganjurkan dan mempengaruhi orang lain untuk tidak menggunakan hak pilihnya.”

 

Menteri Dalam Negeri saat itu, Amirmachmud, sangat tidak menyukai golput. Jenderal yang pernah menjadi saksi Supersemar 1966 ini menyebut golput sebagai perbuatan dosa. Bahkan, terungkap dalam buku Golput: Aneka Pandangan Fenomena Politik (1992) karya Arbi Sanit, Amirmachmud menyebut para pelakunya sebagai “orang munafik”. Tidak hanya pemerintah yang menghakimi golput. “Kecaman yang paling mengagetkan datang dari kelompok ulama Jawa Barat yang bernaung dalam Majelis Ta’lim Darul Ulum. Menurut mereka, bersikap golput dalam pemilu hukumnya haram,” tulis Arbi Sanit. Pemilu yang dilaksanakan pada 5 Mei 1982 ini menelan biaya Rp132 miliar.

 

Dasar Hukum, Jumlah Pemilih, Peserta dan Perolehan Suara

 

Pemilihan Umum tahun 1982 yang dilaksanakan dibawah payung hukum Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1969 Tentang Pemilu, yang telah diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1975, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1980, meskipun demikian, tidak ada perubahan berarti dalam setiap perubahan.

Jumlah Penduduk Indonesia pada Pemilihan Umum Tahun 1982 kurang lebih 146.532.397, dari jumlah itu penduduk yang terdaftar menjadi pemilih sekitar 82.134.195. Jumlah peserta pemilu hanya tiga yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan Karya (Golkar) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI).

kpud-banjarkota.go.id “pemilu legislatif 1982” : Pemungutan suara Pemilu 1982 dilangsungkan secara serentak pada tanggal 4 Mei 1982. Pada Pemilu ini perolehan suara dan kursi secara nasional Golkar meningkat, tetapi gagal merebut kemenangan di Aceh. Hanya Jakarta dan Kalimantan Selatan yang  berhasil diambil  Golkar  dari PPP. Secara  nasional Golkar  berhasil  merebut tambahan 10 kursi dan itu berarti kehilangan masing-masing 5 kursi bagi PPP dan PDI Golkar meraih 48.334.724 suara atau 242 kursi. Adapun cara pembagian kursi pada Pemilu ini tetap mengacu pada ketentuan Pemilu 1971. Hasil Pemilu Tahun 1982 terlihat pada tabel berikut :

No

Partai

Suara DPR

%

Kursi

% 1977

Keterangan

1

Golkar

84.334.724

  64,34

      242

  26,11

    + 2,23

2

PPP

20.871.880

  27,78

       94

  29,29

     -1,51

3

DPI

  5.919.702

    7,88

       24

   8,60

     -0,72

Jumlah

75.126.306

100.00

     364

100.00

 

 

Hilangnya prinsip free and fair dan  terbentuk Panwaslak Pemilu

pelaksanaan pemilu sepanjang Zaman  Orde Baru memiliki karakter yang berbeda dengan pemilu yang dikenal negara-negara demokrasi pada umumnya. Jika di negara demokrasi karakter pemilu dibangun diatas prinsip free and fair baik dalam struktur dan proses pemilu, sebaliknya, Orde Baru justru menghindari penerapan prinsip tersebut. Yang terjadi kemudian adalah ketidak seimbangan kontestasi antar peserta pemilu dan hasil pemilu tidak mencerminkan aspirasi dan kedaulatan rakyat. Pelaksanaan Pemilu diataur melalui cara-cara tertentu untuk kelanggengan kekuasaan Orde Baru .

Kelembagaan pengawas Pemilu muncul pada pelaksanaan Pemilu 1982, dengan nama Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemilu (Panwaslak Pemilu). Pada saat itu sudah mulai muncul distrust terhadap pelaksanaan Pemilu yang mulai dikooptasi oleh kekuatan rezim penguasa. Pembentukan Panwaslak Pemilu pada Pemilu 1982 dilatari oleh protes-protes atas banyaknya pelanggaran dan manipulasi penghitungan suara yang dilakukan oleh para petugas pemilu pada Pemilu 1971 dan Pemilu 1977.

Aswab Nanda Pratama di Kompas.com 05-06-2018 dalam “ Perjalanan Terbentuknya Pengawas Pemilu dari Panwaslak pada 1982 hingga kini Bawaslu” Jelang pelaksanaan Pemilu 1982, dibentuk sebuah lembaga yang dikenal sebagai Panita Pengawas Pelaksanaan (Panwaslak) Pemilu. Lembaga ini bertugas untuk mengawasi jalannya pemilu dan meminimalisir kecurangan saat pemilu. Harian Kompas, 13 Agustus 1981, menyebutkan, Panitia Pengawas Pelaksanaan (Panwaslak) Pemilu pada 1982 merupakan usaha untuk menyempurnakan pelaksanaan pemilu. Panwaslak diketuai oleh Jaksa Agung RI dan melakukan pengawasan pelaksanaan pemilu Anggota DPR, DPRD tingkat 1, DPRD Tingkat II dalam wilayah kerja masing-masing. Pembentukan Panwaslak tersebut hanya menampung permasalahan yang disampaikan oleh masyarakat dan kontestan pemilu, bukan menangani masalah kriminal dan pidana terkait pemilu. Setelah dibentuk Panwaslak, seluruh protes partai politik (parpol) bisa diselesaikan melalui mekanisme musyawarah.