Oleh: Dr. Hastuti Naibaho, M.Si
Kepala Jaya Center for Advanced Learning & Dosen Program Studi Manajemen Universitas Pembangunan Jaya
Wabah COVID-19 (korona) yang menyerang semua negara di dunia menyebabkan kepanikan pada berbagai lapisan, bukan hanya masyarakat tetapi kepanikan juga dialami oleh pemimpin-pemimpin perusahaan terkait kebijakan yang akan diambil dalam pengelolaan sumberdaya manusia. Meskipun pemerintah sudah mengumumkan himbauan agar masyarakat melakukan aktifitas di rumah termasuk bekerja dari rumah (work from home / WFH), tidak semua perusahaan langsung memberikan respon terhadap himbauan pemerintah ini. .
Pertanyaannya “Apakah pemimpin perusahaan tidak khawatir terhadap keselamatan/kesehatan karyawan nya dengan tetap menyuruh karyawan datang ke kantor untuk bekerja?” Saya sangat yakin bahwa semua pemimpin perusahaan memikirkan akan resiko penularan virus ini kepada karyawan mereka karena pimpinan perusahaan menyadari besarnya biaya yang dikeluarkan untuk rekrutmen.
Khususnya jika terjadi rekrutmen dalam jumlah besar yang disebabkan oleh satu karyawan yang menjadi pembawa (carrier) virus ini menularkan pada karyawan-karyawan lainnya. Jika memang pimpinan perusahaan menyadari resiko tersebut, pertanyaan berikutnya adalah “mengapa perusahaan tidak membuat kebijakan untuk WFH? Untuk menjawab pertanyaan ini, penulis menggunakan argumen yang bersifat pendugaan karena penulis belum melakukan penelitian sebagai dasar empiris jawaban pertanyaan ini.
#GOOGLE_ADS#
Kebijakan Work From Home (WFH) sebenarnya bukanlah kebijakan baru dalam konsep manajemen sumberdaya manusia. Negara-negara maju sudah menggunakan kebijakan ini sejak lama. Hanya saja, di Indonesia khususnya industri formal, sependek pengetahuan penulis kebijakan ini belum digunakan sehingga ketika terjadi serangan wabah COVID-19 perusahaan gagap (belum siap) dengan prosedur yang akan digunakan jika karyawan bekerja dari rumah.
Perusahaan juga memiliki kekhawatiran (ketidakpercayaan) terhadap karyawan bahwa mereka akan tetap bekerja optimal meski tanpa pengawasan. Perusahaan seperti manufaktur memang akan mengalami masalah produksi/operasional jika menerapkan kebijakan WFH. Tetapi bagaimana dengan jenis industri atau jenis pekerjaan lain yang sebenarnya karyawan dapat tetap bekerja optimal meski tidak datang ke kantor,?.
Beberapa perusahaan cepat memberi respon melalui kebijakan WFH untuk karyawan tetapi beberapa perusahaan mengeluarkan kebijakan ini bahkan karena ada desakan yang keras dari karyawan-karyawannya. Menurut saya, jikalau kendala perusahaan tidak menerapkan WFH karena belum ada standar operasional prosedur (SOP), kendala ini dapat diatasi dengan cepat karena membuat SOP untuk WFH dapat dengan mudah dilakukan. Kendala utama adalah ketidak percayaan perusahaan terhadap karyawan bahwa mereka dapat bekerja efektif ketika di rumah sehingga mengijinkan WFH akan memberi ancaman terhadap kelangsungan dan atau pencapaian target-target kinerja yang sudah dibuat oleh perusahaan.
Ketidak percayaan perusahaan terhadap karyawan menurut saya adalah bentuk dari kegagalan perusahaan dalam membentuk sikap kerja dan perilaku kerja positif sehingga bagi perusahaan yang tidak memiliki kepercayaan terhadap karyawan, kondisi saat ini harusnya menjadi refleksi bagi pimpinan perusahaan terhadap budaya organisasi dan kebijakan-kebijakan yang sudah dibuat dan dilaksanakan selama ini.
Jikalau perusahaan khawatir karyawan tidak bekerja efektif di rumah maka budaya organisasi dan kebijakan-kebijakan untuk menciptakan keterikatan psikologi karyawan dengan organisasi yang selama ini diterapkan mengalami kegagalan. Poin berikutnya yang hendak saya soroti adalah, jikalau pun karyawan tidak bekerja efektif ketika berada di rumah, dengan kondisi ancaman virus korona yang belum pasti kapan berakhirnya maka saat ini adalah waktu yang tepat untuk memberikan kepercayaan kepada karyawan.
Teori kebutuhan Maslow mengatakan bahwa setiap orang memiliki kebutuhan mulai dari kebutuhan fisik sampai kepada kebutuhan psikologi seperti aktualisasi diri. Jikalau karyawan bersifat oportunistik, yaitu mengambil kesempatan untuk berleha-leha dengan kebijakan WFH, maka kondisi ini tidak akan menghancurkan kelangsungan perusahaan.
Karyawan mungkin akan memanfaatkan kesempatan ini untuk kepentingan dirinya tetapi perilaku oportunistik ini tidak akan berlangsung lama karena karyawan akan berusaha untuk memenuhi kebutuhan psikologinya, yaitu melakukan pekerjaan yang membuat dia merasa berarti. Kita mendengar berita-berita di media bagaimana dampak psikologi/kebosanan yang tinggi ketika orang di rumah tidak melakukan aktifitas. Tidak membutuhkan waktu yang lama bagi karyawan untuk kembali bekerja efektif sebagai bentuk pemenuhan kebutuhan psikologinya.
Jikalaupun perusahaan mengalami kerugian karena karyawan bekerja tidak efektif selama periode waktu tertentu, tetapi biaya implisit yang dikeluarkan perusahaan lebih rendah jika dibanding sinis/kemarahan karyawan karena perusahaan tidak mengijinkan mereka WFH. Momen ini bahkan akan menjadi stimulus kuat bagi karyawan untuk tidak memercayai perusahaan.
Bagi saya, wabah COVID-19 membuat perusahaan-perusahaan di Indonesia terpaksa menerapkan kebijakan WFH dan saya melihat ini menjadi sebuah peluang untuk memasuki era baru pengelolaan sumberdaya manusia di Indonesia. Mungkin, jika wabah COVID-19 tidak ada maka perusahaan-perusahaan di Indonesia tidak akan pernah menganggap WFH adalah kebijakan yang dapat menguntungkan perusahaan.
Kondisi saat ini yang mengharuskan perusahaan menerapkan WFH menjadi peluang untuk mengeksplorasi keuntungan-keuntungan yang dapat diperoleh perusahaan dari kebijakan ini. Selain itu, kesempatan ini juga dapat digunakan oleh perusahaan untuk melakukan pengembangan prosedur kerja dan kebijakan-kebijakan ketika perusahaan menggunakan sistem WFH. Selamat datang era baru pengelolaan sumberdaya manusia di Indonesia!
E-mail: hastuti.naibaho@upj.ac.id