TangerangNews.com

Pilkada Tangsel dan Basa-Basi Partai

| Kamis, 5 Agustus 2010 | 01:53 | Dibaca : 48373


Aktivis HMI Badko Jabotabeka Banten Rudy Gani (tangerangnews / dira)


 

Rudy Gani
Aktivis HMI Badko Jabotabeka Banten
 
TANGERANGNEWS-Terkesan, apa yang dilakukan partai-partai politik di Tangsel, khususnya ketika melaksanakan konvensi  menjaring kandidat walikota Tangsel—sebagai bentuk demokratisasi dan transparansi yang dilakukan partai. Para konstituen dan masyarakat melihat bagaimana partai melakukan penjaringan calon walikota yang secara langsung dapat diakses luas oleh masyarakat. Berbeda dengan daerah lainnya, beberapa partai yang memiliki kursi di Tangsel melaksanakan konvensi partai (PDIP dan PKB). Entah bagaimana mekanismenya, yang jelas, culture politik ini menjadi sesuatu yang patut diapresiasi oleh masyarakat Tangsel.
 
          Namun, fenomena ini perlu dimaknai secara kritis. Pasalnya, masyarakat ‘belum’ mempercayai seratus persen bagaimana partai melaksanakan ibadah politiknya secara benar dan kaffah. Masyarakat juga masih skeptis kepada partai di tengah sentimen masyarakat terkait prilaku politikus di DPR-RI dan pola rekruitmen partai yang belum maksimal. Sebab, dewasa ini, partai lebih cenderung mendengar diri mereka sendiri.
 
Partai cenderung untuk mengutamakan kepentingan mereka ketimbang konstituen atau masyarakat secara luas. Akhirnya, apa yang dilakukan partai, terkadang tidak menyentuh problem yang sesungguhnya terjadi. Begitupun dengan yang terjadi di Tangsel. Dalam hal penjaringan kandidat walikota misalnya.
 
Masyarakat dapat melihat bagaiamana partai melaksanakan proses seleksi. Dimulai dari pendaftaran para kandidat, pemaparan visi-misi hingga ke tahap penentuan dukungan kandidat yang dipilih. Masing-masing partai-pun memiliki perbedaan dalam menentukan keputusan. Namun, ketika tahapan pendaftaran, pemaparan visi-misi terlaksana, bagaimana kelanjutan dari proses penentuan bakal calon yang diusung? Apakah tahapan tersebut memang sungguh menjadi dasar penentuan keputusan atau sebaliknya? Terdapat praktik ‘beli kucing dalam karung’ ketika partai menentukan pilihan.
 
Nah, di sinilah keraguan tersebut muncul. Bagaiamana partai politik menentukan keputusan untuk mendukung kandidat jagoannya? Apakah melalui penilaiaan obyektif, atau sebaliknya, berkiblat pada loby dan uang. Artinya, semakin besar setoran gizi kandidat untuk partai, disertai kecocokan mahar politik antara kandidat dan partai, calon yang mampu memenuhi hal tersebut didukung. Seperti itukah polanya?
 
          Dalam menentukan keputusan politis, partai tentu memiliki logika tersendiri. Seandainya partai memiliki logika yang sejalan dengan kepentingan masyarakat, maka partai akan mendahulukan aspirasi masyarakat Tangsel sebagai core dalam menentukan bakal calon kandidat walikota. Sayangnya, praktik politik ini amat jarang terjadi bahkan mustahil dilakukan.
 
Partai, khususnya partai di Tangsel,  akan berhitung bagaimana resiko apabila mereka mendukung kandidat yang ideal namun miskin ‘gizi’. Kandidat yang cerdas namun tidak (banyak) memiliki logistik untuk partai. Sebab, orientasi partai adalah kekuasaan dan logistik. Tidak perduli bagaimana buruknya kandidat dan track record  kandidat di masa lalu, selama uang dan mahar politiknya cocok, skill dan pengalaman bukanlah hal terpenting. Partai tidak mementingkan popularitas kandidat. Yang menjadi landasan ialah bagaimana proyek dan mahar tersebut tersebar.
 
Orientasi partai yang seharusnya memperjuangkan kesejahteraan masyarakat Tangsel, justru sebaliknya, hanya menambah ‘gendut’ petinggi partai dan kekayaan para elitnya melalui transaksi politik dalam pilkada. Singkatnya, praktik politik melalui konvensi sesungguhnya hanyalah akal-akalan elit partai untuk mengelabui masyarakat di tengah citra partai yang kian memburuk. Masyarakat seolah-oleh (dipaksa) percaya bahwa apa yang dilakukan partai adalah wujud transparansi sebagaiamana yang diharapkan masyarakat. Padahal, proses politik dan penentuan dukungan  diselesaikan di belakang layar dengan bargain politik yang bersandar pada uang dan proyek semata.
 
          Praktik ini tentu saja bukan lagi rahasia di masyarakat. Di tengah perayaan  pragmatisme elit partai yang menghamba pada uang dan jabatan, moral politik hanya menjadi jargon dan simbol. Kematian ’idealisme’ dalam berpolitik  subur ditengah kemunafikan dan ’basa-basi’ politik yang dipertontonkan oleh elit petinggi partai di Tangsel.
 
Konvensi yang sekedar basa-basi justru mengurangi prinsip demokratis bagi pembangunan politik di Tangsel. Akhirnya, pengusungan kandidat yang lebih mengutamakan pemberian gizi dan jual-beli kursi (dukungan suara) menjadikan janji kandidat sebagai wacana yang tuna implementasi.
 
Hampir tidak ada lagi alasan yang dapat diterima nalar mengapa partai berpikiran picik seperti itu. Kondisi ini tentu saja kian meminggirkan harapan masyarakat terhadap partai politik. Partai yang seharusnya menjadi sarana pengkaderan pemimpin daerah, justru takluk dengan kuasa money politics.
 
Partai yang seharusnya menjadi alat demokratisasi bagi masyarakat—terbajak di ruang sesat akibat tak kuasa menahan gejolak kapitalisme dalam berpolitik. Akibatnya, rakyat Tangsel menderita. Kesalahan partai dalam menentukan pilihan menyebabkan kesengsaraan bagi masyarakat. Sebab,kandidat yang diusung partai atau gabungan partailah yang berhak maju sebagai calon walikota.
 
Sedangkan faktanya, partai ’menjajakan’ dirinya untuk meningkatkan tawaran kepada kandidat yang harus mendapat dukungan partai atau gabungan partai. Disinilah kemudian tarik menarik kepentingan antara partai dengan kandidat terjadi. Dan pada titik tertentu menghasilkan transaksi politik dalam bentuk uang dan proyek.
 
          Oleh karena itu, mengkritisi konvensi partai di Tangsel dalam rangka menjaring calon walikota, adalah ikhtiar penguatan demokrasi di Tangsel. Sebab, praktik politik melalui konvensi ’basa-basi’ hanya mencerminkan sebuah tindakan yang memberikan pendidikan politik buruk bagi masyarakat. Tangsel membutuhkan partai yang berpikiran besar dan visioner. Dimana para pegiat dan pemimpinnya adalah mereka yang terlahir dari sebuah proses panjang dan membanggakan. Bukan pemimpin partai yang karbitan dan menjadikan partai sebagai tameng kejahatan keluarga dan kelompoknya.
 
Karena itu, mendewasakan partai—termasuk mendorong transaparansi pemilihan bakal calon walikota menjadi ciri partai yang berorientasi pada kepentingan rakyat. Semoga, ikhtiar partai untuk menjaring calon walikota benar-benar dilakukan dalam rangka membangun Tangsel untuk lebih baik. Jika konvensi dilakukan dalam konteks ini, maka tidak ada alasan lain selain mendukung tujuan mulia tersebut.(*)