TANGERANGNEWS.com-Direktur Institut Demokrasi dan Kesejahteraan Sosial (Indeks) Arif Hadiwinata mengatakan, reformasi regulasi ketenagakerjaan di Indonesia mendesak untuk dilakukan.
Pasalnya, berdasar riset yang dilakukan Indeks, sejak 2005-2020 skor Indonesia untuk kebebasan ketenagakerjaan bukan hanya berada di bawah rata-rata dunia, tetapi juga mengalami trend penurunan.
"Karena itu, RUU Ciptaker merupakan peluang bagi penyusunan reformasi regulasi ekosistem ketenagakerjaan di Indonesia," katanya kepada media di Tangerang, Jumat (8/5/2020).
Arif memaparkan, tahun 2018, iklim kebebasan ketenagakerjaan Indonesia berada dalam status mostly unfree dengan skor 50,3. Tahun 2019, status merosot menjadi repressed seiring penurunan skor menjadi 49,3.
Tahun 2020, skor kebebasan ketenagakerjaan Indonesia makin turun ke 49,2, yang berarti makin terpuruk dalam status repressed, atau menempati peringkat ke-145 dari 184 negara.
‘’Indeks ini antara lain merujuk pada bagaimana setiap orang bisa secara bebas menawarkan potensi dirinya di pasar kerja, menetapkan harga yang seharusnya dibayar pihak lain untuk memanfaatkan potensi dirinya," jelasnya.
"Selain itu ukuran yang memutuskan apakah pekerja menerima atau menolak pihak lain yang membutuhkan potensi dirinya. Kalau ukuran-ukuran semacam ini rendah, artinya kita dituntut segera memperbaiki aturan,’’ tambahnya.
Menurut Dosen Ekonomi UIN Jakarta ini, rendahnya iklim kebebasan ketenagakerjaan menciptakan iklim investasi yang buruk.
Investasi buruk pada akhirnya akan berakibat langkanya lapangan kerja, dan akibatnya meningkatkan pengangguran.
Dengan koreksi mendalam dari IMF terkait estimasi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2020 hingga 0,5%, total pengangguran diperkirakan mencapai angka 10,16 juta pada 2020.
‘’Tingginya pengangguran akan menghantui perekonomian nasional ke depan. Pemerintah harus secepatnya mengeluarkan kebijakan yang dapat menampung mereka melalui penciptaan lapangan-lapangan pekerjaan yang banyak,” ujar Arif.
Penciptaan lapangan pekerjaan, lanjut Master Public Policy dari Carnegie Mellon University (CMU) itu, tidak dapat diselesaikan dengan hanya membuat regulasi terkait investasi saja.
Regulasi-regulasi lain yang mendukung atau berkaitan dengannya seperti regulasi perizinan, ketenagakerjaan dan lainnya, juga perlu dituntaskan.
“Itu yang kami sebut sebagai ekosistem ketenagakerjaan dimana semua hal yang mendukung pada pertumbuhan ekonomi nasional harus dibahas dalam satu paket dan tidak dapat dipisahkan,” papar Arif.
Arif menjelaskan, Indonesia memiliki cukup banyak regulasi ketenagakerjaan. Tapi terbukti tidak efisien dan cenderung tumpang tindih.
Makin menyulitkan karena adanya inkonsistensi dan tiap regulasi mewakili kepentingan ekonomi masing-masing yang saling tarik menarik.
#GOOGLE_ADS#
‘’Hingga hasilnya bukan memudahkan, tapi malah memberatkan. Artinya, regulasi justru cenderung menjadi hambatan. Paling umum untuk melakukan kegiatan wirausaha secara bebas dan investasi. Regulasi yang ruwet juga dapat meningkatkan biaya produksi, serta dapat menghambat wirausahawan untuk berhasil di pasar,” ungkap Arif.
Lalu darimana reformasi regulasi ekosistem ketenagakerjaan dimulai? Arif melihat RUU) Ciptaker adalah peluang bagi reformasi terhadap berbagai regulasi yang ada.
Namun ia mengingatkan, reformasi regulasi harus bersifat komprehensif dan tidak berpihak pada kepentingan salah satu pihak.
‘’Prinsip utamanya kepentingan nasional, atau kepentingan yang lebih luas. Bukan kepentingan satu pihak tertentu,’’ tegasnya.
Arif menyayangkan opini yang mengemuka saat ini bahwa RUU Ciptaker merupakan reformasi regulasi partisan untuk mengedepankan kepentingan kelompok tertentu.
Anggapan yang menggeneralisasi ini kemudian menimbulkan resistensi terhadap RUU.
“Persepsi diametrik antara buruh dan pengusaha misalnya, harus diperjelas. Lebih bijak, kita mengedepankan kepentingan lebih luas dengan cara duduk bersama. Kedua belah pihak dipersilakan melakukan penawaran-penawaran terbuka dalam mekanisme negosiasi yang fair. Sehingga lahir sebuah RUU Ciptaker yang dapat diterima oleh mayoritas,” sambung Arif.
Sebagai homo economicus, kata Arif, pengusaha dan buruh sudah seharusnya menciptakan simbiosis mutualistis. Mereka sama-sama ingin menghasilkan keuntungan maksimum dalam pertukarannya.
‘’Pengusaha, demi keuntungannya, ingin harga jasa pekerja murah, sementara pekerja menginginkan upah yang tinggi atas jasa yang mereka berikan. Kesannya berseberangan, tetapi akan selalu ada titik temu yang bisa dicapai sehingga lahir regulasi yang dapat diterima kedua belah pihak,’’ tuturnya.
Sebagai sebuah regulasi ekosistem ketenagakerjaan, Indeks berkesimpulan semua klaster dalam RUU ini sama pentingnya untuk dibahas dan diselesaikan dalam satu paket.
Menunda atau bahkan meninggalkan salah satu klaster akan menjadikan regulasi ekosistem ketenagakerjan pincang.
“Dalam riset kami berkesimpulan bahwa seluruh klaster dalam RUU Ciptaker, termasuk klaster ketenagakerjaan harus tetap dilanjutkan pembahasannya dengan penguatan pada visi kebebasan ketenagakerjaan dan penciptaan iklim mutualistis diantara seluruh stakeholder yang terlibat,” pungkas Arif. (RAZ/RAC)