TANGERANGNEWS.com-Endang Suhendar, 41, warga Kampung Jayanti Dukuh, RT 10/03, Desa Cikande, Kecamatan Jayanti, Kabupaten Tangerang melayangkan sejumlah tuntutan kepada Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Balaraja setelah mengetahui hasil tes swab istrinya, Ade Margani, 39, negatif terjangkit virus Corona.
Ade meninggal dunia di ruang isolasi pasien COVID-19 dengan status pasien dalam pengawasan (PDP) pada Senin, 1 Juni 2020 sekitar pukul 15.00 WIB.
Tuntutan itu karena Endang sedari awal menyakini, bahwa kematian istrinya bukan dipicu karena COVID-19, namun karena pembengkakan jantung yang diderita sejak usai melahirkan anak ketiga mereka yang kini berusia 1,5 tahun.
"Tuntutan saya dan keluarga yang paling utama adalah jenazah istri saya segera dipindahkan makamnya ke pemakaman keluarga di Jayanti," ungkap Endang kepada awak media di kediamannya, Senin (8/6/2020).
#GOOGLE_ADS#
Sebelumnya, korban telah dimakamkan dengan protokol COVID-19 di TPU khusus korban positif dan PDP COVID-19 di Desa Buniayu, Kecamatan Sukamulya, Kabupaten Tangerang pada Selasa (2/6/2020).
Status PDP yang dilekatkan pada istrinya juga berdampak pada tekanan psikologis, karena ia dan keluarganya nyaris dikucilkan oleh masyarakat sekitar lingkungan tempat tinggalnya.
"Bahkan, hanya ada beberapa orang yang datang melayat, juga tahlilan," katanya.
Mereka yang tetap bertazkiah adalah yang persis mengetahui penyakit yang diderita istrinya, yaitu pembengkakan jantung yang diderita sejak sekitar Desember 2018.
Korban sebelumnya pernah dirawat di RS Pasar Rebo, Jakarta selama tujuh hari dengan hasil diagnosa medis yaitu pembengkakan jantung.
"Istri saya juga pernah dirawat di RS Bina Waluyo, rumah sakit jantung, selama tiga hari. Diagnosa dokter juga pembengkakan jantung," tambahnya.
Bahkan, dengan diagnosa yang sama, korban juga pernah dirawat di RS Polri Kramat Jati, Jakarta dan RS Ciputra Hospital, Panongan, Kabupaten Tangerang.
"Awalnya memang rencana istri saya itu mau dibawa ke Ciputra Hospital, tapi karena kondisinya saya lihat semakin enggak stabil, akhirnya memilih yang terdekat, ke RSUD Balaraja," terangnya.
Endang mengakui, saat diperiksa di UGD RSUD Balaraja, selain sesak nafas, korban juga suhu tubuhnya mencapai 40 derajat celcius. Bahkan, puteri keduanya, yakni ZHS yang berusia 12 tahun, yang awalnya hanya akan diperiksa dengan rawat jalan, akhirnya turut diisolasi karena suhu tubuhnya 38 derajat celcius, juga disertai batuk.
Penetapan status PDP terhadap istri dan anaknya itu, juga setelah dilakukan uji laboratorium sampel darah serta rontgen paru-paru.
"Jadi, dari hasil rontgen paru-paru, ada bercak-bercak, itu yang diindikasikan (terjangkit) COVID-19. Kemudian istri dan anak saya dimasukkan di ruang isolasi khusus (pasien COVID-19)," katanya.
Komunikasi Endang dengan putrinya pun kemudian hanya bisa dilakukan melalui smartphone yang pada Senin (1/6/2020), sekitar pukul 14.30 WIB, mengabarkan bahwa korban muntah-muntah. Anaknya pun sempat meminta pertolongan tim medis, namun terkendala karena ruangan isolasi itu terkunci.
Panik mendapatkan kabar kondisi istrinya, Endang yang saat itu berada di RSUD Balaraja segera bergegas menuju ruang jaga paramedis dan mengabarkan bahwa istrinya dalam kondisi kritis. Setelah memeriksa di layar monitor rekaman CCTV di ruang isolasi, paramedis itu segera mengenakan alat pelindung diri.
"Perawat itu langsung pakai baju APD dan telepon dokternya. Perawat masuk duluan (ke ruang isolasi), lalu dokternya," ucapnya.
Setelah sekitar 10 menit dilakukan pemeriksaan, dokter tersebut menyatakan bahwa korban telah meninggal dunia. "Penjelasan dari dokter, almarhumah istri saya terindikasi COVID-19, harus dimakamkan dengan protokol COVID-19," katanya.
Endang pun kemudian berusaha menjelaskan keyaninannya bahwa istrinya menderita pembengkakan jantung. Namun, adanya bercak-bercak pada hasil rontgen paru-paru korban kemudian yang menjadi argumen pihak rumah sakit bahwa korban adalah PDP COVID-19.
Proses negosiasi Endang dengan pihak RSUD Balaraja pun berlangsung alot. Baru pada Selasa (2/6/2020) sekitar pukul 02.00 dini hari, ia setelah berkonsultasi dengan pihak keluarga memutuskan untuk menyetujui bahwa istrinya dimakamkan dengan protokol COVID-19.
Sementara, ZHS, puteri Endang yang sempat juga diisolasi, diperkenankan pulang dengan tetap harus melakukan isolasi mandiri selama 14 hari. Setelah tiga hari berlalu setelah diambil spesimen, tepatnya 4 Juni 2020, tes swab korban dan puterinya keluar dengan hasil menyatakan negatif COVID-19.
"Saya oleh pihak rumah sakit ditawari dua opsi, puteri saya ini tetap dirawat atau dibawa pulang dengan harus karantina mandiri selama 14 hari. Saya memilih membawanya pulang," katanya.
Rencananya, Endang yang didampingi Lembaga Swadaya Masyarakat Gerakan Reformasi Masyarakat Banten Indonesia (LSM Geram) akan beraudiensi dengan pihak RSUD Balaraja besok, Selasa (9/6/2020).
"Kami sudah melayangkan suratnya, tadi sudah dapat kabar bahwa audiensinya besok, di RSUD Balaraja," ungkap Alamsyah, Ketua Umum LSM Geram.
Bahkan, kata dia, tidak menutup kemungkinan pihaknya akan menempuh jalur hukum. "Kami akan melapor ke Polda Banten," pungkasnya.(RMI/HRU)