TANGERANGNEWS.com-Orang-orang yang yakin pada Rabb-Nya selalu merasa cukup atas nikmat yang telah diterimanya. Bersyukur dan selalu berterimakasih tak terhingga, karena nikmat terbesar bagi mereka adalah iman & Islam.
Iman adalah yakin tanpa ragu sedikitpun. Karena iman, mereka tak pernah sedikitpun terusik oleh perut yang lapar, karena cukup Allah yang dibutuhkannya. Sementara, Allah akan mengeyangkan perut mereka dengan nikmat rejeki yang halal, juga berkah.
Ingin seperti mereka?
Mulailah dengan doa. Doa memohon ampunan, doa memohon hidayah, serta doa memohon salat yang khusyu. Itu tiga doa terdahsyat yang akan mengguncang serta perlahan-lahan mengusir syetan di dalam hati kita!
Diceritakan oleh seorang sahabat yang telah mendapatkan hidayah :
"COVID-19 sungguh adalah peringatan bagi umat Islam, agar segera mempersiapkan diri untuk pulang ke akhirat. Karena, selama ini kita lalai dan selalu hanyut dalam urusan dunia, sehingga selalu menganggap kematian adalah hal yang tak perlu serius dipikirkan. Bahkan menganggap bahwa jatah usia kita masih panjang. Jadi, nanti saja taubatnya kalau sudah jelang ajal. Itu juga yang selama ini ada dibenakku," ujarnya saat kami menikmati suasana hening dipelataran masjid jelang waktu Dzuhur.
"Namun, begitu aku menyaksikan begitu banyak kematian akibat wabah ini. Aku berfikir, aku juga bisa jadi satu yang akan segera menyusul. Sebab, virus Corona ini layaknya perpanjangan tangan malaikat maut, yang siap mencabut nyawa siapapun tanpa kompromi. Terlebih, aku yang harus selalu keluar rumah demi liputan. Aku tertegun, dan terus dihantui kematian," sambungnya, sambil menghela napas panjang.
"Bukan kematian yang aku takutkan, bukan! Aku sering menyaksikan dengan kedua mataku sendiri orang meregang nyawa karena kecelakaan lalu lintas. Bahkan, aku merekamnya, dan menuliskannya. Namun, tak sedikitpun hatiku merasa takut atau gentar. Tapi, ketika aku bertanya pada diriku sendiri, kenapa sampai di usia 40 tahun ini, aku belum juga merasakan ketentraman hati. Aku selalu gelisah. Fokusku mudah buyar, kesulitan hidup datang silih berganti, sehingga kadang aku merasa seperti sudah di neraka, meski masih hidup di dunia," matanya mulai berkaca-kaca.
"Lalu, aku terus bertanya, apa yang sebenarnya terjadi pada diriku. Sampai di satu titik, aku yakin penyebab semua itu adalah dosa-dosa besarku. Dosa yang selama ini aku anggap hal biasa. Dosa yang aku sadari, namun terus aku ulangi lakukan, meski setelah itu hatiku terasa tak tenang. Hidupku semakin suram, emosiku labil, rejeki seret, bahkan aku kadang nyaris merasa putus asa," kali ini, ia tak lagi sanggup membendung air matanya.
Aku tak berani berkata-kata. Aku biarkan ia melepaskan air matanya. Ia tertunduk dan suara isak tangisnya terdengar coba ia tahan.
Aku tertegun, hatiku pun mulai merasa perih bahkan sesak. Ada yang mulai mendesak bola mataku, hawanya panas. Pandanganku mulai kabur, dan perlahan terasa tetesan air hangat di pipiku. Aku turut menangis.
"Tahu kah kau sobat," terdengar suaranya parau. Aku menoleh ke arahnya, mencoba memeriksa raut wajahnya. Aku seakan melihat kilatan cahaya. Wajah itu begitu tenang.
Aku menggelengkan kepala.
Aku menyaksikan ia menghela nafas. Begitu berat. Sampai dadanya terlihat turun naik seperti penderita asma yang tengah kumat.
Setelah kembali bisa menguasai dirinya. Sobatku itu kembali bersuara.
"20 tahun aku abaikan Allah, bahkan aku salah satu yang sempat mengingkari ayat-ayatNya. Karena aku lebih mengimani sains, karena aku lebih mengimani pikiran-pikiran filsuf," ujarnya.
"Bahkan, karena keingkaran aku itu, meski bacaanku terkait agama, hatiku tak sedikitpun merasakan getaran iman. Justru, aku hanya jadikan sebagai hiasan intelektual semata, agar aku dianggap hebat, Astagfirullah. Hingga akhirnya, meski memiliki wawasan cukup luas, ternyata perilaku tetap barbar. Hidupku berkubang dengan maksiat yang semkin membuat aku tak pernah nyaman dan tentram. Semua nyaris hancur, termasuk karir dan rumah tanggaku," sambungnya.
Suasana hening. Tak ada suara yang keluar dari mulut kami. Aku pun merasakan hatiku mulai bergemuruh. Seperti suara ombak yang sesekali menghantam karam. Aku berusaha mengendalikan diri, namun tubuhku terasa bergetar dan mulai lemas. Nafasku mulai terasa sesak, keringat dingin membasahi tubuhku. Angin sepoi-sepoi di pelataran masjid itu, seperti jarum yang menusuk-nusuk kulit ariku.
"Kamu sakit, bro?" tanyanya yang aku jawab dengan gelengan kepala.
Ia menepuk pundakku. Seketika aku kaget, dan mulai berusaha menguasai kesadaranku lagi.
Setelah menghela nafas cukup dalam beberapa kali. Aku merasa keseimbangan tubuhku kembali.
Kedua bola mataku menoleh ke arahnya. Kembali aku menyaksikan wajah yang tenang. Seseorang yang berbeda dari yang ku kenal selama ini. Dulu, bola matanya tampak selalu menyala karena amarah.
#GOOGLE_ADS#
"Apa pemicu titik balikmu?" tanyaku.
Dengan senyum tersungging di bibirnya. Ia kembali menepuk pundakku.
"Aku menguji kebenaran firman Allah, bro. Karena aku selalu menuntut bukti kebenaran, maka aku melakukan eksperimen kecil-kecilan," sahutnya.
"Apa eksperimenmu?" tanyaku cepat saking penasarannya.
"Karena aku belum tergerak untuk salat, aku memilih sedekah. Konon, sedekah akan melapangkan rejeki. Aku uji kebenaran itu, bro. Terlebih di saat sulit begini, orang-orang juga pada stres karena sulit cari uang. Nah, ini kesempatan aku menguji kebenaran itu, di saat-saat justru kita sedang kesulitan begini," terangnya.
"Setiap hari aku sedekah. Tekadku setiap hari aku harus mencari uang demi sedekah. Bahkan, aku kadang menyisakan sedikit saja untuk keperluanku. Kadang, semua aku sedekahkan, sampai aku benar-benar tidak pegang uang," sambungnya.
"Apa yang kamu rasakan setelah melakukan itu?" desakku yang semakin penasaran.
Ia kembali tersenyum lebar. Tampak kepuasan batin terlukis di wajahnya.
"Hatiku mulai terasa tenang. Aku justru merasa gelisah kalau enggak sedekah. Perlahan-lahan, aku mulai merasa suara azan itu begitu merdu. Lalu, aku mulai menikmati murotal Al Qur'an. Kegemaranku pada musik mulai teralihkan. Setiap buka YouTobe, aku menyimak murotal. Lalu, perlahan-lahan aku sangat menikmati tausiyah agama," bebernya.
"Berapa banyak yang kamu sedekahkan setiap harinya?" tanyaku lagi.
Ia meraih dompetnya, lalu mengeluarkan kartu ATM, serta menunjukkan isi dompetnya.
Aku melihat hanya ada selembar uang di dompet tersebut. Berwarna hijau, senilai Rp50 ribu.
"Ini target minimalku setiap hari," ia mengeluarkan uang tersebut dari dalam dompetnya.
"Lalu saldo di dalam kartu ATM ini," kata dia sambil mengeluarkan sebuah kartu ATM sebuah bank milik pemerintah, "Kadang sampai nol demi infak. Setiap bulan, aku harus berinfak demi membantu seorang sahabat yang tidak punya penghasilan sama sekali akibat COVID-19 ini," sambungnya.
"Masyaallah, sebegitunya kah? Berapa yang kamu infakkan untuk dia," tanyaku.
"Tidak besar, hanya cicilan mobil 3,6 juta, kosan 1,4 juta, serta arisan sekitar 2 juta," ucapnya dengan enteng.
"Hah, sebesar itu?" aku melongo. Karena setahuku, ia hanya punya motor butut, kok bisa-bisanya sampai mengeluarkan uang sebesar itu untuk memenuhi kebutuhan orang lain.
Syetan mulai terasa membelokkan pikiranku. Pasti seseorang yang ia infaqi itu perempuan cantik. Mana mungkin seorang laki-laki rela berkorban seperti itu kalau bukan kepada perempuan?. Ah, imanku yang seujung kuku ini memang belum mampu membentengi diri dari prasangka.
"Aku tahu apa yang kamu pikirkan," tiba-tiba suaranya terdengar saat aku hanyut dalam pikiranku.
Aku tersenyum dan tertunduk tak sanggup menatap kedua bola matanya.
"Kamu benar, ia perempuan. Tapi biar ku jelaskan. Justru ini mukjizat yang membuat aku semakin yakin pada kuasa sang Khalik," suaranya terdengar begitu lembut, sehingga aku berani kembali menatap wajahnya. Rupanya ia tengah tersenyum lebar sambil menatap pohon mangga di pelataran masjid.
"Kalau kita hanya sedekah dan berinfak ke masjid, anak yatim, dan fakir miskin, kadang kita secara tidak langsung tergoda sikap jumawa. Mampu mengeluarkan uang demi membantu mereka yang lemah. Syetan sangat dahsyat menggoda kita untuk melampaui kuasa sang Khalik. Kita kerap merasa menjadi pahlawan, dan berhitung dengan kalkulasi ekonomi, berapa pahala dan berapa balasan yang akan diterima. Kamu sebagai sesama penikmat filsafat, tentu pernah membaca gugatan Derida soal Ikhlas. Derida menggugat motif tindakan derma yang dinilainya terselip motif ekonomi," terangnya. Aku ternganga, sangat sadar jika selama ini, motif itu memang sebagian besar menguasaiku saat bersedekah.
#GOOGLE_ADS#
"Makanya, aku perlu melakukan lebih dari itu. Dan aku tidak bisa diam ketika ada sahabatku, kebetulan ia satu-satunya yang berani mengungkapkan keluh kesahnya padaku. Kamu pasti berfikir aku punya motif lain? Ya, jujur aku jawab, awalnya begitu. Tapi, setelah aku mulai menikmati sedekah ini, justru aku bertawasul kepada sang Khalik, jika caraku ini dinilai amal, maka aku akan jadikan pembelaanku saat hisab kelak. Aku memohon dihitung sebagai bukti keseriusanku menggapai hidayah-Nya, dimana aku yang hidup masih serba kekurangan, mampu melakukan hal diluar nalar orang banyak. Sejak saat aku menyatakan hal itu kepada diriku, tak ada motif lain selain aku ingin semakin dekat dengan-Nya," bebernya
"Dan, tiket meraih iman itu tidak mudah bro. Tiba-tiba aku dipecat dari pekerjaan sampinganku yang selama ini aku jadikan sumber penghasilan utama. Aku sempat gamang, bahkan hampir menyerah dari eksperimenku. Namun, aku kembali mengeraskan tekad, justru aku ingin semakin bukti nyata dari faedah sedekah itu. Akhirnya, aku mulai solat bro. Aku mulai berani berdoa, meminta dan meratap agar aku mampu tetap bersedekah. Karena secara logika, aku pasti sulit melakukannya," sambungnya.
"Disinilah, mulai tumbuh iman, bro. Aku yang tidak punya penghasilan besar ini, ternyata mulai dicukupi kebutuhanku. Saat aku tak punya uang sepeserpun, hatiku tetap merasa tenang dan menyerahkan segalanya kepada sang Khalik. Lalu, tanpa diduga-duga, rejeki selalu ada untuk memenuhi kebutuhanku, meski kadang di detik-detik terakhir. Sehingga, aku tak perlu merasa khawatir lagi, aku yakin apapun yang aku butuhkan, catat ya, yang aku butuhkan, bukan yang aku inginkan, pasti dipenuhi oleh sang Khalik," bebernya lagi.
Aku tertegun. Aku mengamini tekanan kalimatnya. Selama ini, aku terlalu banyak keinginan hal-hal yang sifatnya material, dibanding sekedar memenuhi kebutuhan. Itulah awal sikap kikir dan meredupnya esensi kemanusiaan. Ah, begitu naifnya aku, dan betapa benarnya sobatku ini.
"Kalau benar mencari Tuhan, kamu juga Insyaallah akan bertemu dengan-Nya. Aku sudah yakin pada firman-firmanNya. Sekarang doaku hanya tiga, memohon ampunan, hidayah dan solat yang khusyu. Karena sisa usiaku, jika sesuai usia Nabi, hanya 23 tahun lagi. Nabi wafat diusia 63 tahun. Itulah target waktu maksimalku," ia tersenyum lagi.
Suara pengeras suara dari dalam masjid terdengar mengumandangkan panggilan salat.
Sobatku itu langsung refleks bangkit dan menarik tanganku.
"Ayo, kita ada dibarisan terdepan di belakang imam, sampai saat kita mampu benar-benar di belakang Rosulullah," serunya dengan nada tegas.
Aku tergopoh-gopoh menuju ruang wudhu dengan perasaan campur aduk sambil menjawab seruan Muazin: Hayya 'alash sholah.
Oleh : Mohamad Romli
Redaktur http://tangerangnews.com/