TangerangNews.com

Aturan Sertifikasi Halal dalam RUU Ciptaker Untungkan UMKM

Rangga Agung Zuliansyah | Kamis, 16 Juli 2020 | 15:59 | Dibaca : 230


Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (Lakpesdam-PBNU) Rumadi Ahmad. (@TangerangNews / Istimewa)


TANGERANGNEWS.com-Keberadaan aturan yang menjamin kehalalan produk-produk konsumsi telah menjadi kebutuhan. Apalagi di tengah meningkatnya kesadaran masyarakat muslim Indonesia terhadap produk halal.

Jika jaminan produk halal selaras dengan prinsip-prinsip keterbukaan ekonomi berasaskan kesukarelaan, perdagangan yang wajar (fair trade), dan partisipasi masyarakat, dampaknya akan positif bagi dunia bisnis. Sekaligus memberdayakan kelompok usaha, mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

Demikian dikatakan Direktur Utama Lembaga Pemeriksa Halal dan Kajian Halal Thoyyiban (LPH-KHT) PP Muhammadiyah, Nadratuzzaman Hosen kepada media di Tangerang Kamis (16/7/2020).

"Pintu masuk untuk memperbaiki berbagai kelemahan pengaturan jaminan produk halal dalam peraturan perundang-undangan sekarang ini adalah RUU Cipta Kerja (Ciptaker)," ujarnya.

Nadratuzzaman juga menyatakan jaminan produk halal tidak seharusnya membebani pelaku usaha.

‘’Cara agar tidak membebani, antara lain dengan mendistribusikan kewenangan sertfikasi halal dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) kepada berbagai organisasi masyarakat (Ormas) Islam yang kredibel dan berbasis komunitas,’’ katanya.

Keinginan agar BPJPH membatasi peran sebagai regulator juga disuarakan Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (Lakpesdam-PBNU) Rumadi Ahmad.

“UU JPH sekarang sebetulnya sudah membuka kesempatan bagi masyarakat untuk membuat Lembaga Pemeriksa Halal (LPH). Masalahnya, kewenangan menetapkan fatwa halal masih terpusat pada Majelis Ulama Indonesia (MUI), sementara MUI sendiri memiliki LPH,” kata Rumadi.

Perbaikan tata kelola dalam mekanisme penjaminan produk halal inilah alasan kenapa PBNU mendukung RUU Ciptaker.

Iqbal Hasanuddin, Direktur Eksekutif Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF) menegaskan, menggeser monopoli dari ormas tertentu ke negara hanyalah memindahkan pusat persoalan, yang lagi-lagi akan menimbulkan inefisiensi.

#GOOGLE_ADS#

Padahal, jaminan produk halal yang monopolistik ini sempat membuat Indonesia bersengketa dengan sejumlah negara di forum World Trade Organization (WTO), karena dianggap merusak fairness dalam perdagangan internasional.

"Karenanya, upaya untuk memberikan jaminan produk halal kepada masyarakat muslim tidak boleh sampai menghambat perkembangan bisnis, apalagi menyulitkan para pelaku UMKM," jelasnya.

Selain itu, diperkenankannya self-declaration atas jaminan kehalalan suatu produk akan sangat meringankan pelaku usaha.

Khususnya dari kelompok usaha mikro dan kecil, yang terbebani oleh sistem jaminan produk halal yang kompleks dan sentralistik seperti sekarang.

Ketiganya menilai, kewenangan menetapkan fatwa ini memang harus didesentralisasi. Tidak boleh ada favoritisme negara pada ormas tertentu, termasuk MUI.

Dengan cara ini, monopoli dalam penjaminan produk halal akan hilang, dan hal ini selaras dengan perspektif RUU Ciptaker yang menciptakan iklim yang kondusif bagi investasi dan bisnis.

Semakin tidak ada monopoli, semakin efisien mekanisme jaminan produk halal, sehingga baik masyarakat dan pelaku usaha diuntungkan dengan adanya lebih banyak pilihan.

Dibandingkan model yang berlaku sekarang, aturan jaminan produk halal dalam RUU Ciptaker jauh lebih baik dalam mengakomodasi dua kepentingan sekaligus, yakni kepentingan umat Islam.

"Sehingga masyarakat bisa mengkonsumsi produk-produk yang terjamin kehalalannya. Selain itu, juga mengakomodir pelaku usaha untuk memenangkan pasar konsumen muslim tanpa dibebani aturan yang kompleks dan tidak efisien," jelas Iqbal. (RAZ/RAC)