TangerangNews.com
Airin dan Oligarki Kekuasaan
| Minggu, 29 Agustus 2010 | 10:30 | Dibaca : 82028
Anto Ryan (tangerangnews / dira)
Penulis : Rudy Gani
Aktivis HMI Badko Jabotebeka Banten
TANGERANGNEWS-Politik selalu menghadirkan kejutan. Setidaknya, itulah yang terjadi dalam Pilkada kota Tangerang Selatan (Tangsel) yang rencananya akan diselenggarakan akhir tahun ini. Beberapa pasang kandidat sudah dipastikan maju, baik melalui partai maupun independen. Airin berpasangan dengan Benyamin Davnie, Arsid berpasangan dengan Andre Taulany, Yayat Sudrajat berpasangan dengan Norodom dan terakhir Rhodiyah bersama Sulaeman Yasin. Sebelumnya, pasangan Ahmad Suwandhi-Marissa, dinyatakan gugur. Inilah kejutan yang dimaksud. Namun, tulisan ini tidak akan membahas hal tersebut. Tulisan ini bertujuan untuk membahas peluang Airin. Mengapa Airin? Karena bisa saja Airin menimbulkan berbagai kejutan pada pilkada nanti?benarkah?
Hampir seluruh partai yang memiliki kursi di DPRD Kota Tangsel mendukung Airin, walaupun hal itu belum tentu menjamin kemenangan. Banyak pihak yang menduga bahwa dukungan tersebut murni karena ada transaksi uang, proyek dan anggaran di belakangnya. Bukan berdasarkan aspirasi masyarakat dan skill yang dimiliki Airin. Inilah fakta yang tidak bisa dihindari Airin dan timnya. Biar bagaimanapun citra dan survey itu dipoles, masyarakat tetap mengetahui bahwa dukungan partai kepada Airin murni karena Airin mampu mencukupi ‘gizi’ para elit parpol tersebut. Bukan karena Airin mampu dan berpengalaman.
Very Mukhlis Arifuzzaman, salah seorang tim sukses Airin-Benyamin, mengungkapkan kegembiraannya. Pasalnya, dia menduga jika Airin akan melanggeng bebas sebagai kandidat. Karena itu, dia khawatir Pilkada Kota Tangsel akan ditunda karena tidak ada lawan bagi Airin. Terkesan, apa yang disampaikan Very sungguh arogan. Sebagai salah satu tim Airin, harusnya dia memahami bahwa politik adalah segala kemungkinan. Bisa saja apa yang dipikirkan oleh tim Airin, dapat berbalik seratus persen. Airin yang sudah dijagokan menang, ternyata takluk oleh suara-suara kebenaran yang menolak politik dinasti dimana Airin sebagai representasinya pada pilkada nanti.
Lalu, bagaimana dengan peluang Airin-Ben sebagai sepasang kandidat yang akan berjuang? Tentu masih besar. Walaupun berbagai survey telah dikeluarkan,nama Airin cukup tinggi. Namun, bukan berarti lembaga survey juga murni alias independen. Selalu ada ‘pihak pendonor’ yang memberikan biaya ketika sebuah lembaga survey bekerja, terutama untuk membuat senyum calon kandidat yang membayarnya.
Bisa saja berbagai survey yang memenangkan Airin, betul-betul ‘murni’ untuk memenangkan Airin alias survey bayaran. Akhirnya, berbagai survey tersebut tidak lebih sebagai upaya propaganda yang sesat dan menyesatkan publik. Tujuan daripada survey tersebut dapat dilihat dalam tiga kondisi, pertama, membuat ilusi seolah Airin akan menang karena penduduk Tangsel mendukungnya.Kedua, upaya untuk mendorong opini publik agar Airin dianggap sebagai pemimpin yang paling pas di Tangsel.
Sayangnya, berbagai opini tersebut tidak disertai fakta dan data. Hanya ungkapan ‘ngawur’ mirip obrolan warung kopi. Ketiga, sebagai upaya memanfaatkan celah UU yang belum mengatur survey dan iklan politik. Masyarakat tentu saja belum bisa membedakan mana iklan dan mana berita. Mana fakta dan mana yang sekedar ‘omong kosong’. Singkatnya, komunikasi politik yang dibangun Airin dan timnya hanya disandarkan pada kamuflase sebuah fakta ketimbang realitanya.
Karena itu, ibarat menikah, sepasang pengantin harus benar dalam menentukan pilihannya. Calon pengantin tersebut harus mengetahui dengan pasti bibit,bebet dan bobot dari pasangannya. Masyarakat Tangsel yang kebanyakan berada dalam golongan ekonomi ke bawah, rentan dimanipulasi suaranya oleh oknum pemerkosa hak rakyat tersebut. Ibarat pengantin, masyarakat Tangsel bagaikan ‘lelaki tampan’ yang ditaksir Airin untuk dipinangnya.
Maka dari itu, perlu upaya yang cerdas untuk melihat sosok Airin-Ben lengkap dengan tim disekelilingnya agar Kota yang kita cintai ini tidak jatuh ke dalam lubang hitam selama lima tahun mendatang. Masyarakat menengah ke atas harus bahu membahu membangun gerakan kesadaran untuk tidak memilih pemimpin yang ambisius seraya tetap menjaga keutuhan sebagai warga Kota Tangsel. Sharing informasi sebagai salah satu cara dapat menjadi upaya agar demokrasi Tangsel berkualitas.
Sebab, kita tidak membutuhkan pemimpin yang membesarkan jaringan keluarga dan kelompoknya saja. Kita membutuhkan pemimpin yang benar-benar mencintai rakyat Tangsel melalui sifat demokaratis dan welas asih, dengan saling mengasah, mengasuh dan mengasihi. Bukan sebaliknya. Membunuh rakyatnya dengan rakus dan kejam melalui beragam kebijakan yang menyengsarakan. Akhir kata, sudah banyak daerah di Indonesia dan Banten khususnya, yang pemimpinnya gagal mensejahterakan rakyat karena mengutamakan kepentingan keluarga dan kelompoknya. Maka dari itu, memilih dengan cerdas calon pemimpin Tangsel dalam pilkada nanti, adalah ikhtiar kita untuk mencegah Tangsel terjebak dalam oligarki keluarga dan tirani penguasa. Mampukah? (*)