TangerangNews.com

Meneropong Kasus Bunuh Diri Sebagai Dampak COVID-19 dari Lensa Sosiologis

Redaksi | Kamis, 18 Februari 2021 | 11:14 | Dibaca : 1829


Dr. Edi Purwanto, SE., MM., MMis., Kepala LPPM Universitas Pembangunan Jaya Tangsel. (@TangerangNews / Istimewa)


Oleh: Dr. Edi Purwanto, SE., MM., MMis., Kepala LPPM Universitas Pembangunan Jaya Tangsel

TANGERANGNEWS.com-Jumlah orang bunuh diri akibat pandemi meningkat di Jepang. Menurut Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan Jepang terdapat 20.919 orang meninggal karena bunuh diri pada tahun 2020 (CNBC Indonesia, 22/1/2021).

Michiko Ueda, profesor dari Universitas Waseda mengatakan bahwa Virus Corona merupakan faktor utama penyebab meningkatnya angka bunuh diri.

Dari Jepang menuju Amerika. Viva Militer (3/10/2020) menulis bawah 114 tentara Amerika melakukan bunuh diri akibat stress karena COVID-19.

Kemudian menuju ke India dilaporkan juga banyak orang melakukan bunuh diri sebagai dampak dari pandemi COVID-19. Akhirnya, walaupun tidak besar dibandingkan dengan negara-negara tersebut sejumlah berita tentang bunuh diri yang diduga akibat COVID-19 juga dilaporkan terjadi di Indonesia.

CNN Indonesia (9/9/2020) melaporkan pasien Corona bunuh diri dengan cara melompat dari RS Wisma Atlit Jakarta.

Suara Jakarta (4/9/2020) melaporkan akibat stres, pasien COVID-19 bunuh diri dengan melompat dari jendela kamar inap di lantai 13 RS Universitas Indonesia, Depok.

Detik News (20/11/2020) melaporkan ada seorang ibu rumah tangga di Tangerang  bunuh diri diduga setelah dinyatakan positif COVID-19.

Tentu masih ada beberapa berita yang lain terkait bunuh diri sebagai dampak pandemi COVID-19 di sejumlah tempat.

Bunuh diri sebagai dampak COVID-19 bersifat global dan tentunya harus ada sejumlah usaha untuk menghentikannya.

Walaupun kasus di Indonesia yang telah terpublikasi terbilang kecil dibandingkan misalnya kasus di Jepang, namun tetap saja harus ada pencegahan agar tidak meningkat.

Mengetahui problem tentang bagaimana COVID-19 berdampak pada tindakan bunuh adalah langkah awal untuk mencegah naiknya kasus tersebut.

Dr. Avanish Bhai Patel dan Dr. Sumant Kumar dari Alliance University, Bengaluru melakukan riset terkait kasus bunuh diri di India sebagai dampak dari COVID-19.

Mereka menggunakan teori bunuh diri yang dipopulerkan oleh Emile Durkheim tentang bunuh diri untuk menjadi pisau pembedahnya.

Emile Durkheim mempopulerkan teori empat jenis bunuh diri. Pertama, bunuh diri egoistis dilakukan seseorang yang tidak mampu mengintegrasikan dirinya dengan masyarakat sebagai unit sosial yang lebih luas. Rendahnya integrasi menjadi penyebabnya.

Kedua, bunuh diri altruistis yang merupakan kebalikan dari jenis pertama. Justru karena integrasi sosial seseorang sangat kuat dengan kelompoknya, ia rela mati demi membela kehormatan kelompoknya. Jadi tingginya integrasi yang menjadi penyebabnya.

Ketiga, bunuh diri anomik. Jenis ini disebabkan oleh rendahnya regulasi dalam masyarakat sehingga menyebabkan kekacauan dan ketidakpastian hukum. 

Keempat, bunuh diri fatalistis kebalikan dari jenis ketiga, yaitu bahwa bunuh diri disebabkan oleh karena tingginya regulasi sehingga individu tidak lagi tahan dengan tekanan dari regulasi dan disiplin yang diterapkan dalam masyarakat.

Faktor Penyebab Bunuh Diri

Hasil riset Dr. Patel dan Dr. Kumar yang telah dipublikasikan pada jurnal Mental Health and Social Inclusion dengan judul “A sociological study of suicide during COVID-19 in India” melaporkan bahwa 122 kasus bunuh diri sebagai dampak dari COVID-19 di India disebabkan oleh: 12,3 % karena positif COVID-19, 20,49 % karena takut terinfeksi COVID-19, 15,57 % karena isolasi dan karantina, 10,66% karena terpaksa migrasi sebagai dampak COVID-19, 18,85% krisis ekonomi di masa COVID-19, 8,2% stres kerja karena COVID-19, dan 13,93 % karena masalah pribadi dan keluarga.

Bunuh Diri Egoistis

Dr. Patel dan Dr. Kumar melaporkan bahwa 36 orang atau 29,51% dari 122 kasus bunuh diri di India sebagai bentuk bunuh diri egoistik. Dua faktor utama dari bunuh diri egoisitik ini disebabkan oleh karena mereka tidak tahan hidup dalam isolasi selama menjalani karantina dan karena masalah keluarga.

Mereka yang terinfeksi dan menjalani karantina takut dipandang sebagai aib bagi keluarga dan mengalami penolakan dari masyarakat. Ia takut bahwa setelah keluar dari karantina, ia akan ditolak oleh masyarakat dan bahkan menjadi aib keluarganya. Hal itu menyebabkan stres yang mendorong mereka memutuskan untuk mengakhiri hidupnya sendiri.

Riset mereka dilakukan antara bulan Maret hingga Juli 2020 untuk pengumpulan datanya. Sosialisasi dan edukasi bahwa positif Covid bukan aib masih minim. Pada bulan-bulan tersebut di Indonesia juga terjadi penolakan masyarakat terhadap pasien Covid dan keluarganya.

Bahkan juga ada penolakan warga terhadap tenaga medis di RS yang melayani penderita Covid yang tinggal di lingkungan mereka. Namun dengan semakin teredukasinya masyarakat untuk menerima bahwa positif Covid bukanlah aib dan pasien yang telah dinyatakan negatif setelah menjalani isolasi atau karantina dapat kembali ke masyarakat tanpa perlu kuatir masih akan menularkan Covid.

#GOOGLE_ADS#

Bunuh Diri Altruistis

Kemudian Dr. Patel dan Dr. Kumar melaporkan bahwa 40 orang atau 32,79% dari 122 kasus bunuh diri di India sebagai bentuk bunuh diri altruistik. Ada sejumlah kasus pasien yang terinfeksi COVID-19 di India melakukan bunuh diri karena ia takut jika kembali ke rumah akan menyebabkan anggota keluarganya tertular. Ia berpikir bahwa demi menyelamatkan anggota keluarganya, ia harus mengakhiri hidupnya sendiri. 

Semakin teredukasinya masyarakat diharapkan bagi mereka yang diduga maupun positif COVID-19 untuk menyadari bahwa dengan menjalani isolasi atau karantina, serta perawatan COVID-19 dan dinyatakan negatif setelah itu, maka keberadaannya tidak lagi membahayakan keluarganya. Sehingga tidak perlu harus mengakhiri hidupnya sendiri karena takut menularkan COVID-19 kepada anggota keluarganya.

Bunuh Diri Anomik

Akhirnya, Dr. Patel dan Dr. Kumar melaporkan bahwa 46 orang atau 37,70% dari 122 kasus bunuh diri di India sebagai bentuk bunuh diri anomik. Pandemik yang terjadi secara tiba-tiba dan tak terduga telah mengubah banyak hal dalam masyarakat dan ekonomi menyebabkan kekacauan di dalam kehidupan masyarakat.

Pembatasan atau lockdown telah menciptakan dampak negatif dengan banyaknya orang kehilangan pekerjaan, pemotongan upah kerja sehingga masyarakat tidak dapat memenuhi kebutuhan mereka seperti sebelumnya. 

Hal tersebut menciptakan stres yang tinggi di antara mereka yang merasakan dampak tersebut dan berdampak pada meningkatnya angka bunuh diri.

Pembatasan sosial juga merusak solidaritas dalam masyarakat yang secara organik telah mengakar dalam kehidupan masyarakat kolektivistik.

Di batasinya tempat-tempat berkumpul seperti pasar, supermarket, tempat-tempat ibadah dan tempat-tempat wisata menyebabkan kehidupan sosial terganggu dan meningkatkan stres yang pada akhirnya menjadi penyebab angka bunuh diri.

Bunuh Diri Fatalistis

Bunuh diri fatalistis tidak dibahas oleh Dr. Patel dan Dr. Kumar. Mungkin belum ada kasus ini pada saat riset dilakukan. Namun melihat sudah setahun pandemi berlangsung dan belum ada tanda-tanda berakhir, dan pemerintah di berbagai negara terus menerapkan pembatasan sosial bisa menyebabkan orang-orang tertentu tidak tahan lagi dengan berbagai aturan yang diterapkan.

Ditambah lagi banyaknya hoaks yang mengatakan pandemi sebagai teori konspirasi, hoaks tentang vaksin dan sebagainya dapat menyebabkan stres tinggi sebagai dampak dari berbagai aturan regulasi terkait COVID-19. 

Saran Pencegahan

Untuk mencegah terjadinya bunuh diri egoistis dan altruistis, Dr. Patel dan Dr. Kumar menyarankan agar layanan bantuan terkait Kesehatan mental harus dimulai di setiap pusat layanan Kesehatan di setiap distrik.

Mereka juga menyarankan agar sejumlah psikiater ditugaskan untuk memberikan konseling kepada orang-orang yang terinfeksi COVID-19 dan yang sedang menjalani isolasi atau dikarantina.

Edukasi tentang bagaimana keadaan pasien paska menjalani karantina dan telah dinyatakan negatif atau sembuah sangat diperlukan.

Bantuan kepada mereka yang kehilangan pekerjaan atau pemotongan upah kerja akibat pandemi dan pembatasan sosial sangat disarankan untuk mencegah terjadinya stres dan bahkan bunuh diri anomik.

Penting juga dilakukan penanaman kesadaran bahwa dinamika perubahan dalam kehidupan akan terus berlangsung dalam hidup dan kenyataan bahwa Tuhan melengkapi mahkluk ciptaan-Nya dengan kemampuan untuk beradaptasi dan bertahan di tengah perubahan. 

Pengkomunikasian regulasi terkait COVID-19 perlu dilakukan dengan bijak dengan mempertimbangkan kondisi psikis masyarakat di tengah berbagai tekanan.

Edukasi kepada masyarakat untuk mengandalkan sumber-sumber berita terpercaya juga perlu diberikan. Sangat diharapkan kasus bunuh diri fatalistis tidak terjadi. (RAZ/RAC)