TangerangNews.com

Menuju Masyarakat Sehat Bebas Tuberculosis (TB)

Redaksi | Minggu, 18 April 2021 | 11:44 | Dibaca : 683


Dr. Anil Dawan Dosen Prodi Manajemen UPJ dan Aktivis Sosial Kemanusiaan WVI. (Istimewa / Istimewa)


(Dalam Rangka Peringatan Hari TB Sedunia)

Dr. Anil Dawan Dosen Prodi Manajemen UPJ dan Aktivis Sosial Kemanusiaan WVI

TANGERANGNEWS.com-Gelaran tanggal 24 Maret diperingati sebagai Hari Tuberculosis (TB) Sedunia  atau disingkat dengan (HTBS). Tanggal 24 Maret ditetapkan karena diambil dari waktu penemuan bakteri TB oleh Robert Koch. 

TB merupakan suatu penyakit yang berbahaya yang disebabkan karena bakteri menular yang berpotensi serius untuk mempengaruhi paru-paru. TB diperingati setiap tahun, untuk meningkatkan kesadaran dan kepedulian negara-negara di dunia untuk mengeliminasi TB. Indonesia sendiri merupakan negara dengan peringkat 3 (tiga) beban penyakit TB di dunia, dan target untuk dapat mengeliminasi TB di tahun 2030. Setidaknya terdapat lebih dari 150 ribu kasus penyakit TB yang ada di Indonesia setiap tahunnya. Tentunya jumlah tersebut merupakan jumlah fantastis sehingga dibutuhkan penanganan lebih lanjut.

Sehingga dengan peringatan hari TB ini diharapkan dapat meningkatkan peran serta masyarakat,  pemangku kebijakan, pemerintah dan swasta untuk dapat mendukung program pengendalian TB. Walaupun TB merupakan penyakit menular dan bisa menimbulkan kematian, tetapi dapat disembuhkan apabila penderitanya mau memeriksakan diri ke faskes (fasilitas kesehatan) dan berobat secara teratur sampai tuntas. Pengobatan TB cukup lama, antara kisaran waktu 6-8 bulan, sehingga dibutuhkan pendampingan dari orang-orang terdekat untuk memotivasi penderita minum obat teratur dan juga monitoring dari petugas kesehatan. 

#GOOGLE_ADS#

Salah satu penghalang terbesar sulitnya menyembuhkan TB adalah stigma masyarakat. 

Stigma adalah sebuah pikiran, pandangan, dan juga kepercayaan negatif yang didapatkan seseorang dari masyarakat ataupun juga lingkungannya. 

Stigma biasanya berupa labelling, stereotip, separation, serta diskriminasi sehingga hal tersebut dapat mempengaruhi diri seorang individu secara keseluruhan. 

Penderita TB juga mengalami masalah yang sama karena takut dikucilkan, mereka enggan memeriksakan diri, malah bersembunyi. 

Seolah-olah  kalau TB adalah suatu aib, beda dengan kalau disebut sakit paru-paru basah, flek paru, dan sebagainya. Jadi akhirnya malahan menjadi  sumber penularan di keluarga bahkan orang-orang terdekatnya. 

Menguak Penyebab

Berbagai faktor disinyalir menjadi penyebab TB. Memang penyakit tidak mengenal seberapa orang memiliki kepemilikan harta dan strata sosial. TB tidak diidap oleh segmen strata sosial tertentu, namun lebih pada faktor antara lain kondisi lingkungan rumah yang sempit, lembab, tanpa ventilasi dan cahaya matahari yang cukup masuk rumah. 

Rumah tinggal yang dihuni oleh banyak anggota keluarga merupakan potensi terbesar munculnya bakteri TB dan penyebarannya. Oleh karena itu, membangun lingkungan dan perilaku yang sehat merupakan bagian dari upaya preventif yang patut digaungkan kepada masyarakat. 

Faktor nutrisi  melalui intake makanan bergizi yg kurang, juga mempengaruhi beratnya penyakit dan tingkat kesembuhan TB. 

#GOOGLE_ADS#

Belum lagi perilaku hidup bersih yang kurang dijadikan pola hidup sehari-hari. 

Termasuk budaya merokok yg tidak mengenal usia, bahkan anak-anak SD (Sekolah Dasar) sudah mengenal rokok. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa merokok berhubungan dengan tuberkulosis. Risiko merokok memiliki resiko antara 2,3- 2,7 kali menderita tuberkulosis dibandingkan dengan yang tidak merokok. 

Hubungan ini bisa dijelaskan bahwa dengan racun yang terdapat dalam rokok merusak mekanisme pertahanan paru-paru. Dan acap kali ditemukan di keluarga miskin agak sulit untuk menerima nasehat atau arahan untuk tidak merokok. 

Dorongan dan motivasi dengan KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) merupakan upaya untuk terus membangun pemahaman masyarakat untuk berindak mencegah atau preventif daripada pengobatan atau kuratif.

Mental Sembuh dan Sehat

Di masyarakat kita Indonesia, entahkah di area rural maupun urban masih dijejali persepsi keliru bahwa kesembuhan dan kesehatan adalah sesuatu yang mahal dan sulit untuk dicapai. 

Pangkal masalahnya bukan pada biaya perawatan saat orang sakit harus dirawat, dan membutuhkan biaya yang banyak. Namun lebih karena kemiskinan mental, yang dipengaruhi oleh pola asuh sejak kanak-kanak. Ketakutan dan keengganan penderita TB untuk memeriksakan diri, adalah potret kemiskinan mental tersebut. Mereka diminimalkan perasaannya, sehingga tidak diijinkan untuk mengekspresikan dan membicarakan emosi dan kondisi sakit mereka. Padahal suatu kondisi sakit, bukankah perlu diberi ruang untuk menyampaikan sehingga bisa secepatnya bisa ditolong untuk dirawat dan diobati?

#GOOGLE_ADS#

Kondisi sakit akan menekan emosi, dan itu merupakan pergulatan batin yang berat. Namun proses pendampingan kepada pasien TB menuju kondisi yang sembuh dan sehat bertitik tolak dari kondisi sebenarnya. 

Hanya orang yang mengakui dirinya sakit, dialah yang membutuhkan dokter dan obat serta perawatan. 

Cara-cara penyembuhan penderita TB perlu ditransformasi dari perawatan kepada pemberdayaan. Pemberdayaan diri dan keluarga penderita adalah bentuk upaya nyata membuat mereka tidak bergantung pada orang lain sehingga merasa diri lebih baik dan mandiri. Membuat dorongan antusiasme dengan mengatakan “bahwa mencoba sembuh adalah awal baik membuat hidup lebih baik”. 

Diharapkan dengan upaya dan kampanye yang komprehensif dalam Hari TB sedunia, bersama semua pihak bisa menghapus stigma terhadap penderita TB dan menyembuhkan manusianya. (RED/RAC)