TangerangNews.com

Pilwalkot Cukup Satu Putaran

| Rabu, 20 Oktober 2010 | 10:24 | Dibaca : 41642


Anto Ryan (tangerangnews / dira)



 
          Tantangan besar bagi warga Tangsel di akhir tahun ini ialah, dapatkah kita semua melaksanakan pemilihan walikota dengan langsung, umum, bebas dan demokratis dalam sekali putaran?
 
          Mendekati pemilu November nanti, atmosfer politik masyarakat terkesan ‘panas’ dan mendebarkan. Apa sebab? Tentu saja karena rakyat sedang menanti pemimpin Tangsel untuk lima tahun kedepan. Persoalannya, dalam pilkada, huru hara politik kerap terjadi. Hal ini  lumrah mengingat bangsa kita baru bebas dari kekangan orde baru sehingga prilaku kita masih belum sempurna. Terutama dalam menghadapi hasil pilkada.
 
          Begitupun pada pilwalkot nanti. Kita berharap, pemilu dilaksanakan hanya satu putaran. Ini mengingat masih banyak hal yang perlu kita pikirkan. Pembangunan di kota pemekaran ini masih banyak yang harus dikerjakan. Salah satunya infrastruktur jalan dan tanggul yang rawan jebol. Selain infrastruktur, peningkatan kesejahteraan rakyat Tangsel seperti pendidikan, kesehatan dan gaji PNS yang masih memprihatinkan belum diprioritaskan.

Berbagai pembangunan itu, baik fisik dan mental (pendidikan) membutuhkan dana besar guna mendukungnya. Namun, karena pilwalkot, APBD Tangsel menjadi terbatas. Alih alih untuk pendidikan, gaji PNS saja masih tersendat karena keterbatasan anggaran. Jika APBD Tangsel yang berasal dari rakyat tersedot sekedar membiayai pilwalkot, berapa sisa APBD Tangsel untuk berbagai pos yang lebih penting itu?
 
          Maka, gagasan pemilu satu putaran mesti diwujudkan pada pilkada nanti. Agar, anggaran pilwalkot dapat dialokasikan ke pendidikan, kesehatan dan gaji PNS ketimbang membuang anggaran membiayai pilwalkot dua putaran. Argumennya jelas, pilkada dua putaran menelan dana besar dan kerap menimbulkan konflik horizontal di masyarakat. Menyelesaikan konflik sosial membutuhkan biaya dua kali lipat daripada biaya pemilu. Apalagi isu suku, agama, ras, pendatang dan bukan pendatang sering dijadikan komoditas politik untuk mencari dukungan. Kondisi ini rentan jika terus dibiarkan. Ibaratnya, beragam konflik yang terpendam di masyarakat, akibat pilwalkot dua putaran  dapat dengan mudah tersulut.
 
          Memang, gagasan pilwalkot satu putaran bisa saja kurang tepat. Setidaknya dapat kita lihat dalam dua kondisi sebagai berikut. Pertama, usulan pilwalkot satu putaran mengesankan pengekangan demokrasi masyarakat. Sebab, ketika wacana ini dilempar, pihak yang tidak setuju akan mengatakan biarlah rakyat yang menentukan, dua atau cukup satu putaran. Jika ada penggiringan satu putaran, wacana ini justru membatasi gerak politik masyarakat. Kedua, gerakan pemilu dua kali atau bahkan sampai tiga kali putaran dianggap sah selama anggaran dan peraturan mendukungnya. Singkatnya, selama dana ada, kemudian aturannya jelas, tidak ada alasan pemilu dilaksanakan hanya satu putaran. Kedua argumen ini tentu saja benar. Tapi belum tentu tepat.
 
Menyelamatkan Anggaran

         
Gagasan pilwalkot satu putaran yang penulis usulkan hanyalah bagian daripada upaya penyelamatan APBD Tangsel yang masih terbatas. Sebagai kota pemekaran yang baru, Tangsel masih menghadapi beragam kendala, baik dalam konteks teknis dan strategis. Dalam konteks teknis misalnya, di Tangsel sendiri jalan masih banyak yang rusak, sampah  berserakan, tanggul yang rawan dan kemacetan yang kian parah.

Dalam konteks strategis misalnya, Tangsel belum memiliki ciri khas sebagai kota jasa atau menjadi kota industri. Seandainya anggaran diarahkan pada bidang ini, Tangsel dapat lebih maju. Namun jika tidak, Tangsel akan menghadapi persoalan serius ketika politik menjadi panglima daripada pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan masyarakat.

         
Karena itulah, pilwalkot satu putaran adalah pilihan tepat dan cerdas. Siapapun pemimpin terpilih itulah yang terbaik yang kita miliki. Fokus membangun manusia dan infrastruktur adalah kunci untuk mengeluarkan Tangsel dari ancaman kota ’mati’ yang disesaki rakyat miskin dan gelandangan.

Dari argumen ini dapat dikatakan bahwa politik bukanlah segala galanya. Oleh karenanya, pilwalkot satu putaran sebagai gerbang untuk mencapai tujuan tersebut menjadi ikhtiar bagi kita bersama. Sebab jika tidak, Tangsel terancam ’gagal’ membangun masyarakat sejahtera, adil dan demokratis karena APBD nya banyak tersedot membiayai pilwalkot yang justru hanya dinikmati oleh segelintir elit saja. Maukah??  
 
Penulis
Rudy Gani, Aktivis HMI dan Alumni UMJ