TangerangNews.com

Sekolah Ditarik Pajak, Konsep Pendidikan yang Dipertanyakan

Rangga Agung Zuliansyah | Jumat, 24 September 2021 | 09:34 | Dibaca : 1923


Ilustrasi pelajar tatap muka. (Istimewa / Istimewa)


Oleh: Rut Sri Wahyuningsih. Institut Literasi dan Peradaban

TANGERANGNEWS.com-Pemerintah tengah mengajukan pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) terhadap jasa pendidikan sebesar 7%. Agenda tersebut tertuang dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Kelima atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Beleid ini kini tengah dibahas oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu) bersama Panitia Kerja (Panja) RUU KUP Komisi XI DPR RI. 

Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis, Yustinus Prastowo, mengatakan, pemerintah dengan legislatif sangat berhati-hati dalam pembahasan wacana PPN atas jasa pendidikan. Ia bilang, sejauh ini, pemerintah sudah mendengarkan saran dari berbagai stakeholders.

#GOOGLE_ADS#

Hasil sementara, seluruh jasa pendidikan merupakan obyek PPN yang terutang pajak atas konsumsi tersebut, artinya jasa pendidikan tak lagi dikecualiakan dalam lingkup non Jasa Kena Pajak (JKP). Namun, untuk jasa pendidikan yang sangat dibutuhkan masyarakat banyak seperti sekolah negeri tetap mendapatkan fasilitas pengecualian PPN (kontan.co.id, 9/9/2021). 

Anggota Komisi XI dari Fraksi PDIP Said Abdullah yang juga Anggota Panitia Kerja (Panja) RUU KUP berharap, PPN atas jasa pendidikan hanya dikenakan kepada sekolah bertaraf internasional yang umumnya memungut biaya ratusan juta per tahun. Sehingga, azas ability to pay dalam perpajakan Indonesia bisa dirasakan antara sekolah negeri dan sekolah swasta internasional. 

Said Abdullah meminta pemerintah mengecualikan pengenaan PPN atas sekolah-sekolah yang menjalankan Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Misalnya, sekolah negeri. Juga, jasa pendidikan swasta, seperti sekolah-sekolah di bawah naungan Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama (NU).

Menurut Said, keduanya punya andil besar dalam dunia pendidikan di Indonesia. Contoh, memberikan beasiswa  secara rutin kepada 500 murid setiap tahun dan telah melaksanakan Sisdiknas. Sedang mayoritas sekolah internasional tak masuk dalam koridor undang-undang (UU) terkait Sisdiknas. Said memperkirakan, kebijakan PPN baru bisa diimplementasikan pada 2023. Dengan catatan, RUU KUP disahkan akhir tahun ini. 

Sementara Ekonom senior Faisal Basri dengan keras menolak pajak bagi sektor pendidikan, sebesar 7% sebagaimana yang sudah diberitakan berbagai media.  Menurut Faisal pendidikan merupakan tanggung jawab dari pemerintah, apalagi untuk membangun bangsa ke depannya dari literasi, kemajuan teknologi, dan lain-lain. Maka tidak elok kalau sampai harga pendidikan jadi melambung karenanya. 

"Mau yang (sekolah) mewah, mau yang (sekolah) tidak mewah. Tetap no tax for education (tak ada pajak bagi pendidikan). Jangan karena pemerintah tidak sanggup (mendulang pendapatan), maka upayanya diperluas ke private sector. Apalagi eksternalitas pendidikan tinggi,” ujar Faisal. Ia menambahkan, untuk mendapatkan tambahan pendapatan baiknya pemerintah membidik barang-barang non esensial, seperti peningkatan tarif rokok. “Mengapa tidak mulai dengan yang haram-haram, seperti tarif rokok dinaikkan? Fasilitas perpajakan super luas bisa ditahan dulu. Kembali ke visi Indonesia bangkit, pendidikan nomor satu,” tandasnya (Kontan.co.id, 8/9/2021). 

Demikian pula Anggota Komisi XI dari Fraksi Partai Golkar Mukhamad Misbakhun menyebutkan, dalam jangka menengah pendek, belum saatnya pemerintah menjadikan jasa pendidikan sebagai objek PPN. Sebab, kualitas dan sistem pendidikan masih rendah. Berdasarkan US News & World Report 2021, Indonesia berada di peringkat 55 dari 73 negara di dunia dengan sistem pendidikan terbaik. Posisi Indonesia ini ada di bawah negara Asia Tenggara lainnya seperti Singapura yang ada di peringkat 19, Malaysia nomor 38, serta Thailand 46 (kontan.co.id, 5/9/2021).

Hanya karena pendapatan kas negara defisit segala cara ditempuh, namun tetap saja fokus pada pajak. Yang artinya pemerintah tak serius,  fakta kebijakan ini menyempurnakan gambaran lepasnya tanggung jawab negara untuk melayani Pendidikan secara berkualitas dan gratis. 

Sebaliknya negara sibuk mencari celah memperbanyak pungutan dari rakyat. Bahkan Pendidikan anak negeri yang sudah sekarat tak luput menjadi incaran pajak. Muncullah pertanyaan bagaimana dengan konsep pendidikan hari ini? Apa yang sudah ditetapkan dalam UUD 1945 seakan ambyar begitu saja. Dan benarkan para stake holder pendidikan hari ini menginginkan pendidikan juga kena pajak sebagaimana yang disebutkan Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis, Yustinus Prastowo?

Jika yang dimaksud mereka adalah para investor yang hendak bermain juga di dunia pendidikan makin menegaskan ketundukan negara ini kepada siapa. Pendidikan berkualitas memang membutuhkan biaya yang tak sedikit, banyak hal yang harus diselenggarakan sebagai bentuk dukungan tercetaknya generasi cemerlang calon tulang punggung peradaban bangsa. Dan memang akan semakin berat jika sumber pendapatan negara terbesar dari utang dan pajak, sesuatu yang tidak stabil. 

Sayangnya, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) tidak fokus disitu, melainkan terus mendorong para insan vokasi untuk mengembangkan kewirausahaan.   Hanya karena sedikitnya wirausaha di negeri ini, lantas, bagaimana kita menghadapi perubahan zaman jika hanya menghasilkan pekerja sementara pemikir, inovator dan peneliti tidak pernah terlahir?

#GOOGLE_ADS#

Dengan kata lain, fokus pendidikan kita hanya mencetak apa yang diinginkan negara maju, yaitu SDM yang terampil, menguasai pasar guna memasarkan produk mereka. Dan negara tak punya modal! 

Menurut Wikan Sakarinto, Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi Kemendikbudristek, sebaiknya insan vokasi jangan terlena oleh mata kuliah kewirausahaan hingga pusat inkubasi bisnis yang telah ada di setiap perguruan tinggi. Wikan mengatakan transformasi sangat dibutuhkan untuk menciptakan 4.000.000 pengusaha baru, sebagai syarat Indonesia untuk benar-benar menjadi lima besar PDB terbesar di dunia. Signifikan kah untuk menjadikan Indonesia sebagai salah satu jajaran negara maju?

Impian yang terlalu kebablasan sebab tak didukung dengan persiapan yang serius, bagaimana bisa sampai kepada target yang dimaksud jika untuk sekolah saja rakyat tak punya uang bahkan masih harus kena pajak pula.

Sistem zonasi yang alih-alih untuk pemerataan pendidikan juga makin membuat pendidikan kacau, sebab juga tak diiringi dengan pembaharuan sarana dan prasarana.  Bukankah jika begini nasib rakyat bak sudah jatuh tertimpa tangga pula? Bukan rahasia lagi, jika sekolah dengan kualitas gedung dan guru yang bagus biayanya mahal, jika dikurskan sebanding dengan harga pembelian tanah, rumah atau mobil.

Dalam masyarakat yang bertumpu pada ideologi sekularisme-kapitalisme,  sistem pendidikan hanya akan menghasilkan sumber daya manusia (peserta didik) yang berpikir profit oriented dan menjadi economic animal. Maka, mana bisa kita sandarkan arah pendidikan serta konsepnya kepada sistem hari ini?

Bagaimana dengan pendidikan dalam Islam? Jelas perbandingannya sangatlah jauh berbeda.  Dalam sistem Islam ada kewajiban untuk menjamin pendidikan gratis, sebab pendidikan adalah salah satu kebutuhan pokok, selain sandang, pangan, papan, kesehatan dan keamanan, yang harus dipenuhi negara.

Tak boleh sepeserpun seorangpun individu yang dia adalah berstatus warga negara Daulah Islam membayar biaya pendidikan kepada negara. Sebaliknya, kewajiban itu ada di pundak negara dan pemimpinnya kelak akan dimasukkan ke neraka jika lalai. Baitul mal adalah badan yang bertanggung jawab terhadap pendanaan seluruh kebutuhan rakyat. Dimana sumbernya bukan utang atau bahkan pajak.

Tujuan pendidikan dalam Islam adalah membentuk manusia yang memiliki: (1) Kepribadian Islam; (2) Menguasai pemikiran Islam dengan handal; (3) Menguasai ilmu-ilmu terapan (pengetahuan, ilmu, dan teknologi/PITEK); (4) Memiliki ketrampilan yang tepat guna dan berdaya guna.

Oleh karena itu jika hanya ditumpukan pada masyarakat atau lembaga pendidikan hasilnya tak akan maksimal. Rasulullah saw. bersabda,“Seorang imam (khalifah/kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari dan Muslim). Berdasarkan hadist inilah, para pemimpin Islam pada masanya benar-benar fokus menjamin kebutuhan pokok ini terpenuhi.

Sejarah mencatat salah satu contohnya adalah Madrasah al-Muntashiriah yang didirikan Khalifah al-Muntahsir Billah di kota Baghdad. Di sekolah ini, setiap siswa menerima beasiswa berupa emas seharga satu dinar (4,25 gram emas). Kehidupan keseharian mereka dijamin sepenuhnya oleh negara.

Fasilitas sekolah disediakan seperti perpustakaan beserta isinya, rumah sakit, dan pemandian. Sistem pendidikan bebas biaya tersebut didasarkan pada ijmak Sahabat yang memberikan gaji kepada para pendidik dari baitulmal dengan jumlah tertentu. Pendidikan akan benar-benar bisa dirasakan oleh semua rakyat jika sistem pengatur kebijakannya adalah syariat . Wallahu a'lam bish showab.