Oleh: Rut Sri Wahyuningsih, Institut Literasi dan Peradaban
TANGERANGNEWS.com-Mendengar kata utang, di negeri ini sangatlah lazim, dari mulai rakyat jelata hingga pejabat kelas kakap rajin berutang, apalagi negara. Dilansir dari Merdeka.com, 24 Juli 2021,Kementerian Keuangan mencatat posisi utang pemerintah sampai akhir Juni 2021 sebesar Rp 6.554,56 triliun. Angka tersebut 41,35 persen dari rasio utang pemerintah terhadap PDB.
Terus menerus pemerintah menambah jumlah utangnya, padahal yang bayar adalah rakyat. Di sisi lain, korupsi juga merajalela menyentuh banyak pejabat pula, bahkan ada yang masih buron sehingga belum bisa diadili kejahatannya. Dan ada yang tumbuh subur bak jamur di musim hujan, yaitu aplikasi pinjaman online (pinjol) yang semakin banyak ditemukan di media sosial.
Menurut praktisi hukum Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Jawa Timur, Yuniarti,bisnis pinjol mulai marak sejak 2015. Saat itu, pinjol dianggap sebuah terobosan untuk menjawab rumitnya proses peminjaman atau pembiayaan di bank (kompas.com, 18/10/2021).
#GOOGLE_ADS#
Namun, perlu digarisbawahi, jika semakin simpel suatu proses yang diterapkan pada jasa keuangan maka risiko yang ditanggung semakin besar. Nah, untuk menggantikan risiko tersebut, mereka menerapkan bunga yang tinggi pada para debitur," kata Yuniarti.
Sosiolog Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS) Rezza Akbar menjelaskan, faktor kemudahan dalam proses peminjaman diakui atau tidak menjadi daya tarik bagi warga. Selain itu, maraknya pinjol juga bisa diartikan sebagai potret kehidupan ekonomi masyarakat menengah ke bawah saat ini.
"Dengan dalih dan statistik apa pun yang dihadirkan oleh pemerintah terkait ekonomi saat ini, hal ini tidak bisa menutupi kenyataan bahwa kehidupan sedang sulit," kata Rezza.
Selain keterdesakan ekonomi, Rezza juga melihat bahwa maraknya pinjol karena semakin subur pula di tengah budaya konsumerisme. "Jika negara peduli maka negara bisa melakukan tindakan berdasarkan kewenangan yang melekat kepadanya dengan cara menetapkan bahwa semua pinjaman online terlarang dan ilegal. Sehingga, kemudian ada ancaman hukuman yang berlaku secara ketat dan nyata pada pelaku bisnis pinjaman online tersebut,"; tegasnya.
Sementara itu, Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G. Plate mengatakan akan melakukan moratorium atau menghentikan sementara penerbitan izin bagi penyelenggara sistem elektronik atas pinjaman online (pinjol).
#GOOGLE_ADS#
“Kemkominfo pun juga akan melakukan moratorium penerbitan penyelenggara sistem elektronik untuk pinjaman online yang baru,” kata Johnny (Bisnis.com, 15/10/2021).
Kebijakan tersebut merupakan arahan langsung Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang disampaikan dalam rapat terbatas bersama Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Menkominfo Johnny G. Plate, Gubernur BI Perry Warjiyo Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso, dan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Wibowo, karena dianggap merugikan masyarakat.
Selain Kemenkominfo, Jokowi juga memerintahkan hal yang sama kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yakni moratorium penerbitan izin fintech atas pinjol yang baru (Bisnis.com,15/10/2021).
Menkominfo menyebut pihaknya hingga hari ini telah menutup 4.874 akun pinjol. Periode 2021 saja yang ditutup 1.856 yang tersebar di website, Google Play Store, Youtube, Facebook, Instagram, dan file sharing.
Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso menyampaikan, ada 107 lembaga penyedia jasa pinjol yang terdaftar secara resmi di OJK. "Di OJK seluruh pelaku pinjaman online ini harus masuk dalam asosiasi yang kita sebut asosiasi fintech," kata Wimboh.
Dalam asosiasi tersebut, para penyedia jasa pinjol diberi arahan dan pembinaan sehingga bisa lebih efektif memberikan pelayanan kepada masyarakat yakni pinjaman murah, cepat, dan tidak melanggar aturan dalam penagihannya.
#GOOGLE_ADS#
Adapun, persoalan pinjol ilegal ini menjadi perhatian khusus karena sebanyak 68 juta orang atau akun tercatat memanfaatkan layanan dalam kegiatan teknologi finansial dengan putaran uang atau omset mencapai Rp260 triliun.
Urusan utang berutang ini sudah tak bisa dianggap sepele, tak cukup jika pemerintah hanya melakukan moratorium atau pihak OJK hanya meresmikan daftar pinjol yang boleh beroperasi, dengan harapan jaminan OJK mampu mengurangi kasus pinjol ilegal yang tidak amanah atau terpercaya. Bukan sekadar itu, sungguh!
Lantas bagaiamana jika ada fakta karyawan pinjaman online (Pinjol) ilegal yang ditangkap polisi usai meneror ibu di Wonogiri, Jawa Tengah, hingga akhiri hidup ternyata digaji dengan angka fantastis sekira 20 juta perbulan? Diketahui, ada tujuh orang tersangka yang ditangkap karena diduga terlibat jaringan pinjol ilegal tersebut .
"Di antara Rp15 sampai Rp20 juta per bulan,"; kata Dirtipideksus Bareskrim Polri Brigjen Pol Helmy Santika di Mabes Polri (Tribunnews.com, 15/10/2021).
Ketujuh tersangka memiliki peran sebagai operator SMS blasting dan penagih hutang. Mereka diduga bertanggung jawab atas ancaman dan teror yang didapatkan oleh ibu di Wonogiri hingga mengakhiri hidup. Helmy menjelaskan karyawan pinjol ilegal ini diduga dibiayai seorang pendana yang juga merupakan warga negara asing (WNA) berinisial ZJ.
Nyawa melayang sia-sia, sementara di sisi lain ada yang mendapatkan penghasilan dari pekerjaan yang tak manusiawi sekaligus bertentangan dengan syariat Allah swt. Yang harus diperhatikan bahwa kasus pinjol menjadi bukti buruknya dampak transaksi ribawi.
Sepatutnya negara tidak hanya meregulasi tapi menghapus penyebab masyarakat terjerat , yaitu kemiskinan, gaya hidup konsumtif dan adanya lembaga keuangan ribawi. Dan tak berlaku lagi hidup lebih berwarna jika punya utang, sebab tidak setiap persoalan harus diselesaikan dengan utang.
Ada kesejahteraan yang tidak terwujud merata bagi seluruh penduduk negeri ini. Bahkan kesenjangan begitu dalam antara mereka yang kaya dan miskin. Semestinya negara bertanggungjawab penuh menanggulangi keadaan ini. Namun sistem kapitalisme yang diadopsi penguasa telah menghalangi dari mewujudkan solusi terbaik.
Bahkan regulasi negara juga dimungkinkan menjadi pintu fintech asing untuk masuk kepasar Indonesia sehingga justru transaksi ribawi makin mengepung kehidupan umat. Jelas kita harus beralih dari keadaan yang buruk ini, dalam Islam, berkebalikan dengan kapitalisme, Islam memberlakukan sistem yang lahirkan pribadi tak gampang tergiur tawaran pinjaman ribawi, menyejahterakan rakyat dan menutup pintu transaksi dan lembaga keuangan bertentangan syara. Bagaimana caranya?
#GOOGLE_ADS#
Negara tidak akan menyandarkan pembiayaan seluruh kebutuhan operasionalnya kepada pajak dan utang, melainkan Baitul Mal, satu badan yang bertugas menampung pendapatan dan pengeluaran negara atas perintah Khalifah. Baitul mal berisi pos pendapatan yang berasal dari hasil pengelolaan hak kepemilikan umum dan negara berupa sumber daya alam, kemudian zakat, jizyah, usyur dan lainnya.
Dari Baitul mal akan dikeluarkan zakat bagi 8 asnaf yang telah disebutkan dalam Al- Qur'an, salah satunya kaum miskin. Sedangkan kebutuhan pokok publik seperti pendidikan, kesehatan dan keamanan dibiayai 100% oleh negara dari pos Baitul Mal yang lain. Selain menerapkan mekanisme tak langsung tadi, negara juga mengurusi rakyat dengan mekanisme langsung yaitu melalui pemberian modal bagi mereka yang hendak membuka usaha, begitu pula pelatihan dan pendidikan yang berkaitan dengan minat dan bakat individu rakyat.
Negara akan mendata rakyat agar diketahui nashab setiap keluarga agar jika ada individu yang harus ditangani oleh walinya, negara bisa menjamin bisa benar-benar terlaksana, jika wali dalam keadaan lemah maka beban akan dialihkan ke kas negara, yaitu Baitul Mal. Prinsip negara adalah terjaminnya kesejahteraan rakyat yang didahulukan.
Hingga seandainya kas Baitul Mal kosong, sementara negara wajib tetap meriayah ( mengurusi) rakyatnya, maka akan diminta kepada kaum Muslim untuk memberikan hartanya, jika belum mencukupi, maka akan dimintakan kepada rakyat yang kaya hakiki ( yaitu yang masih tersisa harta ketika sudah dikurangi dengan kebutuhan pokok keluarga dan kerabatnya).
Dan tindakan ini tidak bisa disamakan dengan pajak yang dipungut dengan paksaan dan terus menerus, ketika negara menghitung dana yang dibutuhkan sudah cukup maka akan dihentikan. Dalam sejarahnya, negara Daulah hampir-hampir tidak pernah kas Baitul Malnya dalam keadaan defisit.
Bahkan pada masa Khalifah Harun Al Rasyid, tak ada satupun rakyatnya yang menerima harta zakat, ketika sudah dikeluarkan untuk membayar utang individu rakyat yang tak mampu membayar utang, harta di Baitul Mal masih berlebih.
Kemudian Khalifah memerintahkan walinya untuk mencari pemuda yang hendak menikah, akan dibiayai oleh negara, ketika semua sudah dibayarkan harta Baitul Mal pun masih berlimpah.
Maka sekali lagi tak cukup moratorium dan penertiban pinjol saja. Namun transaksi Ribawi harus dihapus, sebab itulah akar persoalannya. Allah SWT berfirman dalam QS Al- Baqarah: 275 yang artinya :” … Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…". Menjadi jelas tak ada keberkahan hari ini sebab ada pelanggaran hukum syara. Jika Allah telah mengharamkan artinya tak ada pilihan yang lain bagi kaum Muslim yang beriman.
Faktanya hari ini kaum Muslim dipaksa oleh sistem untuk masuk ke dalam lubang biawak, sedikit demi sedikit menerima bujukan kapitalisme untuk mengambil riba, banyak ulama pula yang membolehkan, dengan alasan riba kali ini bukan riba nasiah ( berlipat-lipat) sebagaimana yang dipraktikkan kaum kafir Quraisy pada zaman Rasulullah Saw. Ada pula yang berpendapat kalau tidak untuk kebutuhan pokok (makan) semisal untuk rumah, kendaraan dan usaha itu boleh, maka makin runyamlah keadaan.
Belum lagi dari kalangan influenzer, publik figur bahkan pejabat sendiri yang mempertontonkan gaya hidup berlebih cenderung hedonis. Dari tontonan, berita di media yang hanya sibuk mengulas rumah tangga dan isi tas mereka. Makin melejitkan budaya konsumen, mereka lupa bahwa setiap apa yang mereka peroleh akan dihisab Allah yang Maha Kaya Hakiki.
Tugas negaralah yang memberikan penguatan akidah dan nafsiyah individu rakyatnya, bahwa kebahagiaan bukan semata karena banyaknya uang atau beragamnya harta benda yang mereka miliki, atau seberapapun limited editionnya barang-barang itu.
Semua itu fana, bahkan ketika jasad ditinggalkan ruh alias saat kematian datang harta itu tertinggal. Kematian memisahkan kesenangan di dunia, namun menjanjikan kebahagiaan akhirat jika ketaatan itu ada hingga akhir hayat.
Tak ada lagi tragedi kematian seseorang karena depresi terlilit utang yang bunganya melilit sementara pokoknya pun belum terbayarkan. Jaminan negara sangatlah mutlak dibutuhkan sebagaimana hadist Rasulullah berikut,“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari).
Arti bertanggung jawab adalah memastikan rakyatnya tak kelaparan, berpakaian layak, memiliki rumah tinggal layak, bisa bekerja mencari nafkah mudah dan terjamin pula kebutuhan pokoknya terkait kesehatan, pendidikan dan keamanan. Wallahu.