TangerangNews.com

Harga Minyak Goreng Mencekik, Diibaratkan Tikus Mati di Lumbung

Tim TangerangNews.com | Sabtu, 4 Desember 2021 | 16:06 | Dibaca : 629


Rektor Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan Mukhaer Pakkana. (@TangerangNews / Suara Muhammadiyah)


TANGERANGNEWS.com-Akademisi DR. Mukhaer Pakkana menilai, sehubungan makin meroketnya harga komoditas Crude Palm Oil (CPO) di pasar internasional, penerimaan devisa negara dari produk CPO pun tentu makin terdongkrak signifikan. 

Rektor Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan itu dalam siaran tertulisnya, Sabtu 4 Desember 2021, menyebutkan sebagai produsen dan eksportir CPO terbesar dunia, Indonesia boleh berbangga alias bertepuk dada. 

Menurutnya, para pelaku usaha terutama yang berskala super raksasa dan memilki ratusan ribu atau jutaan hektar lahan sawit dan pabrik pengelolaannya, pundi-pundi kekayannya makin menjumbo. 

Namun sayang sekali, lanjut  Sekretaris Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan PP Muhammadiyah ini, di tengah kenaikan harga CPO di pasar global seperti yang terlihat pada harga referensi tiap bulannya dan harga di bursa komoditas, ternyata konsumen minyak goreng terutama yang berskala kecil dan rumah tangga makin kelimpungan. 

Menjumbonya pundi-pundi kekayaan pengusaha sawit dan terdongkraknya devisa negara dari komoditas sawit ini, tidak memberikan manfaat bagi rakyat. 

#GOOGLE_ADS#

Lebih jauh Mukhaer mengemukakan, harga minyak goreng yang selama satu bulan terakhir naik gila-gilaan, hanya memberi manfaat pada pelaku usaha raksasa yang selalu bertengger sebagai orang terkaya di Tanah Air, sehingga tercatat harga telah naik kisaran Rp22.000 per liter baik minyak goreng curah maupun minyak goreng bermerek I dan II. 

Bahkan, Kementerian Perdagangan (Kemendag) memprediksi harga minyak goreng akan terus naik sampai kuartal I-2022. Kemendag mengatakan, kenaikan tersebut dipicu menguatnya harga CPO atau minyak kelapa sawit dunia. 

"Ini berpotensi terus bergerak, dan kita memprediksi sampai kuartal I-2022 pun masih meningkat terus karena termasuk sebagai komoditi supercycle harganya melonjak tajam," kata Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kemendag Oke Nurwan dalam diskusi Indef secara virtual, Rabu 24 November 2021.

Mukhaer menilai inilah logika tidak logis yang disampaikan pemerintah. Sejatinya, di tengah naiknya penerimaan devisa ekspor dari CPO, rakyat tentu harus turut serta menikmati atau merasakan hasilnya. 

“Coba lihat negara-negara penghasil minyak dunia terutama di Timur Tengah?. Rakyatnya menikmati harga bahan bakar minyak (BBM) dalam negeri yang murah, dan manfaat yang lain juga dirasakan oleh rakyat saat terjadi kenaikan harga minyak,” ungkap Mukhaer.

Ia juga mempertanyakan ke mana dana yang super jumbo yang diterima negara dan pengusaha sawit kakap itu?.

"Kok harga minyak goreng naik, padahal kita sebagai eksportir CPO terbesar dunia? Lazim sudah diketahui publik, bahwa komponen minyak goreng itu menjadi bahan baku dalam banyak usaha rakyat berskala mikro dan ultramikro,” ujar Mukhaer.

Mukhaer menegaskan bahwa betapa banyak usaha pedagang kaki lima penjual gorengan yang bertebaran di pinggir-pinggir jalan. Begitu juga warung-warung kecil. “Mereka dicekik oleh harga minyak goreng yang mahal. Begitu juga konsumen rumah tangga kita," ungkapnya.

Yang aneh, kata Mukhaer, pemerintah selalu ingin mengambil kebijakan karitatif yang primitif, seperti kebijakan operasi pasar minyak goreng. Seperti ucapan Menteri Perdagangan RI, bahwa untuk meredam harga, pemerintah berjanji akan "mengguyur" minyak goreng murah ke pasar. Pemerintah akan menjual minyak goreng kemasan murah seharga Rp11.000 per liter. 

"Mereka (pelaku usaha) sudah setuju dengan Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) untuk mendistribusikan 11 juta liter minyak goreng kemasan sederhana dengan harga Rp14.000," ujar Mendag Muhammad Lutfi dalam keterangannya resminya beberapa waktu lalu.

"Saya kira ini tidak menyelesaikan persoalan struktural ekonomi persawitan. Ini makin menandakan bahwa industri CPO ini dari hulu, hilir dan distrbusi selalau bermasalah," kata Mukhaer. 

Ia menambahkan, di tingkat hulu, banyak yang bermasalah sejak pelepasan atau konversi lahan rakyat skala masif untuk perkebunan kelapa sawit pemilik modal raksasa. 

Kemudian terjadi perkebunan monokultur di mana tanaman-tanaman lain tergilas, hilangnya keanekaragaman hayati, penyedotan air tanah skala besar, menipisnya kesuburan dan unsur hara tanah, dan berbagai persoalan lainnya seperti soal lingkungan, perubahan iklim/cuaca ekstrem, dan menyeruaknya berbagai jenis penyakit baru dan aneh. 

Ini artinya, lanjut Mukhaer, bisnis perkebunan kelapa sawit, CPO dan turunannya, sejak lahir sudah bermasalah. Tapi, semua persoalan itu selalu ditutupi dengan kekuatan kapital besar, baik diberikan kepada penguasa politik, para akademisi yang selalu mencari dalih atau pembenaran teoritik, hingga kelompok-kelompok masyarakat tertentu di daerah dan di pusat. 

“Kenapa bisnis CPO ini lancar-lancar saja, karena ada kekuatan modal yang selalu siap mengguyur yang setia setiap saat, seperti dalam iklan Rexona Deodorant.”