TANGERANGNEWS.com-Penetapan Surat Keputusan (SK) Gubernur tentang upah minimum kabupaten/kota (UMK) tahun 2022 di daerahnya masing-masing, mendapat kecaman dan penolakan dari kalangan praktisi akademisi.
Sebab, SK tersebut mayoritas mengacu kepada PP No 36/2021 yang mengatur tentang kenaikan upah, bahwa keberadaannya menurut konstitusi sudah tidak berlaku sejak adanya putusan Judicial Reviuw (JR) UU Cipta Kerja No. 11/2020 oleh Mahkamah Konstitusi.
Praktisi dan Dosen Hukum Ketenagakerjaan Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Painan Banten Dewa Sukma Kelana mengatakan, sangat wajar jika banyak kalangan mengecam dan menolak SK UMK 2022 karena acuan dasar hukumnya sudah salah.
"Kalau salah berarti ada pelanggaran di dalamnya dan jika ada pelanggaran tentu harus ditegur diingatkan bila perlu tidak usah gengsi merevisi kesalahan tersebut," jelasnya, Minggu 5 November 2021.
Sebagai bukti, hampir seluruh Gubernur di Indonesia dalam menetapkan SK UMK 2022 mengacu kepada PP 36/2021. Dia mempertanyakan para pakar hukum yang membiarkan atau malah memberikan masukan hingga terbentuknya SK tersebut.
"Pastinya Ini ditertawakan mahasiswa, itu pakar-pakar hukum pemerintah ke mana? Kok dibiarkan apa ikut memberikan masukan yang salah, malu lah sama mahasiswa," ujar Dewa.
Menurutnya, sudah jelas PP 36 itu merupakan turunan dari UU Cipta Kerja (Omnibuslaw) dan sudah Inkonstitusional sejak putusan JR di MK.
#GOOGLE_ADS#
"Jika berpikir logis dan akademis UU Ciptaker dan turunannya sudah batal demi hukum dan tidak dapat dipergunakan lagi apalagi dijadikan acuan dasar hukum," tegas Dewa.
Dewa menjelaskan, kalau dikaji putusan MK yang mengabulkan untuk sebagian permohonan uji formil. "Mengapa cacat formil? Kalau kita baca dalam pertimbangan hukum Hakim Konstitusi, tata cara pembentukan UU Cipta Kerja tidak didasarkan pada cara dan metode yang pasti, baku, dan standar, serta sistematika pembentukan undang-undang," katanya.
Kemudian, dalam pembentukan UU Ciptaker, terjadi perubahan penulisan beberapa substansi pasca persetujuan bersama DPR dan Presiden bertentangan dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan, di mana mahkamah berpendapat proses pembentukan UU 11/2020 adalah tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD 1945, sehingga harus dinyatakan cacat formil.
Dewa menguraikan, dalam amar putusan tegas menyatakan pembentukan UU Ciptaker bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat, sepanjang tidak dimaknai tidak dilakukan perbaikan dalam waktu dua tahun sejak putusan ini diucapkan.
Walaupun di amar putusan yang lain menyatakan UU Ciptaker masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan ini, namun MK telah memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama dua tahun sejak putusan diucapkan dan apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan, maka UU tersebut dinyatakan inkonstitusional secara permanen.
#GOOGLE_ADS#
Terlebih, MK telah memerintahkan kepada pemerintah untuk menangguhkan segala tindakan atau kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU No 11/2020 tentang Ciptaker.
"Jadi jelas, kalau kita simpulkan dari amar putusan itu, UU Ciptaker dan turunanya termasuk PP 36 di dalamnya tegas-tegas keberadaanya tidak mencerminkan Pancasila dan UUD 1945 oleh karenaya segala yang terkait didalamnya termasuk SK UMK 2022 jika mengacu PP/36 harus dibatalkan atau direvisi," imbuhnya.
Jika pembatalan itu tidak dilakukan berarti pemerintah telah mengajarkan dan mencontohkan kesalahan atau pelanggaran yang tentu memprovokasi rakyat terutama buruh atau masyarakat yang dirugikan lainya untuk melakukan perbuatan yang sama dan pelanggaran lainnya.
"Bahkan lebih dahsyat lagi melakukan perlawanan," pungkas Dewa yang sehari-harinya aktif sebagai ketua DPD FSP LEM SPSI Provinsi Banten dan Dewa Law Firm ini.