Abdul Mu'ti; Guru Besar FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
TANGERANGNEWS.com-Dalam beberapa bulan terakhir, dunia pendidikan diguncang berbagai isu kekerasan. Terakhir, kekerasan seksual yang dialami murid sebuah pesantren di Bandung, Jawa Barat. Sebelumnya, kekerasan seksual di beberapa perguruan tinggi. Pelaku dan korban relatif sama. Guru-murid, dosen-mahasiswa.
Kekerasan dalam dunia pendidikan adalah paradoks. Dunia pendidikan yang idealnya tempat membangun peradaban justru ternoda aksi kekerasan. Guru, ustaz, dan dosen yang seharusnya menjadi figur teladan justru menjadi sosok yang jauh dari perilaku utama. Lembaga pendidikan menjadi tempat tak aman dari kekerasan.
Pergeseran paradigma
Dari sudut moralitas, dunia pendidikan sedang tidak baik-baik saja. Kekerasan yang terus berulang bukanlah masalah sederhana. Akar masalahnya sangat kompleks. Pertama, masalah yang bermuara pada pergeseran orientasi pendidikan yang menekankan secara berlebihan pada aspek knowledge and skills acquisition.
Pembentukan karakter utama dan akhlak mulia masih belum mendapatkan perhatian semestinya. Pendekatan pendidikan masih examination ridden, murid dituntut menguasai materi sesuai kriteria ketuntasan minimal (KKM) dan memenuhi skor minimal satuan pendidikan.
Lembaga pendidikan menjadi tempat tak nyaman dan membosankan. Keadaan demikian, menurut John Holt dalam How Children Fail (2017) merupakan salah satu sebab kegagalan murid dalam belajar. Murid belajar dengan pendekatan surface dan achievement bukan deep learning (Biggs, 1995).
Dimensi ontologi dan aksiologi ilmu tercerabut dari tumpukan materi pelajaran. Pelajaran agama semata untuk menguasai pengetahuan (learning to know). Alquran hanya dihafal secara verbalistis tanpa pemaknaan, internalisasi, dan pengamalan.
Kedua, pergeseran paradigma keguruan. Dalam beberapa hal, pergeseran ini karena kemajuan teknologi dan falsafah pendidikan yang menempatkan guru sebagai fasilitator pembelajaran.
Guru dituntut mendemonstrasikan kemampuan mengajar dan belajar efektif dan efisien dengan menerapkan teori mutakhir seperti quantum learning dan quantum teaching.
Peran guru sebagai mentor dan figur sentral yang tecermin pada kepribadian utama yang digugu dan ditiru mulai berkurang, bahkan dianggap klise. Relasi dengan murid egalitarian dan terlalu dekat membuat wibawa guru cenderung berkurang.
#GOOGLE_ADS#
Ketiga, indoktrinasi keagamaan yang menempatkan guru pada posisi "agung". Akibatnya, murid terjebak pada kepatuhan buta. Murid tak kuasa dan tak berani membantah atau menolak kehendak guru karena takut "dosa".
Paradigma inilah yang sering "dimanfaatkan" sebagian guru untuk melakukan kekerasan seksual, eksploitasi, dan perbuatan tercela lainnya. Relasi kuasa akar berbagai bentuk kekerasan yang jamak terjadi di lembaga pendidikan keagamaan, tak hanya di lingkungan Islam tapi juga agama lainnya.
Keempat, lemahnya pengawasan pihak berwenang. Selama ini, pengawas pendidikan lebih fokus pada hal terkait kurikulum, misalnya penyusunan rencana pembelajaran, ketercapaian materi, dan evaluasi. Pembinaan karakter belum menjadi bagian utama dalam supervisi dan monitoring pendidikan.
Pembentukan adab
Syed Naquib Al-Attas berpendapat, hakikat pendidikan adalah proses ta'dib: pembentukan adab. Al-Attas merujuk hadis: "Addabani Rabbi fa ahsana ta'dibi". Dalam UU Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20/2003 disebutkan, pendidikan berfungsi mengembangkan kemampuan serta membentuk watak dan peradaban bangsa.
Secara regulasi, pendidikan karakter memiliki landasan hukum kuat, antara lain diatur dalam Inpres 12/2016 tentang gerakan nasional penguatan revolusi mental, Perpres 87/2017 tentang pendidikan karakter, dan Permendikbud Nomor 20/2018 tentang penguatan pendidikan karakter.
Sayangnya, pendidikan karakter belum terlaksana dengan baik karena kesenjangan filosofi, world view, dan implementasi. Yang diperlukan, peneguhan (kembali) hakikat pendidikan sebagai proses pendidikan karakter yang menentukan pembentukan manusia seutuhnya.
#GOOGLE_ADS#
Belajar lebih berorientasi pada ilmu bukan sebatas pengetahuan. Pendekatan pembelajaran ditekankan pada deep learning. Orientasinya bukan akumulasi pengetahuan tetapi seberapa mendalam, dan makna dari ilmu yang dipelajari. Target materi dengan pola KKM sudah waktunya dievaluasi.
Tak kalah penting, mengembalikan posisi guru sebagai agen ilmu dan akhlak. Penekanan pendidikan guru pada pembentukan kepribadian guru, bukan sebatas kompetensi profesional dan akademik. Kepada para murid juga perlu ditanamkan sikap kritis dan berani.
Pembiasaan sikap terbuka dan keberanian berkata "tidak" terhadap hal yang bertentangan dengan ilmu dan akhlak, perlu perhatian lebih serius. Keadaan tak lebih baik dengan caci maki. Banyak yang harus dibenahi. Semua bisa terlaksana jika dilakukan bersama-sama, sepenuh jiwa.