Oleh: Ayu Mela Yulianti SPt, pemerhati generasi dan kebijakan publik
TANGERANGNEWS.com-Tata kelola keuangan di negeri ini sungguh sangat karut marut. Semua berasal dari cara pengelolaan yang diadopsi dari sistem kapitalisme, yang menjadikan uang sebagai komoditas, bukan sebagai alat pembayaran. Alhasil, uang diperjualbelikan dengan asumsi dapat memberikan keuntungan sebagaimana barang dan jasa.
Efek buruknya adalah sistem kapitalisme menumbuhsuburkan aktivitas pengendapan uang/harta yang dimilikinya, dengan cara disimpan di sebuah lembaga keuangan agar beranak pinak atau berbunga. Alhasil, banyak terjadi spekulasi pengelolaan jasa keuangan, tak terkecuali dalam mekanisme pengelolaan dana Jaminan Hari Tua (JHT).
Padahal, dana JHT diambil dari gaji yang dipotong secara berkala, yang akan dikembalikan kepada pemilik dana JHT pada saat pensiun atau saat kena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Nahasnya, JHT yang awalnya akan dibayarkan saat berhenti kerja namun hari ini terjadi perubahan, yaitu dibayarkan di usia 56 tahun, sehingga hal ini menuai banyak polemik dan kontroversi. Terutama protes yang dilayangkan sebagai bentuk ketidaksetujuan para nasabah pemegang JHT.
Sebab, jika nasabah pemegang JHT mengalami PHK di usia 35 atau 40 tahun, misalkan, dana JHT tetap akan cair di usia 56 tahun. Dengan demikian, nasabah pemegang JHT yang terkena PHK harus menunggu sekian belas bahkan puluh tahun untuk mendapatkan dana (uang) JHT yang sejatinya adalah miliknya. Bukan milik lembaga pengelola, sebab dibayar dari gaji yang dipotong setiap bulannya.
Inilah pil pahit nan beracun yang harus kita telan dalam sistem sekuler kapitalisme yang melilit negeri ini. Ibarat pepatah, nasib rakyat jelata bagaikan sudah jatuh tertimpa tangga pula. Hancur. Sudahlah kena PHK, uang yang diharapkan membantu untuk menyambung hidup, malah ditahan pengembaliannya. Miris.
Pertanyaannya, kenapa dana JHT harus ditangguhkan pembayarannya kepada nasabah, yang justru berada dalam kondisi sangat membutuhkan? Apakah karena uangnya tidak ada? Ataukah sebab ingin diendapkan dulu agar dapat menghasilkan bunga yang banyak sehingga bisa menghasilkan banyak keuntungan bagi lembaga pengelolanya?
Dan masih banyak lagi pertanyaan yang mengemuka terkait penangguhan pembayaran dana JHT ini. Sebab, sangatlah ironis nasib nasabah JHT ini, sudahlah pensiun dan berhenti kerja, uang yang diharapkan bisa menjadi penyambung hidup, ditahan dan akan diberikan diusia yang sudah udzur pula, yaitu 56 tahun.
Sudahlah tidak ada yang memberi makan gratis, hartanya seolah dirampas pula. Inilah kenyataan keadaan negeri, yang pengelolaan keuangannya semakin materialistik kapitalistik, sebab mengambil sekuler sebagai ideologinya, sehingga tega menangguhkan pembayaran JHT hingga usia 56 tahun, tanpa adanya solusi bagaimana cara memenuhi hajat hidup para pensiunan atau orang yang terkena PHK.
#GOOGLE_ADS#
Semua dibiarkan seperti hukum rimba. Yang kuat memakan yang lemah, yang lemah dibiarkan hidup sekarat hingga mati. Mengenaskan.
Dalam sistem kapitalistik, uang yang mengendap akan dibungakan. Semakin lama mengendap maka bunga yang didapat semakin besar. Besarnya bunga dinilai sebagai besarnya keuntungan. Inilah nilai spekulasinya.
Maka setiap orang ataupun setiap lembaga akan berusaha untuk mengendapkan kekayaannya. Untuk menahan kekayaannya, agar kekayaannya terus berbunga tanpa harus bekerja keras. Akibatnya, naluri dan akal manusia akan hilang. Tergerus oleh nafsu untuk menimbun kekayaan agar semakin besar dan menumpuk.
Nahasnya, harta yang ditumpuk faktanya adalah milik orang lain atau bercampur dengan harta orang lain, demi mendapatkan tumpukan keuntungan bunga-berbunga. Akibatnya, lembaga pengelola keuangan pun akan begitu tega menzalimi individu dengan menahan haknya. Yaitu dengan menangguhkan pembayaran JHT hingga di usia 56 tahun. Terlalu.
Padahal Rasulullah SAW, selaku pemimpin tersukses sepanjang sejarah peradaban manusia, bahkan Michael H Hart dari Barat dalam bukunya berjudul "The 100: A Ranking of the Most Influential Persons in History” pun mengakuinya sebagai pemimpin paling berpengaruh di sepanjang peradaban manusia modern, telah memberitahukan kepada kita bahwa menahan hak orang lain adalah dosa.
#GOOGLE_ADS#
Firman Allah SWT:
وَلَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوْا بِهَآ اِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوْا فَرِيْقًا مِّنْ اَمْوَالِ النَّاسِ بِالْاِثْمِ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ
“Janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada para hakim dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. al-Baqarah (2):188)
Sabda Rasulullah SAW:
“Menunda penunaian kewajiban padahal mampu adalah kezaliman” (HR. Bukhari & Muslim).
Selain itu Rasulullah SAW juga memperingatkan kita, bahwa riba adalah biang kerok kerusakan.
Firman Allah SWT :
اَلَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ الرِّبٰوا لَا يَقُوْمُوْنَ اِلَّا كَمَا يَقُوْمُ الَّذِيْ يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطٰنُ مِنَ الْمَسِّۗ ذٰلِكَ بِاَنَّهُمْ قَالُوْٓا اِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبٰواۘ وَاَحَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰواۗ فَمَنْ جَاۤءَهٗ مَوْعِظَةٌ مِّنْ رَّبِّهٖ فَانْتَهٰى فَلَهٗ مَا سَلَفَۗ وَاَمْرُهٗٓ اِلَى اللّٰهِ ۗ وَمَنْ عَادَ فَاُولٰۤىِٕكَ اَصْحٰبُ النَّارِ ۚ هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ .
Artinya: " Orang-orang yang memakan riba, tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena gila. Yang demikian itu karena mereka berkata bahwa jual beli sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Barangsiapa mendapat peringatan dari Tuhannya, lalu dia berhenti, maka apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya dan urusannya (terserah) kepada Allah. Barangsiapa mengulangi, maka mereka itu penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya." ( QS. Al-Baqarah (2):275 )
Sabda Rasulullah SAW:
إِذَا ظَهَرَ الزِّنَا وَالرِّبَا فِيْ قَرْيَةٍ فَقَدْ أَحَلُّوْا بِأَنْفُسِهِمْ عَذَابَ اللّٰهِ .
Jika zina dan riba sudah menyebar di suatu kampung maka sesungguhnya mereka telah menghalalkan azab Allah atas diri mereka sendiri.(HR al-Hakim, al-Baihaqi dan ath-Thabrani).
Alhasil, jika riba telah merajalela dan dilegalkan sebagai landasan perekonomian sebuah bangsa, maka tunggulah kerusakan dan kehancurannya. Dan terbukti negeri ini rusak dan hancur sebab riba, dengan bukti negeri ini terlilit utang luar negeri dengan nilai yang cukup fantastik, yang entah kapan bisa dilunasi. Seperti yang dilansir dari Kompas.com, yaitu sekitar 423 miliar dollar AS atau sekitar Rp6000 triliun bahkan lebih per September 2021.
#GOOGLE_ADS#
Alhasil, penerapan sistem ekonomi ribawi dalam sistem kapitalisme telah menyeret pengendapan dana JHT dengan cara diulur waktu pengembaliannya. Padahal dana JHT adalah dana milik rakyat, bukan milik lembaga pengelola keuangan, yang berarti adalah bahwa dana JHT adalah harta rakyat yang dikumpulkan oleh sebuah lembaga keuangan.
Hal ini semakin menunjukkan jika ekonomi ribawi dalam sistem sekuler kapitalistik, sungguh sangat tidak manusiawi, tidak sesuai dengan fitrah manusia, tidak memuaskan akal bahkan tidak mampu memberikan ketentraman pada jiwa manusia karena sangat spekulatif. Karenanya, sampai kapan kita masih percaya pada sistem ekonomi ribawi sebagai ruh sistem ekonomi kapitalistik, yang terbukti semakin hari semakin membuat sulit kehidupan rakyat ?.
Maka sungguh, manusia butuh untuk kembali pada sistem ekonomi yang manusiawi, yang mampu menentramkan hati, memuaskan jiwa dan sesuai dengan fitrah manusia. Dan sistem yang dibutuhkan dan dinantikan sebab kesesuaiannya dengan fitrah manusia untuk segera diterapkan hanyalah sistem ekonomi Islam kaffah, bukan yang lain.
Sebab, hanya sistem ekonomi Islam kaffah saja, yang telah terbukti kemanjurannya dalam memanusiakan manusia dan mensejahterakan serta membahagiakan kehidupan manusia. Seperti saat manusia berada di bawah kekuasaan Umar bin Abdul Aziz ra, salah satu pemimpin dari Bani Ummayah, cicit dari Amirul mukminin Umar bin Khattab ra, yang mampu merealisasikan secara nyata kesejahteraan hidup dalam seluruh aspek kehidupan, pada seluruh rakyat yang dipimpinnya, tanpa kecuali.
Wallahualam