Oleh : Marcella Aryanda Shakila, Mahasiswa Universitas Yuppentek Indonesia
TANGERANGNEWS.com-Berita kekerasan seksual di beberapa kampus di Indonesia terus bermunculan.
Mari coba lihat ke beberapa tahun sebelumnya, ada kasus Agni (bukan nama sebenarnya) yang mengalami pelecehan seksual oleh rekan sekampusnya saat melakukan KKN (kuliah kerja nyata) tahun 2017.
Korban harus menelan kenyataan pahit, karena pihak kampus menyebut kasus tersebut sebagai pelanggaran ringan, sehingga pelaku tidak bisa dikeluarkan.
Lalu di tahun 2019, berita kekerasan seksual yang dilakukan dosen UIN Maliki Malang diungkap Tirto dot id.
Berita tersebar secara masif melalui grup Whatsapp dosen dan mahasiswa. Namun, kembali beberapa dosen malah melarang penyebaran laporan tersebut dengan pesan, “Jangan menyebar aib orang lain.”
Beberapa pesan lain juga dikirim oleh dosen lain yang menunjukkan pembelaan terhadap pelaku, tanpa mencoba mau mengerti kondisi psikologis korban.
Hal ini menunjukkan, jika pihak civitas akademika belum memiliki pandangan yang berpihak pada korban.
Dipenghujung tahun 2021, sejumlah mahasiswa di Universitas Negeri Jakarta mengalami pelecehan seksual oleh dosen yang berinisial DA dengan mengirimkan chat mesum.
Kasus lainnya juga menimpa mahasiswa Universitas Riau saat menyelesaikan tugas akhirnya. Pelaku merupakan dosen yang juga menjabat sebagai Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) di kampus tersebut.
#GOOGLE_ADS#
Kasus tersebut hanyalah sebuah fenomena gunung es, jumlahnya mungkin berkali-kali lipat lebih banyak daripada yang telah diberitakan hingga hari ini.
Terbukti dari hasil temuan YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia) tahun 2020 ditemukan kebanyakan korban kekerasan seksual masuk pada kelompok usia mahasiswa. YLBHI juga menemukan bahwa 40% kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus ternyata dilakukan oleh orang yang lulus jenjang Pendidikan Strata 2 (S-2).
Permendikburistek No. 30/2021 sebagai Langkah Maju
Fakta tersebut tentu cukup miris. Kampus sebagai pusat peradaban harusnya menunjukkan perannya. Tetapi, hal tersebut malah dianggap aib dan bisa merusak citra baik kampus.
Hal ini yang membuat pihak kampus atau perguruan tinggi bingung, bahkan terkesan abai terhadap laporan korban.
Tidak sedikit laporan berakhir damai. Tidak sedikit pula laporan yang diproses hingga berbulan-bulan, tetapi tidak menemukan titik terang bagi kepentingan korban.
Bahkan pelaku masih dapat hidup normal, tanpa merasakan ganjaran apa pun atas perbuatan bejatnya.
Hadirnya Permendikburistek No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual, seharusnya menjadi angin segar bagi para penyintas/korban dan segenap pihak yang sudah geram dengan ketidakamanan kampus sebagai tempat orang terdidik.
Peraturan ini menjadi sebuah langkah maju, agar pimpinan perguruan tinggi bisa mengambil langkah tegas menyikapi setiap laporan dengan berperspektif pada perlindungan korban.
Mengapa peraturan ini harus hadir dan segera ditindaklanjuti secara teknis oleh seluruh pimpinan kampus/perguruan tinggi di Indonesia?
Nadiem Makarim menyebut, Permendikburistek ini sebagai upaya merespons atas meningkatnya kasus kekerasan seksual yang sudah dapat dikategorikan sebagai bentuk pandemik baru.
Apalagi selama ini belum ada peraturan dan perundang-undangan di Indonesia yang mampu mencakup penanganan permasalahan kekerasan seksual di lingkungan kampus.
Meskipun peraturan ini awalnya menuai banyak protes dari kalangan agamawan karena muncul istilah “consent” atau “persetujuan korban” yang dianggap bentuk legalisasi seks di luar nikah.
Namun, peraturan ini sebenarnya mampu memberikan kepastian hukum bagi pimpinan perguruan tinggi untuk mengambil langkah tegas dalam menyelesaikan kasus kekerasan seksual di tempat masing-masing.
Permendikburistek ini hadir untuk membangun ekosistem perlindungan dan dukungan terhadap korban kekerasan seksual, agar memperoleh pemulihan, dan keadilan.
Kampus Harus Melakukan Apa?
Berdasarkan Permendikburistek No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual, pertama, kampus harus mempelajari modulPencegahan Kekerasan Seksual khususnya yang dikeluarkan oleh kementerian, agar mengetahui dan memahami alur uji pra dan pasca pembelajaran pada mahasiswa, pendidik, maupun tenaga kependidikan.
Modul ini juga berisi penjelasan filosofi pendidikan dan cara yang tepat untuk mencegah dan menangani kasus kekerasan seksual di kampus.
Hal wajib kedua yang harus dilakukan oleh pimpinan perguruan tinggi adalah membentuk satuan tugas khusus yang bersifat non-ad hoc.
Yang bisa bergabung menjadi satgas khusus adalah berasal dari unsur pendidik, tenaga kependidikan, dan mahasiswa. Mereka yang akan bergabung dalam satgas ini harus dipastikan tidak pernah melakukan atau membiarkan terjadinya kekerasan seksual.
Satgas khusus non-ad hoc juga hadir untuk memastikan korban mendapatkan pendampingan, perlindungan, dan pemulihan berdasarkan persetujuan korban.
Satgas di kampus harus memberikan respons penuh empati terhadap laporan korban, dan tidak membuat korban harus menceritakan kejadian yang dialaminya berulang kali sebab hal tersebut akan menimbulkan beban psikologis tersendiri bagi korban.
Ketiga, adanya pemasangan tanda peringatan bahwa kampus sama sekali tidak menoleransi adanya tindakan kekerasan seksual.
Keempat, kampus juga harus memenuhi kebutuhan penyandang disabilitas dalam sosialisasi yang terkait kekerasan seksual. Terakhir, kampus harus melakukan penguatan budaya komunitas pada mahasiswa, pendidik, dan tenaga kependidikan berupa pemberian edukasi pencegahan dan penanganan kekerasan seksual saat pengenalan kehidupan kampus pada mahasiswa baru.
Mari gerak bersama dengan melakukan peran penting dalam aspek pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di kampus!
Mahasiswa harus mencari tahu dan lebih banyak mendiskusikan isu-isu yang tekait relasi kuasa dan kekerasan berbasis gender.
Selain itu,mahasiswa harus berdaya dalam segala kondisi. Dosen dan tenaga kependidikan sebaiknya rutin terlibat dalam kegiatan kemahasiswaan khususnya dalam bentuk diskusi isu terkait, memperbanyak sosialisasi di kampus terkait langkah anti kekerasan seksual, dan mengupayakan terbentuknya layanan yang diperuntukkan mencegah dan menangani kasus kekerasan seksual di kampus.
Bagi pengelola perguruan tinggi tentu harus mengikuti prinsip-prinsip pencegahan kekerasan seksual di kampus dengan menyediakan sarana dan prasarana memadai, menyediakan mekanisme pengaduan dan pelaporan, serta menyediakan tanda peringatan “area bebas dari kekerasan seksual” di kampus.
Kolaborasi bersama adalah kunci keberhasilan pelaksanaan peraturan ini.
Segenap pihak harus turut serta menciptakan budaya akademik yang terbebas dari kekerasan seksual dan diskriminasi terhadap gender tertentu di kampus agar kampus menjadi tempat aman dari kekerasan seksual.