TANGERANGNEWS.com-Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Tangerang kini sedang gencar menerapkan Restorative Justice atau keadilan restoratif dalam perkara pidana umum ringan yang bertujuan untuk mengurai persoalan hukum dengan mengedepankan mediasi dan musyawarah.
Kepala Kejari Kota Tangerang Erich Folanda mengatakan, pada tahun 2022 ini terutama sampai Juli, pihaknya sudah melakukan penghentian penuntutan pada tiga perkara dalam implementasi Restorative Justice.
Implementasi penghentian penuntutan tersebut berdasarkan Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.
“Setahun ini sudah tiga perkara,” ujarnya saat konferensi pers di Kantor Kejari Kota Tangerang, Rabu 13 Juli 2022.
Erich menjelaskan, kasus pertama yang dilakukan Restorative Justice adalah tersangka berinisial RP yang disangkakan Pasal 363 ayat (1) ke-3 KUHP jo. Pasal 53 ayat (1) KUHP dengan perkara percobaan pencurian di dalam pekarangan sebuah perusahaan di kawasan industri Kabupaten Tangerang.
#GOOGLE_ADS#
Dalam kasus tersebut, tersangka berupaya mencuri potongan-potongan besi bekas, tetapi aksinya ini diketahui, dan berujung pada pelaporan polisi. Adapun setelah menerima pelimpahan perkara ini, Kejari Kota Tangerang mengupayakan untuk dilakukan Restorative Justice.
“Penuntut umum berpendapat bahwa perkara ini telah memenuhi syarat-syarat untuk dapat dilaksanakannya penghentian penuntutan," katanya.
Menurut Erich, tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana. Selain itu, ancaman hukumannya pun tidak lebih dari lima tahun. Sedangkan nilai kerugiannya hanya berpotensi senilai Rp230 ribu, atau tidak lebih dari Rp2,5 juta. Kemudian, telah ada pemulihan kembali pada keadaan semula oleh tersangka.
“Antara tersangka dan korban yakni pihak perusahaan sudah berdamai yang disaksikan oleh para tokoh masyarakat di Rumah Restorative Justice di Kecamatan Pinang,” jelasnya.
Kemudian perkara kedua yang diterapkan dalam Restorative Justice adalah tersangka RF yang disangkakan melakukan perbuatan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Dalam perkara ini, katanya, tersangka terlibat cekcok atau adu mulut dengan istrinya sehingga menimbulkan emosi, kemudian memukul sang istri.
Setelah itu, sang istri mengadu kepada ibunya, dan melaporkannya ke pihak Kepolisian. Akibat kejadian ini, sang istri mengalami luka memar dan luka lecet. Perkara ini juga dianggap memenuhi syarat penghentian penuntutan.
Dalam penanganannya, para pihak yang berperkara disaksikan para tokoh masyarakat melakukan mediasi di Rumah Restorative Justice Bale Adhyaksa Kota Tangerang. Adapun tersangka sudah meminta maaf, dan istri maupun kedua mertuanya pun sudah memaafkannya. Terlebih, kondisi sang istri membutuhkan perhatian, karena sedang hamil tujuh bulan.
“Telah ada kesepakatan perdamaian antara korban yang merupakan istri tersangka dengan tersangka,” ucap Erich.
Sedangkan perkara ketiga yang juga diselesaikan dengan keadilan restorative adalah perkara penganiayaan akibat utang antara tersangka yang merupakan bapak dan anak berinisial HS dan RS dengan korban berinisial RJP.
Kasus tersebut berawal saat korban RJP menagih utang sebesar Rp2,4 juta, lalu terlibat cekcok dengan HS. Selanjutnya dari cekcok tersebut, tersangka HS mendorong dan memukul korban. Kemudian, RS yang menyaksikan kejadian itu turut memukuli korban.
Namun, kasus ini tidak berlanjut ke pengadilan, karena kedua belah pihak telah sepakat untuk selesai secara kekeluargaan melalui program keadilan restoratif yang difasilitasi Kejari Kota Tangerang.
Erich menuturkan, pihaknya tidak menargetkan jumlah perkara yang akan dilakukan keadilan restoratif. Namun, Restorative Justice akan diterapkan jika ada perkara yang memang bisa diselesaikan secara kekeluargaan dan memenuhi persyaratan.
Adapun syarat-syarat penghentian penuntutan dalam program keadilan restoratif sesuai dengan Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020, di antaranya tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana, ancaman tindak pidana tidak melebihi dari lima tahun, nilai kerugian yang ditimbulkan akibat dari tindak pidana tidak melebihi dari Rp2,5 juta, dan adanya kesepakatan perdamaian antara korban dan tersangka.
“Tidak ada target sih. Pokoknya kalau memang ada perkara yang memang bisa dilakukan restorative justice, memenuhi syarat, kita lakukan. Tapi memang kita tetap selektif,” pungkasnya.