TangerangNews.com

Siapakah Penjamin Terlaksananya Kurikulum Merdeka?

Rangga Agung Zuliansyah | Minggu, 31 Juli 2022 | 20:09 | Dibaca : 4896


Dr. Vedia, M.Pd., Guru SMAN 9 Tangerang dan Pengajar Praktik pada program Pendidikan Guru Penggerak. (@TangerangNews / Istimewa)


Oleh: Dr. Vedia, M.Pd., Guru SMAN 9 Tangerang dan Pengajar Praktik pada program Pendidikan Guru Penggerak

TANGERANGNEWS.com-Pendidikan Indonesia saat ini sedang mengalami perubahan yang cukup besar. Masa pandemi tak menyurutkan kinerja Kementrian Pendidikan untuk terus bergerak membenahi diri. Hal ini sangat dimaklumi karena sejauh ini pendidikan Indonesia masih menempati urutan bawah di dunia. Survey kemampuan pelajar yang dirilis oleh Programme for International Student Assessment (PISA), di Paris (2019), menempatkan Indonesia di peringkat ke-72 dari 77 negara. Miris, tapi itulah potret pendidikan Indonesia yang menjadi PR bagi siapapun yang terlibat di dalamnya.

Demi melihat kondisi seperti itu Kementrian Pendidikan melakukan suatu perubahan. Kiprah perubahan dimulai dari program guru penggerak angkatan 1 tahun 2020, kemudian program sekolah penggerak tahun 2021. Berbagai perangkat dan aplikasi disiapkan karena program dilakukan baik luring ,maupun daring. 

Program guru penggerak dilakukan guna membentuk para pendidik menggerakan ekosistem pendidikan dengan membuka banyak kolaborasi. Mendorong tingkat kepemimpinan peserta didik agar menjadi pribadi yang lebih aktif dan percaya diri. Menciptakan format pembelajaran yang menyenangkan. Mendukung hasil pembelajaran yang implementatif kepada peserta didik. Pendidikan guru penggerak lebih menitikberatkan pada ‘how’ bagaimana seorang guru harus bertindak di lingkungannya, bukan semata mempelajari tentang Kurikulum Merdeka.

Hal yang berkaitan dengan Kurikulum Merdeka yang dipelajari CGP adalah mengenai pendekatan Pendidikan berkaitan dengan filosofi Ki Hajar Dewantara dan Pendidikan yang berdiferensiasi. Para calon guru penggerak dididik baik luring maupun daring selama 9 bulan untuk Angkatan I - IV, sementara untuk Angkatan V dilakukan selama 6 bulan. Para calon guru penggerak difasilitasi oleh fasilitator, guru pengajar praktik (pendamping), dan instruktur nasional yang telah dididik dan dilatih oleh kementrian pendidikan. Para guru penggerak diharapkan nantinya sejalan dengan Kurikulum Merdeka yang diluncurkan Kementrian Pendidikan Indonesia. 

#GOOGLE_ADS#

Program sekolah penggerak dilakukan adalah upaya untuk mewujudkan visi pendidikan Indonesia dalam mewujudkan Indonesia maju yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian melalui terciptanya Pelajar Pancasila. Dapat dikatakan program sekolah penggerak merupakan program pengimplementasian Kurikulum Merdeka. Di sekolah penggerak guru-gurunya dididik bagaimana menerapkan Kurikulum Merdeka oleh para pelatih ahli dari Kementrian Pendidikan. Diharapkan sekolah penggerak akan mengimbaskan pada sekolah-sekolah lain di sekitarnya. 

Meski banyak yang menilai bahwa pelaksanaan kurikulum merdeka terlalu tergesa-gesa, namun kurikulum ini terus berjalan. Baik yang terbimbing secara langsung lewat program sekolah penggerak maupun yang mandiri, implementasi Kurikulum Merdeka tetap berjalan. 

Sekolah yang menjadi sekolah penggerak sangat beruntung, mereka mendapat bimbingan langsung dari pelatih ahli dari kementrian pendidikan. Pelaksanaannya jelas dan ada yang memonitor langsung dari Kementrian Pendidikan. Walaupun pada kenyataannya pemahaman yang didapat guru atas apa yang diterimanya sangat beragam, bergantung pada tingkat kemampuan guru itu sendiri. Meski demikian, karena ada yang memonitor maka kalaupun ada yang ‘keluar jalur’ sekolah penggerak yang terbimbing tidak akan jauh-jauh melencengnya. Namun, untuk sekolah yang memutuskan secara mandiri melaksanakan Kurikulum Merdeka mereka harus belajar mandiri, mencari narasumber sendiri, atau belajar secara mandiri lewat platform merdeka mengajar yang disiapkan Kementrian Pendidikan. Untuk sekolah penggerak yang terbimbing saja pemahamannya beragam apalagi yang mencari-cari sendiri.

Fakta menunjukkan pelaksanaan Kurikulum Merdeka pada sekolah yang melaksanakannya secara mandiri sangat beragam. Dilihat dari cara sekolah memanggil narasumber ada yang memanggil dari sekolah penggerak, ada yang meminta langsung dari narasumber nasional. Pembekalan terhadap guru terhadap Kurikulum Merdeka ini juga berbeda-beda ada yang lewat workshop ada yang IHT. Ada yang sampai berhari-hari dengan tujuan mendapatkan pemahaman yang utuh, ada pula yang cukup setengah hari saja, dan untuk selanjutnya guru-guru diminta belajar mandiri lewat link pada platform merdeka mengajar, lewat youtube, dan lainnya. Sementara tidak semua guru memiliki kemampuan dan kemauan belajar mandiri. Tidak semua guru memiliki kemampuan dan kemauan untuk berselancar di dunia maya.

Lantas siapakah penjamin terlaksananya Kurikulum Merdeka ini? Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 28 Tahun 2016, mengatur tentang sistem penjaminan mutu pendidikan dasar dan menengah.  Sistem ini dikembangkan agar pengelolaan pendidikan dasar dan menengah bermutu. Sistem penjaminan mutu pendidikan dasar dan menengah terdiri dari dua komponen yaitu Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) dan Sistem Penjaminan Mutu Eksternal (SPME). SPME adalah sistem penjaminan mutu yang dilaksanakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, lembaga akreditasi dan lembaga standardisasi pendidikan. Lebih lanjut dalam Bab IV Pasal 9 Ayat (4) dijelaskan bahwa dalam SPME, Pemerintah Daerah membentuk Tim Penjaminan Mutu Pendidikan paling sedikit terdiri atas unsur: bidang pada dinas pendidikan; pengawas sekolah; dan dewan pendidikan.

Dalam hal ini penulis ingin memfokuskan pada peran pengawas sebagaimana tercantum dalam permendikbud di atas. Masihkah peran pengawas relevan dengan pelaksanaan Kurikulum Merdeka? Mengapa pertanyaan ini mengemuka? Karena pada kenyataanya saat ini untuk pengawas tingkat SMA/SMK provinsi Banten sangat memprihatinkan. Beban kerja seorang pengawas berdasarkan Permendikbud No. 15 tahun 2018 yaitu berjumlah 37,5 per minggu. Dengan beban kerja ini idealnnya satu orang pengawas bertanggung jawab pada 10 sekolah binaan. Namun kenyataan yang terjadi saat ini berdasarkan SK  yang dikeluarkan Dindikbud prov. Banten tahun 2022, satu orang pengawas dibebani tanggung jawab bisa sampai 50 bahkan 72 sekolah. Kondisi ini akan diperparah karena tidak lama lagi beberapa pengawas SMA/SMK menghadapi masa pensiun.

Sekolah memang terlihat tak ada masalah jika tak ada pengawas. Sekolah tanpa pengawas masih bisa berjalan (guru mengajar, siswa belajar). Namun Sekolah bukan hanya persoalan guru mengajar, siswa belajar. Sekolah merupakan suatu sistem pendidikan keseluruhan demi terwujudnya tujuan pendidikan nasional. Sekolah perlu dipantau, sekolah perlu dibina untuk pengembangan dan peningkatan mutu.

Dalam kaitannya dengan Kurikulum Merdeka, ketika guru mengalami kesulitan terhadap bagaimana memahami CP (capaian pembejaran), merumuskan TP (tujuan pembelajaran), dan menyusun ATP (alur tujuan pembelajaran) pada siapa mereka bertanya? Penjelasan di media sosial belum tentu dapat dipahami secara utuh oleh guru. Bagaimana sekolah memahami pembelajaran projek penguatan profil pelajar Pancasila (P5) yang sebenarnya? Di lapangan sangat bervariasi. Bagaimana guru memahami pentingnya asesmen diagnosis yang harus dilakukan di awal pembelajaran? Jika pemahaman mengenai asesmen diagnosis saja tidak didapat bagaimana guru memahami pendidikan yang berdiferensiasi yang menjadi sangat penting dalam Kurikulum Merdeka? Apakah Kurikulum Merdeka, memang benar-benar memerdekakan pemahaman sehingga guru/sekolah bebas menafsirkan dan mengaplikasikannya? Apakah dengan Kurikulum Merdeka tidak ada lagi pemantauan terhadap 8 Standar Nasional Pendidikan?

Jika calon guru penggerak didampingi pengajar praktik, fasilitator, dan instruktur, sekolah penggerak dibimbing dan dipantau oleh pelatih ahli. Bagaimana nasib sekolah dan guru-guru di sekolah yang melakukan implementasi kurikulum merdeka secara mandiri? Jika yang menjadi sekolah penggerak saja masih terdapat pemahaman yang berbeda-beda terhadap kurikulum merdeka apalagi sekolah yang mengimplementasikan Kurikulum Merdeka secara mandiri. Padahal ketika sekolah dan guru salah memahami maka yang akan menerima akibatnya adalah siswa. Sementara siswa adalah subjek dari tujuan pendidikan nasional. Kalau ini sampai terjadi bagaiman ‘students wellbeing’ dapat tercipta? Pada dasarnya untuk dapat mengimplementasikan Kurikulum Merdeka sekolah dan guru perlu mitra, perlu orang yang dapat membina dan menjadi tempat untuk bertanya.

Kembali pada pertanyaan di atas siapa yang menjadi penjamin terlaksananya Kurikulum Merdeka berada pada koridor yang benar? Siapa yang melakukan penjamin terhadap mutu sekolah? Siapa yang penjamin pengembangan sekolah? Jika permendikbud No. 28 tahun 2016 masih berlaku, maka jawabannya sudah pasti bahwa peran pengawas sangat penting. Jangan biarkan pengawas melepas tanggung jawab karena beban kerja yang melampuai batas kemampuannya. Sampai detik ini belum ada peraturan yang membatalkan peran pengawas, maka pemerintah daerah wajib memenuhi kebutuhan pengawas sekolah di wilayahnya.