TangerangNews.com

Substitusi LPG 3 Kg ke Kompor Listrik Digital, Perlukah?

Rangga Agung Zuliansyah | Kamis, 22 September 2022 | 15:50 | Dibaca : 744


Ayu Mela Yulianti SPt, pemerhati generasi dan kebijakan publik. (@TangerangNews / Ayu Mela Yulianti)


Oleh : Ayu Mela Yulianti, SPt., Pemerhati Generasi dan Kebijakan Publik

TANGERANGNEWS.com-Pengalihan penggunaan energi dari energi fosil menuju penggunaan energi hijau ( biofuel ), mendorong pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan menuju net zerro emmitions, antara lain dengan masif dikeluarkannya berbagai kebijakan publik dan sosialisasi penggunaan kendaraan dan alat rumah tangga yang menggunakan energi listrik sebagai bagian dari bentuk hasil energi hijau (biofuel). 

Disisi lain penggunaan energi listrik, ternyata hingga hari ini masih menjadi beban berat bagi masyarakat.  Mengingat energi listrik yang dikonsumsi rakyat tidaklah gratis, namun berbayar. Semakin tinggi penggunaaan daya listrik, maka semakin besar biaya yang harus dikeluarkan untuk membayarnya.  Dan ini berarti menambah beban kehidupan rakyat, manakala rakyat harus beralih ke penggunaan energi dengan biaya tinggi.  Karenanya kebijakan substitusi  LPG 3 kg ke kompor  listrik digital  jelaslah akan semakin membebani rakyat, jika rakyat masih harus membayar mahal pengunaan daya listrik yang dipakainya. Apalagi selalu terjadi kenaikan tarif dasar listrik yang dibebankan pada rakyat. 

Namun, memang demikianlah watak dasar sistem kapitalisme, menjadikan rakyat sebagai pasar (konsumen)  bagi setiap produk yang dihasilkan dari sumur milik rakyat sendiri. Dari pengelolaan sumber daya alam melimpah milik masyarakat sendiri. Yang telah mengalami proses kapitalisasi  melalui jalan privatisasi berkedok investasi. 

Walaupun sebetulnya adalah sah saja, jika pemerintah ingin mengubah pola konsumsi masyarakat dari ketergantungan terhadap energi fosil yang disinyalir semakin menipis ketersediaannya dibumi,  menuju energi hijau (biofuel) yang dikatakan masih melimpah ruah.  Namun jelas pengubahan pola konsumsi masyarakat, tentu haruslah diikuti dengan kebijakan yang tidak memberatkan rakyat.  Tidak menambah beban hidup masyarakat.

#GOOGLE_ADS# 

Maka sejatinya jikapun pemerintah ingin mencabut penggunaan BBM sebagai salah satu jenis energi fosil yang biasa digunakan oleh masyarakat. Maka haruslah tersedia penggantinya dengan harga yang terjangkau bagi masyarakat, terjamin kontinuitas ketersediaannya dan tidak memberatkan kehidupan rakyat. 

Semisal jika BBM dicabut, dan pemerintah ingin memasifkan penggunaan listrik sebagai energi  alternatif pengganti energi fosil. Maka harus dipastikan energi listrik yang disodorkan sebagai pengganti energi fosil, memiliki harga terjangkau, mudah didapatkan dan tidak berdampak pada eksploitasi sumber daya alam (SDA) penghasil energi listrik  yang akan berdampak pada kerusakan lingkungan. 

Sebab jika terjadi eksploitasi SDA yang menyebabkan kerusakan lingkungan, maka sama saja dengan membayar lebih mahal dampak kerakusan yang ditimbulkan oleh aktivitas eksploitasi SDA penghasil energi listrik. Hasilnya malah tidak ekonomis. 

Apalagi ditengah kondisi masyarakat baru bangkit dari serangan wabah penyakit Covid-19 ditengah ekonomi masyarakat baru mulai tumbuh, maka selayaknya semangat masyarakat untuk bangkit dan bertumbuh janganlah dibebani dengan berbagai macam kejutan dari pemerintah yang memberatkan rakyatnya, semisal kenaikan harga BBM yang berdampak pada kenaikan harga barang dan jasa lainnya. 

Maka sudah saatnya pemerintah mengelola sendiri segala macam sumber energi penghasil energi listrik,  tidak menyerahkan pengelolaannya kepada pihak asing, sehingga bisa dihasilkan energi listrik yang berbiaya murah  yang bisa dinikmati masyarakat secara umum. 

Bukankah kita memiliki sumber daya manusia (SDM) lulusan perguruan tinggi yang banyak tersebar diseluruh penjuru negeri, yang mumpuni yang bisa diandalkan kecerdasannya untuk berkontribusi dalam mengelola sumber daya alam penghasil energi listrik?

Bukankah kita memiliki sumber daya alam penghasil energi listrik yang melimpah ruah, yang menunggu untuk dikelola sendiri dengan benar oleh negara? 

Karenanya, substitusi LPG 3 Kg ke kompor listrik digital, harus ditelaah lebih bijak lagi, jangan sampai agenda substitusi ini justru hanya akan menyakiti hati para penggunanya yang mayoritas adalah rakyat miskin dan mayoritas digunakan sebagai properti untuk mencari nafkah, semisal pedagang keliling.

Sebab pada faktanya penggunaan LPG 3 kg tidak hanya digunakan untuk memasak  makanan didapur, namun juga dipakai sebagai properti untuk usaha berjualan keliling. 

Selain juga penggunaan kompor listrik digital akan semakin menaikan jumlah tagihan listrik dirumah yang tarifnya semakin mencekik.

#GOOGLE_ADS# 

Karenanya, semakin jelas jika kebijakan substitusi LPG 3 kg ke kompor listrik digital hanya akan menambah deret kemiskinan dinegeri ini, jika kebijakan publik yang dihasilkan masih didominasi oleh kepentingan para kapitalis yang menguasai sektor publik dan menjadi  produsen berbagai macam energi dan properti yang dibutuhkan mayoritas masyarakat. 

Sebaliknya kebijakan substitusi LPG 3 kg ke kompor listrik digital akan terasa manfaatnya jika kebijakan publik dinegeri ini diatur oleh aturan yang pro rakyat, yang manusiawi, yang tidak menambah beban kehidupan rakyat. Aturan yang mewajibkan negara mengelola sendiri sumber daya alam miliknya. Aturan yang melarang keras penjualan aset publik kepada kaum kapitalis baik domestik maupun asing. Aturan yang amanah atas pengelolaan aset publik yang semestinya hasil pengelolaannya dikembalikan kepada publik sebagai pemiliknya, bukan dijual ke publik dengan memandangnya sebagai konsumen dan pasar semata, bukan  pemilik. 

Sebab itu substitusi LPG 3 kg ke kompor listrik digital, wajarlah jika dipandang tidak terlalu diperlukan, saat kondisi masyarakat hari ini masih ada dalam kungkungan sistem kapitalisme, sebab hanya akan menyebabkan semakin bertambahnya masalah kemiskinan masyarakat secara sistemik, yang membuat masyarakat sulit membayar berbagai macam tagihan yang harus ditunaikannya. 

Wallahualam.