TangerangNews.com
DUA TIPOLOGI KEPEMIMPINAN POLITIK UNTUK TANGSEL
| Jumat, 11 Februari 2011 | 09:57 | Dibaca : 325270
Subairi (tangerangnews / opini ist)
Oleh Subairi
Dalam bukunya yang terkenal The Decline of Constitutional Democracy (Feith 1962), Herbert Feith membuat dua tipologi kepemimpinan dalam sejarah politik Indonesia, yakni solidarity maker dan tipe administrator. Menurut Feith, dua tipologi ini menggambarkan pola dan strategi kepemimpinan dalam mewujudkan visi politik tertentu.
Solidarity maker lebih mengedepankan strategi retorik guna mengumbar gelora dan penyatuan solidaritas dengan memainkan simbol-simbol identitas. Sedangkan administrator lebih mengedepankan kecakapan administratif guna kelancaran implimentasi visi dalam jejaring aparatus Negara.
Dwi tunggal Soekarno-Hatta menyatukan dua tipologi ini dalam kepemimpinan politik Indonesia. Dengan latar aktivis, kepribadian yang menarik dan kemampuan retorika yang memukau Soekarno menjadi personifikasi tipe solidarity maker. Sedangkan Hatta dengan kecakapan tehnis organisatoris mewakili tipe administrator.
Dalam pandangan Feith, penyatuan dua tipologi itulah yang menjadi kunci sukses kepemimpinan dwi tunggal, baik pada era revolusi maupun demokrasi liberal. Tesis ini juga menjadi penjelas dibalik setiap kegagalan, seperti kabinet Wilopo yang mayoritas bertipe administrator jatuh di tengah jalan. Kabinet Wilopo tidak mampu menyatukan dua tipologi kepemimpinan yang dibutuhkan politik Indonesia.
Hingga kini, tesis Indonesianis asal Australia itu masih relevan dalam menjelaskan sukses-tidaknya kepemimpinan politik dalam setiap episode sejarah Indonesia. Masa Orde Baru misalnya, dengan kecakapan memainkan simbol-simbol identitas Soeharto mampu menjadi sosok solidarity maker yang secara bergantian didampingi wapres dengan tipe administrator. Hal sama juga terwujud dalam kepemimpinan SBY-JK, terlepas kontroversi di dalamnya.
Bagaimanapun, tesis Feith ini sudah menjadi epistem tersendiri dalam ilmu politik Indonesia. Pemikirannya bahwa politik Indonesia membutuhkan kolaborasi tipe pemimpin solidarity maker dan administrator mampu menyibak tirai gelap dalam setiap gonjang-ganjing politik yang sebelumnya tak terjelaskan. Bahkan, tesis Feith ini juga bisa digunakan dalam menganalisis sukses tidaknya kepemimpinan di berbagai daerah Indonesia, termasuk di Tangerang Selatan (Tangsel) sebagai wilayah otonom baru yang sedang berihtiar menentukan pemimpinnya.
Sebagai bagian kultur dan struktur politik Indonesia, hadirnya kepemimpinan kolaborasi solidarity maker dan administrator bagi Tangsel adalah kebutuhan mutlak demi sukses visi pembangunan. Tangsel sebagai kota pemekaran baru dengan segenap permasalahannya seperti sampah, infrastruktur dan lingkungan membutuhkan sosok solidarity maker untuk menggelorakan etos, penyatuan identitas dan emosi kebersamaan yang ditampung dalam visi serta program yang memukau. Sementara sosok administrator dibutuhkan untuk pembenahaan tata kelola pemerintahan demi kelancaran sirkulasi visi dalam birokrasi.
Mengikuti Feith, sukses Tangsel sebagai kota baru sangat ditentukan oleh sejauhmana kemampuan warga bisa memilih tipe pemimpin solidarity maker sebagai Walikota dan administrator sebagai Wakil Walikota.
Hingga kini ada dua pasangan calon yang bersaing ketat, Airin Rachmi Diany-Benyamin Davnie dan Arsid-Andre Taulany. Sementara dua pasangan lainnya diprediksi tidak akan meraup suara signifikan. Pasangan manakah yang mencerminkan kolaborasi solidarity maker dan administrator?
Arsid adalah birokrat. Ia pernah menjadi Camat. Rekam jejak Arsid dalam berbagai posisi birokrasi penting diangkat dan dianalisis, baik prestasi maupun kegagalannya untuk mengetahui sejauh mana dia bisa dikatakan administrator sejati. Sebab tipologi pemimpin bagi sosok berlatar birokrat adalah administrator, bukan solidarity maker.
Birokrat adalah pelaksana tugas-tugas pemerintahan, dan kecakapan yang dimiliki oleh seorang birokrat tidak lebih dari kemampuan tehnis dalam jejaring birokrasi. Ia tidak visioner dengan gagasan-gagasan cemerlang masa depan. Karenanya, posisi tepat untuk tipe birokrat sebenarnya adalah wakil walikota.
Sementara Andre Taulani, wakil Arsid, adalah pelawak dan pernah jadi musisi. Dilihat dari latar belakangnya, ia sama sekali tidak punya pengalaman dalam organisasi sosial maupun pemerintahan. Latar pendidikannya juga tidak membanggakan. Banyak pihak mempertanyakan, kecakapan atau kemampuan apa yang ditawarkan Andre kepada warga sehingga dia berani tampil sebagai calon wakil walikota.
Tidak ada yang bisa diharapkan dari sosok Andre selain menghibur penonton lewat lawakannya. Tentu sangat sulit mencari tipologi pemimpin dalam khazanah ilmu politik yang cocok bagi calon seperti Andre, atau jangan-jangan bahkan tidak pantas dimasukkan dalam tipe pemimpin. Dengan demikian, pasangan Arsid-Andre adalah kolaborasi birokrat dan pelawak, sebuah kolaborasi yang tidak ada padanannya dalam teori maupun praktik politik.
Sangat berbeda dengan pasangan Airin Rachmi Diany-Benyamin Davnie. Airin adalah aktivis sosial, ketua Palang Merah Indonesia (PMI) Kota Tangsel dan telah memprakasai berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan dalam berbagai bidang, seperti pendirian Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Komunitas Masyarakat Gemar Membaca (Magma) yang sukses menggairahkan minat baca dan penghargaan nasional. Ditambah sosok dan kepribadiannya yang penuh empati dan cara penyampaian gagasan yang memukau, alumni pasca sarjana Unpad itu adalah sosok pemimpin tipe solidarity maker.
Sementara Benyamin Davnie, wakil Airin, adalah birokrat berpengalaman. Tak kurang dari 12 jabatan birokrasi sudah ia tangani, mulai Camat hingga Asisten Daerah Tata Pradja (ASDA I), dan Kepala Badan Perencanaan Daerah (BAPEDA). Berbagai prestasi dan penghargaan juga telah diterima, seperti penghargaan Satyalencana Karya Satya X Tahun yang diberikan langsung oleh Presiden RI Megawati Soekarno Putri pada tahun 2003 atas prestasi kerja selama 10 tahun tanpa cacat.
Sangat tepat Benyamin dimasukkan dalam tipe pemimpin administratif dan sangat tepat pula ia menjadi wakil Airin. Sehingga pasangan Airin-Benyamin ini mampu mencerminkan kolaborasi kepemimpinan ideal, yakni solidarity maker dan administrator.
Penulis adalah Kordinator Asosiasi Kajian Demokrasi Indonesia (Akademi), tinggal di Tangsel