Oleh: Andreas Parluhutan Rumahorbo, Mahasiswa.
TANGERANGNEWS.com-Hampir semua orang sepakat bahwa Indonesia merupakan negara dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah, khususnya sumber daya energi. Kekayaan Negara atas sumber daya menjadi jargon yang sering kita dengar sejak masa kecil hingga sekarang. Tampaknya, kita tidak boleh langsung merasa senang terlebih dahulu, melihat fakta bahwa kekayaan tersebut belum mampu menyelesaikan semua permasalahan Nasional yang ada hingga sekarang.
Dewasa ini, anggapan bahwa kekayaan sumber daya alam akan menghantarkan bangsa ke surga penuh kemakmuran sudah tidak lagi relevan. Bayangkan, beberapa orang terkaya di planet Bumi ini seperti Larry Page, Bill Gates, Mark Zuckerberg, bukanlah orang-orang yang menjalankan bisnisnya dengan menjual produk berbasis sumber daya alam. Mereka tidak menguasai kekayaan alam dan mereka bukan berasal dari Negara dengan kekayaan alam dan energi yang melimpah. Poinnya adalah bagaimana kekayaan alam ini dipertahankan, oleh kekayaan lainnya, yakni kekayaan manusia.
Energi merupakan salah satu sumber daya alam penting di Indonesiaa. Isu nasional hingga internasional yang berhubungan dengan sumber daya alam saat ini adalah tentang energi terbaharukan. Renewable Energy atau Energi Terbaharukan (EBT) merupakan pembahasan sejak lama bahkan dibahas hingga di level global. Dalam terminologi paling sederhana, sesuatu dikatakan sebagai energi jika memiliki kapasitas fisik untuk melakukan pekerjaan, atau sebagai alternatif untuk menghasilkan output yang diinginkan.
Energi adalah karakteristik fisika suatu sistem. Sedangkan istilah terbarukan, dimaksudkan kepada asal usul energi. Energi terbarukan adalah energi yang berasal dari pasokan yang terus-menerus dan secara alami dapat dipulihkan dalam waktu yang relatif singkat. Oleh karena itu,pembahasan mengenai energi terbarukan tidak terlepas dari sumber daya alam yang menghasilkan energi tersebut. Pada beberapa diskusi mengenai Energi Terbarukan seringkali direduksi menjadi pembahasan Sumber Daya Terbarukan.
Energi terbarukan dibagi menjadi enam komponen: Bioenergi yang berasal dari sumber daya biomassa (biomassa resources),energi panas bumi yang berasal dari proses penghasil panas bumi sendiri (geothermal energy), hidrogen, tenaga air atau tenaga laut (hydropower), energi matahari, energi angin.
Ide EBT ini muncul, berangkat dari "permasalahan" ketergantungan manusia dan industri atas penggunaan energi fosil (fossil fuel) yang semakin tinggi. Energi fosil dapat disebut juga sebagai bahan bakar fosil seperti batubara, minyak, minyak bumi, dan gas alam.
Energi fosil awalnya terbentuk dari tumbuhan dan hewan yang hidup ratusan juta tahun yang lalu dan terkubur jauh di bawah permukaan bumi. Energi fosil kemudian secara kolektif diubah menjadi bahan yang dimanfaatkan untuk kepentingan industrialis hingga kepentingan sehari-hari seperti yang kita gunakan saat ini untuk bahan bakar kendaraan dan memasak. Bahan bakar fosil paling awal diketahui berasal dari sekitar 500 juta tahun yang lalu, ketika sebagian besar kelompok hewan purba pertama kali muncul di Bumi. Bahan bakar fosil awal berbentuk seperti gambut atau batu bara lignit (batubara lunak), mulai terbentuk dari sekitar lima juta tahun yang lalu.
Meski manusia telah eksis dan hidup lama dengan energi fosil, di era sekarang sebagian besar kelompok memiliki kekhawatiran atas penggunaan energi fosil. Kekhawatirannya adalah Penggunaan energi fosil yang semakin tinggi akan mengakibatkan pengikisan sumber daya energi hingga batas limitasi, dampak kerusakan lingkungan dan ekosistem flora dan fauna, global warming, hingga polusi.Belum terbukti apakah dampak tersebut disebabkan oleh aktivitas industri atas penggunaan energi fosil atau memang terdapat faktor lain atas kekacauan yang telah dituduhkan oleh beberapa kelompok yang sangat anti dengan energi fosil.
Mengamati fenomena ini, tidak adil jika tidak dianalisa lebih jauh dari sisi ekonomi, politik, regulasi, ekologi hingga faktor di balik alasan ketergantungan penggunaan energi fosil tersebut. Untuk mengevaluasi apakah kekhwatiran tesebut mempunyai dasar dan dapat dibuktikan, mari kita tinjau kembali bagaimana perjalanan energi fosil dan apa yang telah dilakukan energi fosil ini.
Prestasi Sang Fossil Energy
Segala supply dan distribusi kebutuhan sumber daya di Negara ini notabene berasal dari aktivitas industri dalam menggunakan energi fosil. Sudah lebih dari satu abad sejak perang dunia pertama, energi fosil telah menjadi komoditas yang diperdagangkan di pasar Internasional. Pasca perang dunia, banyak pabrik - pabrik hancur dan segala teknologi yang dipakai untuk memulihkan infrastruktur tersebut memerlukan penggunaan energi fosil yang sustainable.Distribusi kendaraan roda empat di belahan dunia pasca perang dunia menjadi awal bagaimana energi fosil diperdagangkan.
Pembangkit listrik, transportasi, manufaktur, hingga pengelolahan dan distribusi pangan sampai saat ini memerlukan energi fosil dalam menyuplai kebutuhan masyarakat di suatu Negara. Sehingga dapat dikatakan bahwa peradaban modern yang kita rasakan hingga saat ini membuat manusia hidup lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya. Produk seperti Smartphone, motor, mobil, kosmetik, gedung-gedung, urinoar, obat-obatan farmasi hingga movies di bioskop merupakan prestasi yang telah dicapai dari peran industri atas penggunaan energi fosil. Angka kemiskinan dan kelaparan yang semakin rendah, akses pendidikan yang semakin mudah, hingga jam kerja buruh yang semakin sedikit karena dibantu oleh teknologi berbasis energi fosil.
Namun bagi sebagian orang akan memandang fenomena keberhasilan energi fosil ini secara ahistoris. Egosentrisme atas penciptaan peradaban yang bersih dan sehat serta upaya penyelamatan bumi tampaknya berasal dari kekhawatiran irasional yang tidak terukur. Tidak dapat dibuktikan apakah suatu wilayah yang menggunakan EBT tanpa peran energi fosil akan menjadi lebih baik? Apakah EBT memiliki konsistensi penggunaan hingga nilai ekonomis layaknya energi konvensional?
Bumi bukanlah suatu surga dimana di dalamnya tidak terdapat masalah. Masalah selalu ada sejak peradaban manusia masih sebagai pemburu-pengumpul hingga revolusi industri. Energi fosil sulit atau tidak akan bisa tergantikan oleh upaya-upaya penciptaan energi terbarukan. Terdapat alasan mengapa energi fosil tetap digunakan dan energi terbarukan sudah lebih dari satu dekade tidak berhasil menggantikan peran dan ketergantungan atas energi fosil.
1. Pertumbuhan Ekonomi
Beberapa Negara termasuk Indonesia masih bergantung pada perdagangan minyak bumi. Energi fosil telah lama memainkan peran penting dalam kemajuan peradaban manusia. Mesin-mesin yang bergerak pada industri selama ini telah menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang belum pernah terjadi pada tahun-tahun sebelumnya. Industri menjawab tantangan ekonomi dengan meningkatkan produksi guna memenuhi mekanisme supply and demand di pasar. Indeks kesejahteraan yang jika diamati semakin meningkat dalam 50 tahun terakhir merupakan capaian yang diberikan melalui energi fosil.
Di sisi lain, dalam 3 tahun terakhir wabah pandemi COVID-19 melanda, banyak Negara yang telah diprediksi akan mengalami krisis.Prediksi tersebut tidak terbukti benar, dimana kita telah selamat dari krisis ekonomi global. Suka atau tidak suka, keberhasilan dalam melewati tantangan ini adalah prestasi terbaik atas kinerja industri dalam menggunakan energi fosil. Beberapa sektor industri dan pabrik-pabrik harus tetap berjalan untuk memenuhi kebutuhan umat manusia, dan energi fosil telah menyelamatkan kegiatan produksi selama orang-orang masih bekerja di rumah dan menjalani perilaku new normal. Lalu kenapa sang fosil sering difitnah?
2. Efisiensi
Hampir semua pabrik hingga rumah-rumah membutuhkan asupan sumberdaya listrik baik untuk kebutuhan sehari-hari maupun untuk menjalankan misi bertahan hidup di Bumi lewat bisnis. Energi fosil memiliki efisiensi dalam memenuhi kebutuhan masyarakat dan industri atas penggunaan listrik. Pembangkit Listrik Tenaga Uap akan memastikan distribusi listrik sampai ke rumah-rumah hingga pabrik-pabrik. Listrik yang sustainable dan tidak pernah putus akan memberikan konsistensi bagi jalannya roda ekonomi. Listrik padam hanya dalam hitungan jam saja akan melumpuhkan banyak sektor industri yang bergantung dengan konsumsi daya listrik tidak hanya industri besar bahkan hingga di level UMKM yang bergantung dengan listrik.
Selain itu, efisiensi penggunaan energi fosil, dalam hal ini adalah listrik dari PLTU, dapat diukur dengan suatu mekanisme harga. Biaya konsumsi listrik per-KWh selalu dapat diukur dengan pasti dengan Rupiah. Semua orang membayar atas apa yang telah digunakan secara konsisten dan terukur. Apakah efisiensi ini mampu dimiliki oleh EBT?
3. Transisi ke EBT Akan Mengorbankan Banyak Hal
Program transisi energi fosil ke energi terbarukan di Indonesia tergolong masih sangat lambat. Tetap kembali kepada alasan utama bahwa semakin banyaknya program pemerintah yang berhubungan dengan infrastruktur dan industri, tidak akan lepas dari penggunaan energi fosil yang semakin tinggi juga. Ide mempercepat masa transisi energi fosil ke energi terbarukan, tentu akan mengakibatkan krisis terparah sepanjang sejarah dan akan menyengsarakan banyak masyarakat di Indonesia.
4. Bukan Energi Yang Langka dan Sulit Ditemukan
Energi fosil bukanlah suatu barang langka yang sulit ditemukan dan dikelolah oleh teknologi yang ada sekarang. Sebaliknya, beberapa material atau bahan dalam upaya menciptakan energi terbarukan seperti Cobalt dan Lithium sebagai bahan baku pembuatan baterai termasuk kedalam rare earth atau rare element.
Asal Mula Katastrofe
Istilah katastrofe merupakan serapan dari bahasa asing “Catastrophe” yang memiliki definsi sebagai malapetaka atau bencana yang datang secara tiba-tiba. Istilah ini pertama kali muncul saat Thomas Malthus menerbitkan sebuah essay tentang overpopulasi. Malthus menjelaskan bagaimana pertumbuhan populasi manusia yang semakin tinggi akan mengakibatkan krisis sumber daya alam, dampak lingkungan hingga bencana. Skenario bencana inilah yang dahulu disebut sebagai katastrofe.
Pada awal abad 19, Malthus secara pesimistik telah memprediksi bahwa akan terjadi kiamat populasi. Dasar argumentasi Malthus adalah bahwa setiap kali terjadi penambahan populasi, laju pertumbuhannya akan mengalahkan jumlah pasokan pangan yang tersedia. Hingga pada tahap ekstrim, Malthus menyarankan pengurangan populasi secara masif untuk menghindari terjadinya krisis sumberdaya. Anda dapat menilai sendiri apakah prediksi ini pernah terbukti? Apakah kita sudah punah sekarang? Apakah kita sudah tidak bisa makan enak lagi?
Sebagian orang percaya bahwa EBT mampu mengatasi segala dampak yang ditimbulkan dari penggunaan energi fosil di planet ini. Tampaknya katastrofe Malthusian akan terulang kembali. Terdapat anggapan bahwa masalah gas rumah kaca dan energi dapat diselesaikan dengan beralih dari sumber energi bahan bakar fosil ke EBT. Sudah lebih dari satu dekade, upaya penciptaan Energi Terbarukan tidak menyelesaikan permasalahan yang ada, hal ini didukung oleh banyak data dan fakta kesuksesan EBT dalam menimbulkan katastrofe.
Ide menciptakan peradaban yang bersih dan sehat terkadang terlihat naif. Kelompok yang mengusulkan EBT harus mengerti apa potensi teknologi yang mereka usulkan. Apakah sumber daya yang diperlukan untuk membuat EBT ini terjangkau? Apakah sustainable (dapat digunakan dalam jangka waktu panjang)? Di sisi lain, jika transformasi ke EBT dilakukan secara masif akan dibutuhkan waktu dan biaya yang besar untuk mengubah “kebiasaan” distribusi dan konsumsi energi, yang berarti kita masih akan bergantung pada bahan bakar fosil sampai kita mampu untuk membeli dan memiliki EBT. Oleh karena itu, membawa EBT ke dalam pasar justru akan menyebabkan katastrofe.
Transformasi penggunaan energi ke EBT akan bermasalah dalam hal biaya dan kenyamanan, yang berarti beralih dari bahan bakar fosil ke energi terbarukan bukanlah tugas yang mudah. Sungguh sulit meyakinkan banyak orang bahwa apa yang dikerjakan oleh Industri dengan memanfaatkan penggunaan energi fosil telah menyelematkan banyak kebutuhan manusia. Tanpa energi fosil manusia tidak akan mampu melewati kelaparan, kemiskinan hingga kebodohan. Di sisi lain, masyarakat kapitalis telah menjadi masyarakat yang sangat konsumtif, konsumen akan terus mengejar kemakmuran dan pertumbuhan ekonomi tanpa batas dimana hanya energi fosil yang sanggup mengimbangi percepatan ini, bukan EBT.
Katastrofe yang Ditimbulkan Solar Panel dan Wind Power
Di beberapa Negara, teknologi surya dan angin telah lebih dari 50 tahun disubsidi oleh pemerintah. Fakta bahwa teknologi ini tidak begitu berkontribusi besar dalam menghasilkan enegi. Teknologi ini menghasilkian kurang dari 1 % energi dunia. Hal ini dikarenakan teknologi seperti ini sangat bergantung kepada cuaca dan hanya memanfaatkan intensitas matahari dan angin. Penggunaan teknologi ini dari tahun ke tahun selalu membutuhkan cadangan bahan bakar fosil yang cukup besar. Tampaknya, teknologi ini tidak mampu berdiri sendiri dan memiliki potensi dan kontribusi pada daftar sumber daya energi di dunia.
Di Negara Jerman, sebagian besar konsumsi energi adalah batu bara. Jerman telah membayar puluhan miliar dolar untuk mensubsidi panel surya dan kincir angin, namun fakta bahwa penggunaan bahan bakar fosil, terutama batu bara, justru meningkat. Mengapa? Karena ketika mereka melakukan transformasi energi konvensional ke EBT, orang-orang Jerman justru membutuhkan lebih banyak energi, karena mereka tidak dapat mengandalkan EBT. Dapat disimpulkan bahwa, besarnya ketergantungan kepada EBT akan berdampak pada penggunaan energi fosil yang besar untuk menciptakan teknologi tersebut terutama sumber daya yang diperlukan dalam mencari material pembuatan teknologi EBT. Di sisi lain, tidak mungkin untuk memenuhi kebutuhan konsumsi energi per-tahun bahkan hingga tahun 2045 di tengah tingginya mobilitas masyarakat yang semakin konsumtif.
Trend konsumerisme di tengah masyarakat dunia memang kerap menimbulkan masalah, kendati demikian masalah yang ditimbulkan masih tergolong jauh lebih kecil dari apa yang telah dicapai dari penggunaan energi fosil sepanjang peradaban ini. Seringkali niatan baik justru menciptakan jalan menuju neraka. Tujuan menciptakan peradaban yang bersih dan sehat memang baik namun faktanya terlalu delusional. Perubahan menuju peradaban EBT seperti itu tidak akan dapat dicapai tanpa perubahan radikal dalam sistem sosial, ekonomi, politik dan budaya.
Populasi Tinggi Adalah Insentif
Pertumbuhan populasi yang tinggi menjadi insentif bagi industri untuk mengelolah sumber daya energi lebih banyak lagi. Secara dasar, pertumbuhan ekonomi jelas membutuhkan penggunaan produk secara masif. Tanpa peran populasi dan konsumsi yang tinggi, suatu ekonomi tidak akan tumbuh tanpa adanya daya beli yang kuat dari populasi. Produsen akan selalu memastikan laju produksi mengimbangi permintaan populasi di pasar. Tanpa peran energi fosil, kebutuhan jutaan populasi manusia tidak akan tercukupi. Energi fosil telah lama dimanfaatkan oleh aktivitas manusia dan industri demi upaya penyelamatan konsumsi manusia yang semakin tinggi. Seringkali bagi para pejuang EBT memiliki anggapan bahwa overpopulasi akan melemahkan sumberdaya yang ada sehingga menyimpulkan bahwa ketersediaan sumberdaya, terutama energi fosil tidak akan sanggup menyuplai kebutuhan populasi manusia sekarang. Tampaknya terdapat banyak kesalahan dalam cara pandang ini. Jika anda berpikir bahwa sumber daya alam akan habis karena populasi yang tinggi, sebutkan siapa orang yang mengetahui sisa kekayaan alam di bawah dan di permukaan bumi yang ada saat ini?
Meski setiap tahun selalu terjadi pertumbuhan populasi manusia, lapisan biosfer akan selalu sustainable terhadap kebutuhan manusia. Saya berikan suatu eksperimen berpikir yang sederhana, bayangkan adegan seperti di film The Martian terjadi pada Anda. Namun ini dengan skenario yang sedikit berbeda, bukan Astronaut tapi Anda adalah petani. Bayangkan bahwa Anda adalah seorang petani yang hidup sendiri di suatu lahan kering dengan luas 10 meter persegi. Untuk memenuhi kebutuhan hidup Anda sendiri, Anda pasti akan mengelolah lahan tersebut hanya untuk Anda dan menyesuaikan hasil panen anda berdasarkan kebutuhan kalori Anda. Sebab tidak mungkin lahan pertanian Anda memproduksi makanan melebihi kebutuhan kalori anda sendiri. Anda akan menciptakan skenario terbaik dan rencana paling efisien atas pengelolahan lahan pertanian tersebut. Bagaimana jika secara tiba-tiba saya tempatkan sebanyak lima orang di sana? Terdapat dua skenario yang akan terjadi, skenario pertama adalah skenario terburuk, dimana akan terjadi konflik perebutan sumberdaya pada lahan pertanian Anda. Skenario kedua adalah skenario terbaik, dimana lahan pertanian akan dikerjakan lebih cepat dan lebih efisien dengan menambah hasil panen untuk memenuhi kebutuhan 6 orang.
Dalam kondisi dunia nyata, skenario pertama terjadi apabila dunia berjalan tanpa regulasi dimana seluruh manusia tidak tunduk pada satu regulasi karena ketiadaan otoritas yang menegakkan regulasi pada lahan pertanian tersebut. Skenario kedua adalah skenario yang sangat mungkin terjadi saat ini dengan melibatkan peran Negara untuk menegakkan regulasi atas aktivitas di lahan pertanian tesebut dapat berjalan dengan baik dan dapat memastikan kompetisi sumber daya yang adil.
Pada akhirnya, potensi ekonomi dari EBT tidak akan menjawab persoalan dari apa yang dituduhkan pada energi fosil. Teknologi EBT saat ini masih sangat dipertanyakan bagaimana potensi penggunaan berkelanjutan secara global. Sampai saat ini, tidak ada Negara yang memenuhi kebutuhan dasar warga dengan bergantung kepada EBT atau penggunaan sumber daya yang tidak memiliki potensi keberlanjutan.
Energi Fosil Si Kambing Hitam Atas Emisi, Polusi dan Pemanasan Global
Beberapa pernyataan tentang terjadinya pemanasan global memang didukung oleh penelitian berdasarkan data pengukuran suhu atau temperatur Bumi. Tidak ada yang menyangkal bahwa hasil riset yang didukung oleh instrumen mutakhir ini adalah riset fiktif. Namun, fokus permasalahannya adalah, bagaimana mereka dapat menyimpulkan bahwa pemanasan global adalah dampak yang disebabkan oleh trend aktivitas industri dan manusia?
Ilmuwan iklim atau climate scientist tidak pernah sepakat mengatakan bahwa pemanasan global diakibatkan oleh aktivitas manusia. Kesimpulan bahwa Bumi sedang mengalami perubahan iklim yang sangat ektrim tidak disimpulkan berdasarkan hasil penginderaan manusia yang subjektif. Jika anda ingin membuktikan apakah pemanasan global disebabkan oleh aktivitas manusia atau siklus alam maka perhatikan bahwa data anekdotal seperti rasa gerah dan keringat membasahi tubuh adalah subjektif. Data bersumber dari wawancara responden tidak akan masuk dalam pembahasan pemanasan global.
Perlu diingat bahwa perdebatan mengenai penyebab perubahan iklim didasarkan pada dua hal yaitu antropogenik (manusia) dan solar cycle (aktivitas matahari). Dalam sebuah survey yang dilakukan oleh Max Planck Institut fur Meteorologie pada tahun 1997 terhadap 412 Ilmuwan iklum menyebutkan bahwa hanya 28 Ilmuwan yang sangat setuju bahwa penyebab antropogenik merupakan penyebab pemanasan global, sisanya menyatakan ketidaksetujuan atas antropogenik, 318 Ilmuwan menyatakan bahwa perubahan iklim terjadi karena aktivitas matahari.
Data hasil pengukuran temperatur di Bumi secara akurat dapat diperoleh melalui satelit pengukur suhu. Solar Radiation and Climate Experiment (SORCE) adala sebuah satelit yang diluncurkan pada tanggal 25 Januari 2003. Peluncuran SORCE merupakan misi satelit NASA yang dilakukan untuk mengukur ultraviolet, total radiasi matahari, variabilitas matahari dan X-ray yang masuk ke Bumi. SORCE dikhususkan untuk mengamati perubahan iklim jangka panjang, perubahan lapisan ozon pada atmosfer, dan radiasi UV-B, serta untuk meningkatkan akurasi prediksi iklim.
SORCE sangat berguna untuk mempelajari perilaku Matahari dan bagaimana pengaruhnya terhadap Bumi. SORCE pernah menunjukkan data hasil pengukuran temperatur bahwa intensitas radiasi matahari memiliki hubungan yang kuat dengan peningkatan suhu yang terjadi di permukaan bumi. Kendati suhu bumi dalam satu dekade terakhir telah mengalami peningkatan sebesar 0,5 °C, namun belum dapat disimpulkan bahwa fenomena ini diakibatkan oleh aktivitas manusia dalam menggunakan energi fosil. Jika mengamati grafik iklim dan menarik trendline lebih jauh, dapat dilihat bahwa sering terjadi fluktuasi suhu pada permukaan Bumi.
Zaman es sekitar tahun 1300-1800 telah mengakibatkan kegagalan panen besar-besaran di Eropa. Kondisi suhu dingin yang ekstrim pada periode ini menyebabkan krisis ekonomi terpanjang di Eropa. Dibandingkan dengan tahun sebelumnya yaitu sekitar tahun 900-1300, Eropa memiliki hasil panen yang meningkat dan pertumbuhan ekonomi yang baik. Catatan sejarah tersebut mengartikan bahwa tumbuhan akan hidup jauh lebih baik dengan iklim yang hangat dibandingkan dengan iklim yang dingin. Beberapa sumber makanan kita yang berasal dari tumbuhan membutuhkan kondisi iklim yang hangat.
Kekhawatiran pejuang EBT atas pemanasan global juga sering didasarkan pada naiknya kadar polutan di angkasa. Kadar polutan dihitung berdasarkan pengukuran emisi karbon (CO2) , biasanya dihitung dalam satuan parts per million (ppm). Saat ini emisi karbon rata-rata yang dihasilkan adalah 412, 5 ppm. Emisi ini tetap meningkat terlepas laju ekonomi melambat karena pandemi COVID-19 dan banyak industri yang tidak beraktivitas. Sebagian besar pelepasan karbon juga didapat dari erupsi gunung dan tanaman.
Ledakan vulkanik terbesar sepanjang sejarah yang pernah terjadi sekitar tujuh puluh lima ribu tahun yang lalu dikenal sebagai “Toba Eruption”. Erupsi ini berlangsung sepanjang setahun penuh, disinyalir bahwa Supervolcano Toba hampir menyebabkan kepunahan atas eksistensi manusia. Gagal panen besar-besaran diiringi rendahnya intensitas matahari yang masuk ke Bumi hingga kondisi dingin yang ekstrim. Ribuan ppm emisi karbon yang dilepaskan ke angkasa menyelimuti hampir seluruh Bumi, manusia masih bisa bertahan dan eksis hingga saat ini. Artinya, bahwa dengan keadaan sangat ekstrim manusia masih mampu bertahan.
Di era sekarang, dengan teknologi yang jauh lebih baik dimiliki oleh umat manusia, erupsi gunung bukan lagi menjadi ancaman bagi eksistensi manusia. Di era sekarang, angka 412, 5 ppm telah menjadi ketakutan luar biasa bagi para pejuang iklim. Secara ahistoris mencoba mengusulkan teknologi EBT yang dapat menggantikan energi fosil, mereka berpikir bahwa teknologi tersebut dapat mengendalikan iklim.
Meski manusia selalu menginginkan kenyamanan dan lingkungan yang ideal atas dirinya sendiri, egoisme ini perlu disadari bahwa Bumi ini tetap sebagaimana mestinya, Bumi tetap berjalan dengan atau tanpa manusia. Tidak perduli seberapa besar dan kecil, seberapa kaya dan miskin, tua dan muda ---”Manusia bukanlah entitas fiksi yang mampu mengendalikan iklim”.
Masalah Lingkungan Dimulai Dari Tragedi Kepemilikan Bersama
Pada perdebatan yang membahas isu permasalahan lingkungan dan energi fosil, beberapa pejuang EBT seringkali mengarahkan argumentasinya pada sifat rakus industri atas pengggunaan sumber daya energi dalam memenuhi kebutuhan umat manusia. Namun, siapakah yang sebenarnya menjadi faktor terbesar dan bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan yang terjadi?
Permasalahan lingkungan seperti limbah industri, sampah, deforestasi hingga polusi merupakan permasalahan yang sering terjadi pada Negara padat industri dengan sistem kepemilikan pribadi yang rendah. Pengadaan barang publik seperti fasilitas umum, subsidi produk berbasis sumber daya secara besar-besaran seringkali menjadi pemicu terjadinya masalah lingkungan. Produk berbasis sumberdaya yang diberikan secara cuma-cuma kepada banyak orang akan melemahkan insentif berkali-kali lipat atas perawatan sumberdaya tersebut secara berkelanjutan. Bayangkan ketika suatu barang kehilangan sistem harga dan diberikan secara cuma-cuma, maka barang tersebut akan cepat habis dalam hitungan waktu yang relatif singkat.
Salah satu penyebab masalah lingkungan terbesar adalah seperti apa yang pernah dikatakan oleh seorang ekologis Garrett Hardin sebagai tragedi kepemilikan bersama atau “the tragedy of the commons” (Hardin, G , 1968). Dalam suatu arena sumber daya seperti hutan, sungai, danau hingga lahan pertanian ketika dapat dimiliki oleh semua orang, maka secara eksplisit mengartikan bahwa sumber daya tersebut tidak dapat dimiliki oleh siapapun. Setiap orang akan kehilangan insentif untuk mempertahankan atau menjaga nilai suatu aset sumber daya tersebut secara sustainable atau berkelanjutan.
Mudahnya, Saya akan berikan sebuah ilustrasi dimana terdapat enam orang anak sedang berbagi milkshake. Setiap satu orang anak akan memiliki dorongan untuk lebih cepat menghabiskan milkshake dalam satu gelas tersebut sebelum anak yang lain melakukannya. Ilustrasi ini terjadi ketika industri atau perusahaan-perusahaan menebang pepohonan di hutan Nasional. Insentif perusahaan ini tentu saja adalah menebang pohon itu semua sebelum perusahaan yang lain mendapatkan izin yang sama untuk menebang pohon di area yang sama.
Hal di atas terjadi ketika kepemilikan atas hutan tersebut menjadi tidak jelas. Perusahaan-perusahaan penebang pohon di hutan mereka sendiri akan memiliki insentif untuk menjaga nilai suatu aset sumberdaya dengan melakukan penanaman kembali sebanyak pohon yang mereka potong. Penanaman ini dilakukan untuk menjaga dan mempertahankan nilai suatu aset sumberdaya guna mendatangkan uang untuk jangka waktu mendatang. Masalah serupa juga terjadi atas pencemaran lingkungan di danau dan sungai yang sering kita amati bersama. Ketika suatu sungai dan danau telah menjadi kepemilikan publik secara penuh maka setiap orang tidak memiliki insentif untuk menjaga dan mempertahankan nilainya. Danau yang dimiliki secara pribadi cenderung lebih bersih dan tidak tercemar dibandingkan dengan danau yang dimiliki secara publik. Perbedaan cara kepemilikan suatu properti atau sumberdaya akan menciptakan perbedaan yang kontras dari sisi kualitas lingkungannya. Di sisi lain rendahnya regulasi dan sanksi atas pencemaran lingkungan jika tidak diterapkan dari hilir ke hulu membuat banyak orang semakin tidak peka atas dampak pencemaran karena merasa bahwa fasilitas umum dan barang publik tersebut bukan dimiliki secara prinadi dan menjadi tanggung jawab individu . Penegakkan regulasi atas lingkungan harus diiringi dengan sistem kepemilikan pribadi yang jelas.
Untuk merasakan lingkungan yang berkualitas, diperlukan tiga aspek untuk mewujudkannya. Pertama adalah bahwa lingkungan tersebut sangat jelas (defined), dalam arti dapat didefinsisikan berdasarkan kepemilikan siapa dan siapa yang harus bertanggung jawab atas pencemaran di lingkungan tersebut. Kedua, lingkungan harus memiliki kemudahan untuk dipertahankan (defended), dimana lingkungan tersebut tidak mudah diinvasi. Ketiga, lingkuungan tersebut mudah dipindah-tangankan berdasarkan mekanisme harga dan syarat ketentuan yang telah disepakati antara pihak pembeli dan penjual (divestible).
Mengukur dampak yang diberikan seseorang atas pencemaran lingkungan yang dilakukan akan lebih mudah jika didasarkan oleh sistem kepemilikan pribadi. Setiap orang yang membuang sampah melewati batas wilayah properti yang dimiliki, dapat diberikan sanksi berupa denda. Bayangkan bagaimana jika anda dikambing-hitamkan atas tumpukan sampah puluhan ribu ton di lautan, sedangkan Anda tidak pernah merasa membuang sampah tersebut sembarangan. Satu orang dapat memberikan kontribusi atas 1 ton tumpukan sampah hanya dalam hitungan satu hari, sedangkan Anda harus dilibatkan untuk berbagi beban moral yang sama atas masalah sampah di berbagai belahan dunia. Bagaimana mungkin orang lain yang mencemari namun Anda harus berbagi kerugian yang sama dengan mereka yang mencemari? Berangkat dari fenomena ini, maka regulasidan hak kepemilikan pribadi atas lingkungan harus dipertanyakan.
Mungkin pejuang EBT akan merasa heran, bagaimana mungkin sistem kepemilikan pribadi dapat menyelesaikan permasalahan lainnya seperti masalah habitat flora dan fauna ?
Perlu diketahui, bahwa spesies satwa yang sering dikampanyekan untuk dilindungi adalah hewan yang sampai sekarang sama sekali tidak memiliki value bagi kehidupan umat manusia. Beberapa jargon kepedulian terhadap satwa ini seringkali terlihat bias, mereka hanya melihat hewan yang “imut” dan cenderung populer seperti Orang Utan, Panda, hingga Gorila. Bagaimana dengan hewan berbahaya seperti King Cobra misalnya? Bahkan sering luput dari daftar hewan yang harus diselamatkan. Sistem kepemilikan pribadi dapat menyelesaikan persoalan ini secara adil. Industri dapat bekerja mengambil sumberdaya pada area yang dimiliki secara pribadi, sedangkan bagi para pejuang habitat Satwa dapat memiliki satwa tersebut seacara pribadi walau hanya sekedar untuk memuaskan ego semata.
Dengan atau tanpa manusia, hewan-hewan yang masuk daftar hewan di ambang kepunahan akan punah dengan sendirimya. Perhatikan bahwa sepanjang sejarah sistem kepemilikan atas hewan tersebut justru telah menyelamatkan hewan dari kepunahan. Bagaimana kerbau dapat masuk ke dalam daftar spesies terancam punah sedangkan sapi tidak ? Bagaimana merak masuk ke dalam daftar spesies terancam punah sedangkan Ayam tidak? Mudah untuk menjawab bahwa apa yang dilakukan oleh suatu mekanisme bernama kepemilikan pribadi ini telah membuat para pemilik hewan memiliki insentif untuk menjaga, merawat serta mempertahankan nilai dari hewan tersebut. Suka atau tidak suka, hewan yang tidak memiliki insentif untuk dipertahankan nilainya akan punah dengan sendirinya, dengan atau tanpa aktivitas manusia, Bumi memiliki mekanisme seleksi alam sendiri bagi hewan-hewan tersebut.
Pada akhirnya topik EBT ini menghadapkan banyak orang pada persoalan di Bumi, dimana pembangunan Nasional yang bergantung pada EBT akan menciptakan dilema antara menyelamatkan Bumi atau manusia? Sekali lagi, seperti yang saya katakan Bumi sudah berusia lebih dari puluhan ribu tahun, manusia tetap eksis hingga saat ini. Dengan atau tanpa keberadaan manusia, Bumi tetap berjalan sebagaimana mestinya. Manusia adalah agen terkecil di antara luasnya alam semesta. Saya akan pilih menyelematkan manusia, kamu?
Antara Zero Sum Fallacy dan Kornukopia Energi Fosil
Zero sum fallacy merupakan kesalahan berpikir yang beranggapan bahwa sumberdaya terbatas dan hanya satu pemain yang dimenangkan atas persaingan sumberdaya. Ilustrasi zero sum fallacy seperti sebuah permainan di meja poker, dimana 5 orang sedang bermain judi dan hanya ada 1 pemenang, sisanya kalah. Ini merupakan kesalahan berpikir yang sering kita dengar dalam jargon kehidupan sehari-hari, seperti anggapan bahwa “Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin” --- memang terdengar seperti alunan musik dangdut, kendati demikian, realita tidak akan se-dangdut itu. Dalam suatu persaingan ekonomi dan sumberdaya, tidak seorangpun mampu mengetahui berapa sisa dari ketersediaan sumberdaya yang ada (belum tergarap). Sumber daya yang ada saat ini merupakan suatu kue ekonomi (economic pie) yang menjadi persaingan untuk diperebutkan. Namun, teknologi dan industri akan selalu memastikan bahwa economic pie akan selalu cukup untuk memenuhi kebutuhan populasi yang berkompetisi.
Kornukopia merupakan representasi ikonografi dari sebuah lambang atau simbol keberkahan dan kelimpahan. Kornukopia digambarkan sebagai sebuah tanduk besar yang dijadikan suatu bejana dimana di dalamnya terdapat hasil panen, bunga dan kacang. Istilah ini juga sering dipakai oleh beberapa pelaku industri dalam pertambangan minyak bumi. Namun, secara sederhana kornukopia diartikan sebagai keberlimpahan atau berkah.
Energi fosil merupakan kornukopia yang telah merevolusi secara besar-besaran taraf hidup hingga gaya hidup manusia. Apa yang telah dilalui oleh umat manusia merupakan rintangan yang tidak mungkin dapat dilalui tanpa peran penggunaan energi fosil. Tingginya kebutuhan akan energi fosil dan meningkatnya jumlah populasi dunia dari tahun ke tahun bukanlah suatu masalah yang dapat dikatakan sebagai kiamat energi yang mengarah kepada krisis sumber daya. Data dan fakta telah menunjukkan bagaimana pencapaian manusia dari tahun ke tahun, dimana mereka telah hidup jauh lebih baik dari sebelumnya. Saya akan memberikan timeline bagaimana pencapaian industri dan kornukopia energi fosil dalam meningkatkan kualitas hidup manusia dengan selalu intens menambahkan “economic pie”, bagaimana manusia telah selamat dari kelaparan, hidup dengan sanitasi yang baik, akses teknologi yang tinggi, dan hidup tanpa peperangan.
Jumlah populasi dunia memang telah meningkat sebesar 145% pada tahun 1960 sampai dengan 2016. Peningkatan tersebut merupakan dampak dari trend industri yang telah membuat angka harapan hidup manusia semakin tinggi dan angka kematian yang rendah dari tahun ke tahun. Rata-rata pendapatan per-kapita tahunan telah meningkat sebanyak 183%. Secara signifikan energi fosil telah menunjukkan upaya dalam memberantas kemiskinan global, meningkatkan kemakmuran hingga taraf hidup yang lebih baik hingga sampai saat ini.
Tahun 1981, berdasarkan estimasi yang dilakukan oleh Bank Dunia, sebanyak 42,2 % masyarakat hidup dengan pendapatan di bawah $ 1,90 / hari. Angka-angka ini dihitung berdasarkan daya beli masyarakat di tiap Negara di belahan dunia ini. Pada tahun 2013, persentase tersebut turun, hanya 10,7 % masyarakat hidup dengan pendapatan di bawah $ 1,90. Naiknya pendapatan per-kapita disebabkan karena masyarakat yang semakin konsumtif akan menyebabkan daya beli yang meningkat, sementara itu industri besar hingga UMKM semakin gencar dalam menggunakan energi fosil untuk mengimbangi tren konsumerisme di pasar.
Energi fosil telah mengatasi kelaparan. Pada tahun 1961 persediaan makanan di 54 Negara dari total 183 Negara memang mengalami pengurangan. Hal ini dibuktikan dengan ketidaksesuaian stok pangan atas kebutuhan kalori manusia tiap harinya dimana per individu setidaknya membutuhkan 2000 Kkal. Permasalahan ini bukanlah permasalahan sumberdaya melainkan permasalahan sosiopolitik terutama di beberapa Negara yang melakukan subsidi atas kebutuhan pangan. Dalam 50 tahun terakhir, kelaparan hanya masalah yang sering kita liat terjadi pada zona atau situasi perang. Sejak tahun 1960an hingga tahun 2013 defisit kalori terjadi hanya di dua Negara saja dari 54 Negara. Pada tahun 2000 Angka stunting (kekurangan gizi kronis) telah turun menjadi 33 %, pada tahun 2019 angka tersebut mengalami penurunan ekstrim menjadi 21, 3 %. Penurunan-penurunan tersebut didapat melalui upaya energi fosil dalam menjaga pertanian yang berkelanjutan. Teknologi pangan selama penurunana tersebutb telah bergantung dengan energi fosil. Di sisi lain, tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) yang baru adalah untuk “mengakhiri kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan gizi yang lebih baik dan pertanian berkelanjutan” pada tahun 2030---”sampai pada tahun 2030 saya akan tetap percaya bahwa peran energi fosil tetap tidak tergantikan”.
Pernahkah kita sedikit saja menyadari bahwa life expectancy dari tahun ke tahun semakin meningkat? Taraf hidup yang semakin meningkat disebabkan oleh perkembangan ilmu pengetahuan telah menyelesaikan masalah sanitasi, energi fosil mendorong industri farmasi memproduksi lebih banyak varian obat, berbagai penyakit baru yang tidak terprediksi kemunculannya dapat diatasi menggunakan teknologi medis masa kini. Pencapaian ini membuat angka harapan hidup manusia menjadi lebih tinggi jika dibandingkan tahun-tahun sebelumnya saat manusia masih menjadi pemburu-pengumpul atau ketika James Watt belum menemukan mesin uap yang mengawali revolusi Industri di Inggris. Angka harapan hidup rata-rata manusia pada tahun 1960 hanya mencapai 52,6 tahun. Pada periode 2015-2107 angka harapan hidup rata-rata manusia telah mencapai 71,9 tahun. Fenomena ini menunjukkan bahwa energi fosil telah meningkatkan angka harapan hidup manusia sebanyak 37%.
Meskipun konflik antar Negara dan aksi-aksi terorisme tetap terjadi di sebagian kecil belahan Bumi saat ini, setidaknya dibandingkan saat Perang Dingin yang telah dilalui, dunia saat ini masih terbilang jauh lebih aman.
Dapat disimpulkan bahwa tren penggunaan energi fosil dalam berbagai sektor industri telah membuat peradaban jauh lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya. Manusia hingga saat ini telah hidup jauh lebih aman, nyaman, lebih bersih dan lebih sejahtera di Bumi daripada apa yang terjadi 50 tahun silam.
Dari Solusi Alternatif Nuklir Hingga Skala Kardashev Tipe II
Narasi yang saya bangun sesungguhnya tidak hanya berfokus kepada kritik atas apa yang dilakukan oleh pejuang EBT. Narasi ini juga dibangun berdasarkan pemikiran yang solutif. Di sisi lain, saya juga memikirkan energi alternatif apabila skenario habisnya sumber daya energi fosil terjadi. Sebelum itu, saya jelaskan bahwa posisi saya tidak menolak keberadaan EBT, saya hanya mempermasalahkan fitnah yang sering dituduhkan kepada energi fosil.
Pada Perpres No. 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN), nuklir masih dimasukkan ke dalam kelompok energi baru dan terbarukan (EBT) yang akan digunakan sebagai pembangkit listrik.
Energi nuklir pernah dinilai sebagai energi yang ramah lingkungan. Delapan tahun kemudian, Kebijakan Energi Nasional yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.79 Tahun 2014, menyebutkan bahwa nuklir merupakan pilihan terakhir bagi penyediaan energi di Indonesia. Inkonsistensi ini berlawanan dengan semangat pembaruan energi sebelumnya. Tampaknya ada upaya untuk menghapus nuklir dari daftar EBT.
Energi nuklir adalah energi yang dihasilkan dari reaksi antarpartikel di dalam inti atom.Energi nuklir bersumber dari energi ikat yang terdapat pada partikel bebas. Energi nuklir masih diperdebatkan apakah dapat dinilai sebagai energi yang ramah lingkungan, murah, dan aman untuk digunakan? Energi nuklir merupakan energi yang rendah karbon. Bahan baku yang digunakan untuk membangun energi nuklir adalah bahan yang tergolong dapat dengan mudah ditemukan di Indonesia, namun pengambilan uranium akan lebih banyak membutuhkan energi fosil. Pembangunan pembangkit energi berbasis nuklir seperti PLTN, akan membutuhkan waktu yang cukup lama dan sumber daya energi fosil yang cukup besar, Selain itu, sisa dari penggunaan energi nuklir akan menghasilkan limbah radioaktif yang tidak aman bagi kesehatan manusia dan ekosistem. Kendati demikian, energi nuklir adalah energi alternatif yang dapat digunakan ketika energi fosil memang “sesungguhnya” dapat habis.
Mengingat kembali bagaimana pencapaian umat manusia dapat eksis hingga sampai saat ini, manusia hanya memanfaatkan sumber daya yang hanya terdapat pada planet ini. Berdasarkan Kardhasev sca;e atau skala kardashev, saat ini manusia berada pada peradaban Tipe I. Terdapat tiga kelompok tipe peradaban pada skala Karashev.
Tipe I adalah dimana umat manusia telah mampu menguasai seluruh energi pada planet Bumi itu sendiri.
Tipe II adalah dimana umat manusia telah mampu merekayasa benda-benda angkasa pada tata surya. Pada tipe ini manusia telah mampu menyerap seluruh total energi dari bintang terdekat dalam hal ini adalah matahari. Teknologi pernah disimulasikan menyerupai lingkaran yang berada dekat dengan matahari, dikenal dengan sebutan Dysonsphere.
Tipe III adalah dimana umat manusia telah mamu melakukan rekayasa tata surya. Pada peradaban ini, manusia mampu menyerap seluruh total energi dari galaksi atau tata surya.
Berdasarkan metode ukur skala Kardhasev, manusia akan menyelesaikan peradaban tipe I dalam waktu seratus hingga dua ratus tahun kemudian dimana batas usia kita tidak akan mampu menyaksikan peradaban berikutnya. Hingga saat ini, diperkirakan bahwa manusia hanya mampu mencapai 2/3 dari peradaban tipe I dimana ini mengartikan bahwa kita belum 100% memanfaatkan dari total kesuluruhan energi yang ada. Tipe II akan dicapai setelah manusia menyelesaikan peradaban tipe I dan diperkirakan akan dicapai dalam ribuan tahun lagi.
Solusi atas krisis sumber daya energi memang tidak semudah menyarankan solar panel dan kincir angin sebagai upaya penggantian energi fosil. Teknologi seperti itu selain bergantung dengan cuaca juga bergantung dengan kondisi demografi serta kebiasaan masyarakat dalam konsumsi energi. Dysonsphere seperti yang ditunjukkan pada skala Kardashev tipe II adalah satu-satunya EBT yang mampu menggantikan energi fosil, namun tantangan besar umat manusia saat ini adalah ilmu pengetahuan yang mampu menjangkau terciptanya teknologi tersebut. Jika dysonsphere berhasil diciptakan maka krisis energi bukan lagi menjadi masalah umat manusia hingga generasi ke generasi.
Kecerdasan Manusia Adalah The Ultimate Resources
Dari banyaknya data dan fakta yang telah ditunjukkan di atas, menunjukkan bahwa manusia telah berhasil melewati berbagai kesulitan di masa lalu dengan memanfaatkan kecerdasannya atas penggunaan sumber daya. Julian Simon dalam bukunya yang berjudul “THE ULTIMATE RESOURCE”, pernah mengatakan bahwa “ Manusia adalah agen cerdas yang dapat berpikir dan melakukan improvisasi secara cerdik untuk keluar dari berbagai rintangan. Manusia selalu berinovasi untuk keluar dari permasalahan kelangkaan sumber daya dengan menciptakan efisiensi yang lebih besar atas sumber daya (Simon, 1981)”
Pada bukunya yang terbit pada tahun 1981, Simon menunjukkan bahwa manusia adalah entitas unik di bumi yang selalu mengatasi masalah kelangkaan sumber daya dengan meningkatkan pasokan sumber daya alam. Pada buku tersebut dijelaskan bagaimana komoditas dalam 50 tahun terakhir telah mengalami penurunan harga dan dapat diakses oleh banyak orang.
Bagaimanapun, pilihan atas EBT tampaknya hanya dikembangkan di beberapa wilayah di dunia, dan alasan keberhasilan serta kegagalannya masih terus diperdebatkan. Sebagai penutup, saya ingin menyampaikan bahwa permasalahan di muka bumi tidak selalu dapat diukur secara objektif. Panas yang dirasakan oleh pejuang EBT di tengah padatnya mobilitas kota metropolitan, akan menjadi masalah bagi pejuang EBT, tapi tidak bagi masyarakat petani yang menggantungkan seluruh hidupnya pada hasil panen dimana hasil panen bagus jika tanaman mendapatkan sinar matahati yang cukup. Kota yang menjadi padat dan sesak karena tingginya laju migrasi penduduk ke suatu kota padat industri akan menjadi masalah bagi orang yang menganggap bahwa populasi manusia telah menjadi over. Di saat yang sama, seorang introvert seperti saya yang lebih membutuhkan personal space tidak akan mempermasalahkan padatnya hilir-mudik manusia dan padatnya kota. Permasalahan seperti ini adalah subjektif berdasarkan respon emosional atau kondisi mental seseorang dalam menyikapi masalah.
Manusia hanya perlu untuk tetap melanjutkan hidup dan lebih banyak bersyukur atas kehidupan yang mereka dapatkan di muka Bumi ini. Memang benar kesuksesan di masa lalu tidak akan selalu menjadi jaminan keberhasilan di masa depan akan tetapi memiliki kekhawatiran konstan, memberikan prediksi kehancuran Bumi secara tak berdasar hingga menyarankan katastrofe untuk memulai perubahan radikal akan mengorbankan banyak hal dan menjadi sia-sia. Tidak ada kenikmatan dan kemudahan yang dirasakan oleh umat manusia dibandingkan seperti apa yang telah dirasakan pada jaman sekarang. Saya tidak bermaksud untuk menghalang-halangi upaya pejuang EBT untuk menciptakan teknologi hijau seperti yang mereka usulkan, namun menjadikan teknologi dan sumber daya tersebut sebagai satu-satunya jalan menuju peradaban bagai Surga adalah cara berpikir yang sangat salah. Keberadaan manusia seharusnya bukanlah menjadi masalah besar, kelompok manusia patut berbangga karena kemanusiaan telah melewati berbagai rintangan hingga memecahkan banyak masalah yang terjadi . Pencapaian manusia sampai saat ini telah menjadi sejarah yang mampu menghasilkan peradaban tercanggih di muka Bumi yang telah kita rasakan sampai saat ini. Dunia tidak akan lepas dari masalah, masalah akan selalu eksis. Pesimisme tidak dapat dijadikan dasar untuk membuktikan kekcauan apa yang akan terjadi pada masa depan. Dunia telah banyak melakukan improvisasi dengan menunjukkan hal-hal tidak terduga, seperti perkembangan teknologi yang sangat cepat kita rasakan. Jangan pernah berpikir bahwa kecerdasan umat manusia yang banyak tidak mampu menyelesaikan masalah di masa depan. Manusia adalah ultimate resources, sumber daya yang sebenarnya harus dijaga dan dijaga kualitasnya sampai Bumi ini musnah.
Referensi:
Garrett, Donald (2004) Handbook of Lithium and Natural Calcium, Academic Press, cited in The Trouble with Lithium 2 Archived 14 July 2011 at the Wayback Machine, Meridian International Research (2008)
Morris J, Ed. Climate change. Challenging the conventional wisdom. London: Institute for Economic Affairs, 1997.
Herrera-Calderon, O., Yuli-Posadas, R. Á., Peña-Rojas, G., Andía-Ayme, V., Hañari-Quispe, R. D., & Gregorio-Chaviano, O. (2021). A bibliometric analysis of the scientific production related to “zero hunger” as a sustainable development goal: trends of the pacific alliance towards 2030. Agriculture & Food Security, 10(1), 1-15.
Shellenberger, Michael."The Reason Renewables Can't Power Modern Civilization Is Because They Were Never Meant To". Forbes, 6 May. 2019 www.forbes.com/sites/michaelshellenberger/2019/05/06/the-reason-renewables-cant-power-modern-civilization-is-because-they-were-never-meant-to/?sh=3adedf2aea2b. Diakses pada 1 Juni 2022,
Kaku, Michio (2010). "The Physics of Interstellar Travel: To one day, reach the stars". Diakses tanggal 2022-06-01.
Peryoga, dkk. (2007). Mengenal Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PDF). Jakarta: Kementerian Riset dan Teknologi. hlm. 5. ISBN 978-979-630-047-1.
Sutono, A. (2012). "Nilai Humanistik dalam Pengendalian Sumber Energi Nuklir". Civis. 2 (1): 156–172.
Kopp, Otto C.. "fossil fuel". Encyclopedia Britannica, 1 Jun. 2021, https://www.britannica.com/science/fossil-fuel. Accessed 27 May 2022.
David Boaz, Bab 10, "Isu-isu Kontemporer," Alam Pikiran Libertarian: Manifesto untuk Kebebasan (Indeks: Institut Demokrasi dan Kesejahteraan Sosial, 2018), hlm.335-338.
Tupy, Marian L. 2018. “Julian Simon Was Right: A Half-Century of Population Growth, Increasing Prosperity, and Falling Commodity Prices”
Julian Simon, The Ultimate Resource (Princeton, NJ: Princeton University Press, 1981).